Senin, 02 Juli 2012

Tiada Hari tanpa Korupsi di Banggar DPR

Tiada Hari tanpa Korupsi di Banggar DPR
Ikrar Nusa Bhakti ; Profesor Riset Bidang Intermestic Affairs
di Pusat Penelitian Politik LIPI
MEDIA INDONESIA, 02 Juli 2012


KORUPSI, apa pun bentuknya, merupakan perbuatan tercela. Namun, bila pencetakan kitab suci Alquran pun dikorupsi, itu bukan lagi perbuatan tercela, melainkan suatu perbuatan terkutuk! Betapa tidak? Kita sebagai orang waras tentunya tahu Alquran merupakan ayat-ayat Tuhan yang berisi ajaran mulia bagi umat Islam.

Alquran berisi sejarah, ajaran mengenai kebaikan, dan ilmu pengetahuan yang begitu luas, yang tak lekang dimakan waktu. Ketika pencetakannya saja dikorup, bagaimana kita dapat menganggap perbuatan korupsi atas pencetakannya sebagai suatu yang waras?

Demikian juga penyediaan alat-alat komputer untuk pengembangan pendidikan di madrasah. Jangankan madrasah, semua korupsi yang terkait dengan penyediaan sarana dan prasarana pendidikan ialah sesuatu yang terkutuk. Sebab, hal itu berarti menafikan betapa pentingnya pendidikan bagi masa depan bangsa.

Jika pencetakan Alquran dan pengembangan pendidikan madrasah dikorupsi, mental anggota DPR RI dan oknum di jajaran Kementerian Agama Republik Indonesia tidak hanya benar-benar amat bobrok, tetapi sudah benar-benar tidak bermoral! Itu menunjukkan bahwa pencetakan Alquran ataupun penyediaan sarana pendidikan tidak lagi dipandang sebagai suatu yang amat suci, tetapi hanya dipandang layaknya proyek pemerintah yang terkait dengan anggaran.

Satu sisi yang lebih membuat dahi kita berkerut, hati kita terenyuh, korupsi tersebut, sekali lagi, dilakukan di Badan Anggaran (Banggar) DPR yang selama ini menjadi sorotan masyarakat. Korupsi itu terjadi pada sekitar 2009-2012, suatu masa yang sangat baru.

Padahal, kita menjadi saksi pada tahun-tahun sebelumnya beberapa anggota Banggar DPR sudah ada yang diselidik dan disidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), diadili di pengadilan tindak pidana korupsi, atau bahkan masuk bui. Ternyata, berita semacam itu tidak membuat para anggota banggar lainnya kapok atau takut untuk melakukan korupsi. Bahkan lebih gila lagi, korupsi tersebut terkait dengan pencetakan kitab suci Alquran!

Bila selama ini kita membaca atau menonton berita bahwa pelaku dugaan korupsi di banggar ialah oknum-oknum dari Partai Demokrat, Partai Amanat Nasional, dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, kini nama yang muncul berasal dari Partai Golkar. Itu menunjukkan betapa korupsi di Banggar DPR bukan hanya monopoli partai-partai tertentu, melainkan sudah menjadi suatu yang umum dilakukan mungkin oleh semua partai yang ada di Banggar DPR.

Mesin Uang Partai

Dugaan korupsi yang dilakukan anggota Banggar DPR dari Fraksi Partai Golkar Zulkarnaen Djabar dan Direktur Utama PT KSAI berinisial DP, yang masih kerabat Zulkarnaen, bukanlah sesuatu yang khas. Praktik korupsi semacam itu tidak mustahil dilakukan beberapa anggota banggar lainnya. Seperti juga diutarakan beberapa kalangan di DPR RI, memang ada beberapa orang di banggar yang jumlahnya tidak lebih dari 10 jari tangan yang menjadi pengatur tender atau perantara antara banggar, kementerian/ lembaga negara, dan perusahaanperusahaan yang akan menangani tender proyek-proyek pemerintah.

Selain itu, ada juga perusahaanperusahaan sekoci kecil lainnya yang menjadi pelengkap penyerta dalam tender tersebut. Mereka berperan seakan-akan mengikuti tender, tetapi hanya sebagai pelengkap agar tender tersebut seakan-akan kompetitif. Namun, perusahaanperusahaan sekoci itu tidak akan memenangi tender. Mereka hanya akan mendapatkan fee dari pemenang tender.

Bagi-bagi proyek di banggar merupakan bagian dari `bancakan politik' atas proyek-proyek pemerintah. Anggota partai di Banggar DPR yang mendapatkan tender berasal dari berbagai partai besar, menengah, dan kecil--dibagi sesuai dengan proyek yang diajukan kementerian/lembaga pemerintah. Banggar layaknya mesin uang bagi partaipartai yang memiliki anggota di alat kelengkapan DPR tersebut.

Banggar ialah institusi di DPR yang begitu berkuasa dalam menentukan alokasi anggaran pemerintah. Ia tidak hanya menentukan pembagian anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) dan anggaran pendapatan dan belanja negara tambahan/ perubahan (APBN-P) antarkementerian/lembaga, tetapi juga dapat menentukan ke daerah mana anggaran tersebut disalurkan.

Khusus dalam penentuan APBN-P, tidak jarang banggar dapat mem-by pass komisi-komisi di DPR. Karena itu, jangan heran kalau terkadang anggota komisi-komisi di DPR mencak-mencak karena tidak diajak bicara, atau mungkin karena tidak kebagian seser anggaran proyek pemerintah.

Banggar juga tidak hanya mengatur anggaran proyek di tingkat pemerintah pusat, tapi juga ke pemerintah daerah. Dalam hal proyek pembangunan sarana dan prasarana di daerah, tidak jarang para gubernur, bupati, dan wali kota seluruh Indonesia sudah didatangi ter lebih dahulu oleh para pengatur proyek dan ditanya apakah mereka mau mendapatkan anggaran proyek-proyek pembangunan khusus asalkan sudah menyediakan fee proyek terlebih dahulu yang besarannya sekitar 20%.

Seorang anggota DPR dari sebuah partai politik berbasis Islam tradisional pernah mengatakan kepada penulis bahwa anggaran yang dikeluarkan institusi pemerintah itu sebesar 21%. Perinciannya, 7% untuk anggota banggar, 7% untuk oknum di Direktorat Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan, dan 7% untuk oknum yang ada di kementerian/lembaga pemerintah penerima anggaran tersebut.

Seorang anggota DPR lainnya mengatakan bahwa bagian untuk anggota banggar, besarannya bisa 6%, yang dibagi 4% untuk partainya dan 2% untuk di rinya sebagai sangu ketika ia tak lagi menjadi anggota DPR, atau dana persiapan bagi dirinya untuk maju lagi menjadi anggota DPR pada pemilu legislatif selanjutnya. Bayangkan saja berapa sebenarnya anggaran proyek pemerintah yang digunakan untuk proyek-proyek tersebut? Sebab, anggota banggar atau komisi-komisi di DPR lainnya juga tentu nya harus mendapatkan seser uang dengar atau uang dukungan atas pemberian anggaran kepada instansi pemerintah.

Belum lagi jika pemenang tender hanyalah perusahaan pemburu rente (rent seekers) yang hanya dipakai untuk memenangi proyek, sementara pelaksana sesungguhnya ialah perusahaan-perusahaan badan usaha milik negara (BUMN) atau swasta murni yang tidak mustahil juga akan memberikan sebagian dana tersebut kepada perusahaanperusahaan subkontraktor.

Bukan Hal Baru

Praktik kotor tersebut bukan yang pertama kali terjadi di negeri yang kita cintai ini. Hal itu sudah terjadi sejak lama. Namun, menjadi semakin buruk pada era reformasi ketika partai-partai dan anggota partai harus memiliki uang yang melimpah untuk dapat terpilih pada pemilu legislatif, pemilu presiden/wakil presiden langsung, atau pemilu kada. Dana untuk mengelola partai-partai politik juga bukan lagi pada hitungan miliar, melainkan triliunan rupiah. Jangan heran jika DPR, khususnya banggar, menjadi mesin uang paling efektif dalam merampok uang rakyat demi hidupnya partai-partai politik di Indonesia, yang semuanya tidak memiliki mesin uang independen dari anggaran publik!

Kita pernah diajari di sekolah mengenai peribahasa yang ber bunyi `mati satu, tumbuh seribu'. Peribahasa itu untuk membangkitkan rasa patriotisme kita kepada bangsa dan negara agar tetap bersemangat tinggi dalam membela negara. Bung Karno juga pernah berpidato secara menggelegar pada tahun-tahun yang sulit, kala kita memperjuangkan peran Indonesia yang lebih besar dalam politik internasional dengan kalimat bertuah `tahun vivere peri koloso' (tahun yang menyerempet-nyerempet bahaya) dan `rawe-rawe rantas malang-malang putung' (bersatu padu berjuang untuk kebesaran negara atau kita hancur lebur bagai debu).

Namun, dalam konotasi yang sebaliknya, di banggar tampaknya ada peribahasa `tertangkap satu, tumbuh seribu'. Buktinya, paling tidak sudah ada 45 anggota DPR yang tertangkap KPK karena dugaan korupsi, diadili, dan masuk penjara. Bahkan sudah ada beberapa orang lainnya yang bebas. Para anggota banggar itu ternyata juga tidak takut untuk menyerempet-nyerempet bahaya bukan untuk memperjuangkan nasib rakyat, melainkan untuk merampok uang negara demi diri dan partainya. Terapi kejut ternyata tidak melenyapkan praktik buruk korupsi di DPR.

Citra DPR semakin hari semakin buruk akibat adanya berita-berita mengenai skandal korupsi di legislatif, khususnya di banggar. Sesuatu yang memalukan, beberapa anggota DPR, khususnya di Komisi III yang membidangi hukum, ternyata masih terus berusaha menyirep masyarakat dengan kalimat bahwa KPK tidak perlu diberi dana untuk pembangunan gedung baru karena lembaga itu bersifat ad hoc atau sementara.

Pada saat bersamaan, tidak ada upaya-upaya serius untuk menjadikan institusi-institusi penegak hukum lainnya agar benar-benar profesional dalam menangani korupsi.

Entah kapan para anak didik dari TK sampai perguruan tinggi dan khalayak umum benar-benar merasa bahwa DPR merupakan milik bersama sehingga mereka tertarik untuk datang ke DPR bukan hanya untuk meninjau sidang-sidang di DPR, melainkan menjadikan kawasan di DPR sebagai tempat wisata yang nyaman dan terbuka.

Di beberapa negara seperti Inggris, Australia, atau Amerika Serikat, para turis dalam dan luar negeri gemar mengunjungi Westminster Abbey di London, Old and New Parliament House Building di Canberra, atau Gedung Kongres Amerika Serikat di Washington DC, untuk menikmati panorama yang indah atau betapa cantiknya gedung-gedung parlemen di Negara-negara tersebut.

Bagaimana Gedung DPR yang dulu dibangun Bung Karno sebagai gedung pusat pemerintahan dunia, yang termasyhur dengan nama House of the New Emerging Forces (Nefos) untuk menandingi Markas Besar PBB di New York AS, menjadi tempat yang nyaman untuk rekreasi rakyat kalau gedung itu kini dibentengi pagar yang tinggi dan lancip?

Hal itu mirip dengan bagaimana para anggota DPR saling memagari tinggi-tinggi sesama anggota DPR yang melakukan kebusukan. Sebab, jika batu yang menopang tiang korupsi atau kebusukan lainnya itu runtuh, rontoklah semua bangunan tiang penopang korupsi itu!

Itu sebabnya, terlalu besar risiko bagi para anggota DPR jika mereka gagal melindungi para koruptor perampok uang rakyat yang bukan hanya kolega-kolega keseharian mereka, melainkan juga berkontribusi terhadap masuknya bagian terbesar dana busuk ke kocek mereka dan pundi-pundi partai-partai mereka. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar