Tiada
Hari tanpa Korupsi di Banggar DPR
Ikrar
Nusa Bhakti ; Profesor
Riset Bidang Intermestic Affairs
di Pusat Penelitian Politik LIPI
MEDIA INDONESIA, 02 Juli 2012
KORUPSI,
apa pun bentuknya, merupakan perbuatan tercela. Namun, bila pencetakan kitab suci
Alquran pun dikorupsi, itu bukan lagi perbuatan tercela, melainkan suatu
perbuatan terkutuk! Betapa tidak? Kita sebagai orang waras tentunya tahu
Alquran merupakan ayat-ayat Tuhan yang berisi ajaran mulia bagi umat Islam.
Alquran
berisi sejarah, ajaran mengenai kebaikan, dan ilmu pengetahuan yang begitu
luas, yang tak lekang dimakan waktu. Ketika pencetakannya saja dikorup,
bagaimana kita dapat menganggap perbuatan korupsi atas pencetakannya sebagai
suatu yang waras?
Demikian
juga penyediaan alat-alat komputer untuk pengembangan pendidikan di madrasah.
Jangankan madrasah, semua korupsi yang terkait dengan penyediaan sarana dan
prasarana pendidikan ialah sesuatu yang terkutuk. Sebab, hal itu berarti
menafikan betapa pentingnya pendidikan bagi masa depan bangsa.
Jika
pencetakan Alquran dan pengembangan pendidikan madrasah dikorupsi, mental
anggota DPR RI dan oknum di jajaran Kementerian Agama Republik Indonesia tidak
hanya benar-benar amat bobrok, tetapi sudah benar-benar tidak bermoral! Itu
menunjukkan bahwa pencetakan Alquran ataupun penyediaan sarana pendidikan tidak
lagi dipandang sebagai suatu yang amat suci, tetapi hanya dipandang layaknya
proyek pemerintah yang terkait dengan anggaran.
Satu
sisi yang lebih membuat dahi kita berkerut, hati kita terenyuh, korupsi
tersebut, sekali lagi, dilakukan di Badan Anggaran (Banggar) DPR yang selama
ini menjadi sorotan masyarakat. Korupsi itu terjadi pada sekitar 2009-2012,
suatu masa yang sangat baru.
Padahal,
kita menjadi saksi pada tahun-tahun sebelumnya beberapa anggota Banggar DPR
sudah ada yang diselidik dan disidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK),
diadili di pengadilan tindak pidana korupsi, atau bahkan masuk bui. Ternyata,
berita semacam itu tidak membuat para anggota banggar lainnya kapok atau takut
untuk melakukan korupsi. Bahkan lebih gila lagi, korupsi tersebut terkait
dengan pencetakan kitab suci Alquran!
Bila
selama ini kita membaca atau menonton berita bahwa pelaku dugaan korupsi di
banggar ialah oknum-oknum dari Partai Demokrat, Partai Amanat Nasional, dan
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, kini nama yang muncul berasal dari
Partai Golkar. Itu menunjukkan betapa korupsi di Banggar DPR bukan hanya
monopoli partai-partai tertentu, melainkan sudah menjadi suatu yang umum
dilakukan mungkin oleh semua partai yang ada di Banggar DPR.
Mesin Uang Partai
Dugaan
korupsi yang dilakukan anggota Banggar DPR dari Fraksi Partai Golkar Zulkarnaen
Djabar dan Direktur Utama PT KSAI berinisial DP, yang masih kerabat Zulkarnaen,
bukanlah sesuatu yang khas. Praktik korupsi semacam itu tidak mustahil
dilakukan beberapa anggota banggar lainnya. Seperti juga diutarakan beberapa
kalangan di DPR RI, memang ada beberapa orang di banggar yang jumlahnya tidak
lebih dari 10 jari tangan yang menjadi pengatur tender atau perantara antara
banggar, kementerian/ lembaga negara, dan perusahaanperusahaan yang akan
menangani tender proyek-proyek pemerintah.
Selain
itu, ada juga perusahaanperusahaan sekoci kecil lainnya yang menjadi pelengkap
penyerta dalam tender tersebut. Mereka berperan seakan-akan mengikuti tender,
tetapi hanya sebagai pelengkap agar tender tersebut seakan-akan kompetitif.
Namun, perusahaanperusahaan sekoci itu tidak akan memenangi tender. Mereka
hanya akan mendapatkan fee dari
pemenang tender.
Bagi-bagi
proyek di banggar merupakan bagian dari `bancakan politik' atas proyek-proyek
pemerintah. Anggota partai di Banggar DPR yang mendapatkan tender berasal dari
berbagai partai besar, menengah, dan kecil--dibagi sesuai dengan proyek yang
diajukan kementerian/lembaga pemerintah. Banggar layaknya mesin uang bagi
partaipartai yang memiliki anggota di alat kelengkapan DPR tersebut.
Banggar
ialah institusi di DPR yang begitu berkuasa dalam menentukan alokasi anggaran
pemerintah. Ia tidak hanya menentukan pembagian anggaran pendapatan dan belanja
negara (APBN) dan anggaran pendapatan dan belanja negara tambahan/ perubahan
(APBN-P) antarkementerian/lembaga, tetapi juga dapat menentukan ke daerah mana
anggaran tersebut disalurkan.
Khusus
dalam penentuan APBN-P, tidak jarang banggar dapat mem-by pass komisi-komisi di DPR. Karena itu, jangan heran kalau
terkadang anggota komisi-komisi di DPR mencak-mencak karena tidak diajak
bicara, atau mungkin karena tidak kebagian seser anggaran proyek pemerintah.
Banggar
juga tidak hanya mengatur anggaran proyek di tingkat pemerintah pusat, tapi
juga ke pemerintah daerah. Dalam hal proyek pembangunan sarana dan prasarana di
daerah, tidak jarang para gubernur, bupati, dan wali kota seluruh Indonesia
sudah didatangi ter lebih dahulu oleh para pengatur proyek dan ditanya apakah
mereka mau mendapatkan anggaran proyek-proyek pembangunan khusus asalkan sudah
menyediakan fee proyek terlebih dahulu yang besarannya sekitar 20%.
Seorang
anggota DPR dari sebuah partai politik berbasis Islam tradisional pernah
mengatakan kepada penulis bahwa anggaran yang dikeluarkan institusi pemerintah
itu sebesar 21%. Perinciannya, 7% untuk anggota banggar, 7% untuk oknum di
Direktorat Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan, dan 7% untuk oknum yang ada
di kementerian/lembaga pemerintah penerima anggaran tersebut.
Seorang
anggota DPR lainnya mengatakan bahwa bagian untuk anggota banggar, besarannya
bisa 6%, yang dibagi 4% untuk partainya dan 2% untuk di rinya sebagai sangu
ketika ia tak lagi menjadi anggota DPR, atau dana persiapan bagi dirinya untuk
maju lagi menjadi anggota DPR pada pemilu legislatif selanjutnya. Bayangkan
saja berapa sebenarnya anggaran proyek pemerintah yang digunakan untuk
proyek-proyek tersebut? Sebab, anggota banggar atau komisi-komisi di DPR lainnya
juga tentu nya harus mendapatkan seser uang dengar atau uang dukungan atas
pemberian anggaran kepada instansi pemerintah.
Belum
lagi jika pemenang tender hanyalah perusahaan pemburu rente (rent seekers) yang hanya dipakai untuk
memenangi proyek, sementara pelaksana sesungguhnya ialah perusahaan-perusahaan
badan usaha milik negara (BUMN) atau swasta murni yang tidak mustahil juga akan
memberikan sebagian dana tersebut kepada perusahaanperusahaan subkontraktor.
Bukan Hal Baru
Praktik
kotor tersebut bukan yang pertama kali terjadi di negeri yang kita cintai ini.
Hal itu sudah terjadi sejak lama. Namun, menjadi semakin buruk pada era
reformasi ketika partai-partai dan anggota partai harus memiliki uang yang
melimpah untuk dapat terpilih pada pemilu legislatif, pemilu presiden/wakil
presiden langsung, atau pemilu kada. Dana untuk mengelola partai-partai politik
juga bukan lagi pada hitungan miliar, melainkan triliunan rupiah. Jangan heran
jika DPR, khususnya banggar, menjadi mesin uang paling efektif dalam merampok
uang rakyat demi hidupnya partai-partai politik di Indonesia, yang semuanya
tidak memiliki mesin uang independen dari anggaran publik!
Kita
pernah diajari di sekolah mengenai peribahasa yang ber bunyi `mati satu, tumbuh
seribu'. Peribahasa itu untuk membangkitkan rasa patriotisme kita kepada bangsa
dan negara agar tetap bersemangat tinggi dalam membela negara. Bung Karno juga
pernah berpidato secara menggelegar pada tahun-tahun yang sulit, kala kita
memperjuangkan peran Indonesia yang lebih besar dalam politik internasional
dengan kalimat bertuah `tahun vivere peri
koloso' (tahun yang menyerempet-nyerempet bahaya) dan `rawe-rawe rantas
malang-malang putung' (bersatu padu berjuang untuk kebesaran negara atau kita
hancur lebur bagai debu).
Namun,
dalam konotasi yang sebaliknya, di banggar tampaknya ada peribahasa `tertangkap
satu, tumbuh seribu'. Buktinya, paling tidak sudah ada 45 anggota DPR yang
tertangkap KPK karena dugaan korupsi, diadili, dan masuk penjara. Bahkan sudah
ada beberapa orang lainnya yang bebas. Para anggota banggar itu ternyata juga
tidak takut untuk menyerempet-nyerempet bahaya bukan untuk memperjuangkan nasib
rakyat, melainkan untuk merampok uang negara demi diri dan partainya. Terapi
kejut ternyata tidak melenyapkan praktik buruk korupsi di DPR.
Citra
DPR semakin hari semakin buruk akibat adanya berita-berita mengenai skandal
korupsi di legislatif, khususnya di banggar. Sesuatu yang memalukan, beberapa
anggota DPR, khususnya di Komisi III yang membidangi hukum, ternyata masih
terus berusaha menyirep masyarakat dengan kalimat bahwa KPK tidak perlu diberi
dana untuk pembangunan gedung baru karena lembaga itu bersifat ad hoc atau
sementara.
Pada
saat bersamaan, tidak ada upaya-upaya serius untuk menjadikan institusi-institusi
penegak hukum lainnya agar benar-benar profesional dalam menangani korupsi.
Entah
kapan para anak didik dari TK sampai perguruan tinggi dan khalayak umum
benar-benar merasa bahwa DPR merupakan milik bersama sehingga mereka tertarik
untuk datang ke DPR bukan hanya untuk meninjau sidang-sidang di DPR, melainkan
menjadikan kawasan di DPR sebagai tempat wisata yang nyaman dan terbuka.
Di
beberapa negara seperti Inggris, Australia, atau Amerika Serikat, para turis
dalam dan luar negeri gemar mengunjungi Westminster
Abbey di London, Old and New
Parliament House Building di Canberra, atau Gedung Kongres Amerika Serikat
di Washington DC, untuk menikmati panorama yang indah atau betapa cantiknya
gedung-gedung parlemen di Negara-negara tersebut.
Bagaimana Gedung DPR yang dulu dibangun Bung
Karno sebagai gedung pusat pemerintahan dunia, yang termasyhur dengan nama House of the New Emerging Forces (Nefos)
untuk menandingi Markas Besar PBB di New York AS, menjadi tempat yang nyaman
untuk rekreasi rakyat kalau gedung itu kini dibentengi pagar yang tinggi dan
lancip?
Hal itu mirip dengan bagaimana para anggota
DPR saling memagari tinggi-tinggi sesama anggota DPR yang melakukan kebusukan.
Sebab, jika batu yang menopang tiang korupsi atau kebusukan lainnya itu runtuh,
rontoklah semua bangunan tiang penopang korupsi itu!
Itu sebabnya, terlalu besar risiko bagi para
anggota DPR jika mereka gagal melindungi para koruptor perampok uang rakyat
yang bukan hanya kolega-kolega keseharian mereka, melainkan juga berkontribusi
terhadap masuknya bagian terbesar dana busuk ke kocek mereka dan pundi-pundi
partai-partai mereka. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar