Menapaki
Ekuilibrium Baru
A
Tony Prasetiantono ; Kepala
Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
KOMPAS, 02 Juli 2012
Pekan lalu, sebuah buku tentang ekonomi dan
sosial-politik Indonesia diluncurkan di Jakarta dan Yogyakarta. Berjudul Indonesia Rising: The Repositioning of
Asia’s Third Giant, buku ini disunting oleh sejarawan Australia, Anthony
Reid, berdasarkan konferensi tahunan Indonesia
Update yang diselenggarakan Australian
National University di Canberra.
Buku ini bertabur optimisme tentang
Indonesia, yang disebut Reid bakal menjadi ”negara berwibawa yang baru” dalam
peta dunia. Buku ini dibuka dengan pernyataan Nouriel Roubini, profesor dari Stern School of Business, New York
University (NYU), yang terkenal karena ramalannya yang tepat tentang
terjadinya krisis finansial global. Dalam sebuah ceramah berjudul ”Goodbye China, Hello Indonesia”, ia
menggarisbawahi China yang sedang mulai menuruni lembah pertumbuhan ekonomi,
sementara Indonesia justru menanjak, dengan pertumbuhan 6,1 persen (2010) dan
6,5 persen (2011).
Di satu sisi, Roubini benar. China mengalami
pelambatan pertumbuhan ekonomi, dari di atas 9,5 persen menjadi hanya 8 persen
tahun ini. Namun, agaknya Roubini bakal meleset tentang Indonesia. Sulit membayangkan
Indonesia tumbuh lebih tinggi daripada tahun lalu (6,5 persen).
Buku ini mengemukakan sejumlah keunggulan
Indonesia, misalnya konsumsi domestik yang kuat karena dukungan kelompok
konsumen kelas menengah yang sedang tumbuh pesat. Juga kekayaan alam atau
komoditas primer kita, baik pertambangan maupun perkebunan. Tak lupa, adanya
dukungan stabilitas ekonomi dan politik. Tiga modal ini yang membuat Indonesia
mendaki pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi.
Namun, saya rasa itu saja belum cukup. Untuk
mengikuti jejak China, tidak saja diperlukan visi yang jelas, tetapi juga
kemampuan mengeksekusi yang tangguh. China memiliki pemimpin seperti Deng
Xiaoping untuk memulai kampanye reformasi pada 1979. Kepemimpinan yang kuat
tidak sekadar memiliki mimpi atau visi, tetapi juga mampu mewujudkannya melalui
sejumlah strategi jangka menengah dan panjang, serta ”taktik” jangka pendek.
Inilah faktor pembeda China dengan Indonesia.
China juga diuntungkan oleh kejenuhan
investasi di Jepang, Taiwan, dan Hongkong sehingga terjadi pelarian modal ke
China daratan. Selain itu, warga China perantauan (overseas Chinese) di seluruh
dunia (estimasi John Naisbitt pada 1990-an mencapai 60 juta orang) juga rajin
mengirim dana (remittance) dan
investasi. Kombinasi keduanya menyebabkan investasi ke China menemukan momentum
ekspansi yang kuat.
Indonesia tetap berpotensi besar, tetapi
untuk mengikuti jejak China sungguh terjal. Diperlukan panduan oleh pemimpin
yang kuat dalam mengeksekusi, bukan cuma hebat dalam menganyam visi. Visi yang
baik kita sudah miliki, namun kemampuan untuk mengimplementasikan merupakan hal
yang lain.
Namun, pelambatan ekonomi, bahkan mengarah ke
keterpurukan ekonomi, bukan cuma terjadi di China. India kini juga
terseok-seok. Pertumbuhan ekonomi triwulan I-2012 hanya 5,1 persen. Dalam enam
bulan terakhir, rupee sudah merosot
20 persen, yang menandakan investor asing enggan datang. Banyak perusahaan
India terlilit utang luar negeri. Sama halnya dengan saat krisis finansial
global 2008-2009, India juga tidak tahan inflasi. Negara ini terpaksa menaikkan
harga bahan bakar minyak (BBM) dalam negeri, padahal inflasinya sudah 10,4
persen. Pengangguran tinggi (9,8 persen), defisit Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara (APBN) tinggi (5,7 persen terhadap produk domestik bruto/PDB),
dan suku bunga tinggi (8,4 persen).
Dampak krisis global terhadap Indonesia
sejauh ini masih terkendali. Rupiah memang merosot ke level Rp 9.500 per dollar
AS, searah dengan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di level 3.800-an. Namun,
kemerosotan rupiah tampaknya tidak berlanjut. Alasannya sederhana: penguatan
dollar AS tidak dikehendaki oleh Pemerintah AS. Mereka pasti akan berusaha
menghentikannya, misalnya dengan quantitative
easing, yakni mencetak uang untuk membeli kembali obligasi pemerintah agar
menekan biaya utang jangka panjang. Likuiditas dipompa ke bank-bank dalam
jumlah besar. Inilah cara efektif meredam apresiasi dollar AS, yang jika
dibiarkan akan merugikan neraca perdagangan. Mario Draghi, Presiden Bank
Sentral Eropa, juga diprediksi akan menempuh kebijakan ini (The Economist, 30 Juni-6 Juli 2012).
Inilah alasan terkuat mengapa kurs rupiah
tampaknya tidak bakal terperosok lebih lanjut, misalnya hingga Rp 10.000 per
dollar AS. Meski demikian, juga tidak cukup alasan untuk optimistis rupiah
kembali ke level kuat, misalnya di bawah Rp 9.000 per dollar AS. Rupiah
tampaknya sedang menapaki ekuilibrium baru, sekaligus juga level psikologis
baru di kisaran Rp 9.500 per dollar AS.
Sementara itu, ada berita baik dari industri
perbankan. Pertumbuhan kredit bank dalam setahun terakhir mencapai 28 persen.
Ini melebihi ekspektasi. Dalam bayang-bayang krisis zona euro, pertumbuhan
kredit semula diperkirakan 24 persen. Pertumbuhan kredit rumah dan kendaraan
semula juga diperkirakan akan melambat, seiring dengan kenaikan uang muka yang
disyaratkan Bank Indonesia (BI). Namun, ada jalan keluar. Kredit sepeda motor,
misalnya, bisa dialihkan dari kredit bank konvensional ke bank syariah yang
tidak terkena peraturan BI. Inilah kesempatan baik perbankan syariah untuk
mengambil sebagian porsi bank umum.
Ada pula berita baik dari harga minyak dunia,
yang terus menurun ke 78 dollar AS untuk jenis minyak West Texas Intermediate (WTI). Dampak baiknya, pemerintah tidak
perlu menaikkan harga BBM domestik. Ini akan menjamin inflasi tahun ini sekitar
5,5 persen. Namun, di sisi lain, hal itu tidak baik bagi upaya penghematan.
Masyarakat hanya bisa berhemat jika dipaksa oleh kenaikan harga. Ketika harga
tetap, mereka tidak bakal mengubah kebiasaan alias business as usual.
Penurunan harga minyak secara otomatis
menular ke harga komoditas primer lainnya: sawit, batubara, timah, kopi, dan
seterusnya. Konsekuensinya, surplus perdagangan kita akan tertekan berat, dari
biasanya 22 miliar dollar AS setahun menjadi separuhnya pada tahun ini.
Akibatnya, cadangan devisa akan terus tertekan.
Berdasarkan fakta-fakta ini, ramalan Roubini
tentang prospek ekonomi Indonesia harus disikapi dengan hati-hati. Ramalan
paling fair adalah perekonomian kita tumbuh 6 persen, atau di bawah tahun lalu.
Namun, jika dibandingkan India, kinerja kita masih lebih baik. Bisa jadi tahun
ini kita tumbuh 6 persen, India 5,5 persen, dan China 8 persen.
Tentu saja negara sebesar Indonesia tidak
cukup hanya tumbuh 6 persen untuk memerangi pengangguran. Kita harus bisa
menembus 8 persen, bahkan 9 atau 10 persen. Namun, itu baru akan tercapai jika
dikawal ketat oleh pemerintahan dan kepemimpinan yang sangat kuat, berani
mengambil keputusan, dan tipe eksekutor yang tangguh. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar