Anas
dan King No Wrong
Misranto
; Rektor Universitas Merdeka
MEDIA INDONESIA, 04 Juli 2012
RABU,
27 Juni 2012 tercatat sebagai salah satu peristiwa penting dalam sejarah jagat
hukum Indonesia. Di hari itu, Big Boss
atau Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum memenuhi panggilan penyelidik
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk dimintai keterangan dalam kasus dugaan
tindak pidana korupsi proyek pembangunan pusat olahraga di Hambalang.
Dalam
pemeriksaan itu, Anas memberikan keterangan kepada penyelidik KPK selama hampir
5 jam. Anas menjelaskan satu per satu struktur organisasi Partai Demokrat,
termasuk mekanisme pengelolaan pengambilan keputusan serta alur keuangan di
partai penguasa itu, di samping membantah dirinya mengetahui duduk perkara
proyek Hambalang. Dia mengaku tidak pernah menangani atau tidak paham dengan
proyek itu.
Pengamat
politik dari Universitas Indonesia (UI) Iberamsjah (2012), misalnya, menyebut
pemeriksaan itu memberi dampak negatif di mata publik. Iberamsjah menilai
dengan peristiwa itu, besar kemungkinan elektabilitas Partai Demokrat
diprediksi makin terpuruk, di samping memengaruhi elektabilitas Partai Demokrat
dan memengaruhi kewibawaan pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Sebagai
Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat, SBY bisa dinilai gagal mewariskan
kepemimpinan yang baik dan bersih dari korupsi.
Terlepas
besar kecilnya dampak dari pemeriksaaan Anas terhadap rezim SBY, yang jelas
diperiksanya Anas oleh KPK akan memberikan pengaruh besar pada jagat hukum
negeri ini, bilamana pemeriksaan Anas dijadikan sebagai bagian dari
pengungkapan (pembongkaran) secara menyeluruh kasus Hambalang. Namun kalau
pemeriksaan Anas sebatas jadi aksesori atau supaya bisa dilihat publik, pemeriksaan
itu tidak banyak memberikan dampak besar.
Masyarakat
negeri ini sudah demikian akrab dengan kesan bahwa negara atau penguasa, baik
penguasa di jalur politik maupun struktural, merupakan wujud king no wrong, alias raja yang tidak
pernah salah atau elitis yang punya hak imunitas dari kesalahan.
Raja
tersebut merepresentasi elite berpengaruh yang menempatkan dirinya sebagai
‘sumber hukum’ yang menentukan nasib banyak orang, dan kepada dirinya hanya
bersifat menguntungkan. Sepak terjang raja itu juga menjadi pembenar kekuatan
politik merupakan kekuatan istimewa yang membuat bekerja tidaknya hukum berada
di tangan penguasa.
Raja
yang tidak pernah salah menjadi pijakan, bahwa ketika seseorang berada dalam
puncak karier politik di wilayah partai politik berkuasa atau menjadi pucuk
pimpinan dari segala pimpinan, dirinya tak hanya tidak pernah salah, tetapi
juga tidak boleh sampai kalah. Siapa yang bermaksud mengusik, apalagi
mengalahkannya dirinya, bisa hancur.
Meskipun
langit runtuh, hukum dan keadilan harus tetap ditegakkan, demikian adagium
populer dalam teori ilmu hukum yang menggambarkan posisi hukum yang tidak boleh
dikalahkan kepentingan atau pengaruh apa pun. Hukum wajib ditegakkan dalam
kondisi apa pun dan oleh siapa pun. Hukum wajib berdaulat dengan normanya
sendiri.
Sementara
itu, siapa yang sudah diberi amanat untuk menegakkan hukum atau jadi pilar
utama negara di bidang penegakan hukum (law
enforcement) harus menunaikan tu gas mulianya itu dengan teguh, jujur, dan
objektif. Prinsip-prinsip agung itu tak boleh dikalahkan dan mengalah oleh
siapa pun. Tidak boleh ada istilah king
no wrong dalam wilayah pertanggungjawaban yuridis. Setiap orang
berkedudukan sederajat di depan hukum (equality
before the law), termasuk Anas Urbaningrum dan siapa pun yang diduga
terlibat kasus Hambalang.
Dari
tantangan apa pun dan siapa pun, hukum tidak boleh dibikin menyerah dan kalah.
Hukum harus tetap tegak, berdiri kuat, dan superior jika dibandingkan dengan kekuatan
uang dan politik (political and money
power). Hukum wajib diberdirikan sebagai kekuatan yang mengayomi kepentingan
semua pihak tanpa kecuali, tidak membedakan, dan mendiskriminasikan seseorang
atau golongan lain. Setiap orang yang semestinya mendapatkan perlakuan yuridis
dengan adil, jujur, dan egaliter harus diperlakukan demikian. Perlakuan yang
bercorak diskriminatif, menindas, dan menjauhkan dari realitas objektif
merupakan perlakuan yang tidak mencerminkan suatu konstruksi masyarakat yang
berpijak atas nama hukum dan keadilan.
Memang,
dalam ranah skeptis, Oliver Gold Smith pernah menyindir bahwa hukum di muka
bumi ini masih lebih suka memihak golongan borjuis, berkuasa, dan kaya alih-alih
masyarakat kecil atau komunitas miskin. Hukum dijadikan alat oleh kelompok yang
berkuasa untuk menindas orang kecil dan mempertahankan atau memajukan dirinya
supaya tetap dalam status elitisme mereka.
Faktanya,
komunitas elite di mana pun adanya dan bagaimanapun sepak terjangnya lebih
sering mempunyai hak imunitas dan privilese untuk bisa terjaring dari norma
yuridis. Norma yuridis dibuatnya menjadi norma yang tak berdaya (legal empowerless) saat dihadapkan
dengan penyimpang kekuasaan, yang mabuk otoritarianisme dan tiranisme.
Kekuatan
norma hukum lebih gampang disiasati, dikontaminasi, atau dikaburkan orang kaya dan
berkuasa jika dibandingkan dengan ketika norma hukum itu diberlakukan untuk
masyarakat akar rumput atau komunitas yang ‘miskin’ kekuatan politik.
Kasus
Hambalang atau pemeriksaan Anas sebenarnya sebagai momentum yang tepat untuk
mengalahkan kultur king no wrongs menuju
terbentuknya kultur hukum, suatu konstruksi budaya hukum yang menempatkan
setiap orang dan siapa pun orang yang menjadi kroninya tidak lagi mempunyai
imunitas. Istilah hukum tidak mempan mempermasalahkan atau menyalahkan elite
yang bersalah bisa digeser menjadi istilah hukum bercitra humanistis dan
egalitarianistis.
“You may never know what results come of your
action, but if you do nothing, there will be no (Anda mungkin tidak pernah
tahu hasil usaha-usaha Anda, tetapi jika Anda tidak melakukan sesuatu, Anda
tidak mungkin mendapatkan hasil),” kata Mahatma Gandhi, yang sebenarnya
bermaksud menyadarkan setiap pegiat kebenaran untuk tak merasa cukup dengan
‘sekali melangkah’, tetapi harus terus-menerus melangkah demi hasil yang jauh
lebih baik.
Selain
itu, apa yang dinyatakan reformis India (Gandhi) tersebut menunjukkan
keberhasilan manusia (aparat penegak hukum), dalam hal ini KPK, ditentukan
usaha yang mereka lakukan. Menunjukkan kreasi dan independensi akan menjadikan
KPK institusi penegak hukum yang sukses mengukir sejarah.
KPK
tidak mendapatkan apa-apa yang menguntungkan atau mencerahkan dalam jagat
yuridis negeri ini kalau tidak berusaha. Jika peran yang mereka mainkan kecil,
seperti merasa cukup hanya memeriksa Anas atau memeriksa sebatas memenuhi
syarat formal yuridis, yang mereka raih pun tidak akan banyak.
Jika
peran yang KPK mainkan besar, prestasi besar pun bagi jagat hukum bisa
diraihnya. Jika peran besarnya di lini memedulikan kepentingan strategis
masyarakat dan bangsa melalui jalur pemeriksaan (pembongkaran) kasus, berarti
hasil besar dan fundamental bisa dituai nanti, dan sebaliknya jika usaha yang
dilakukannya tidak banyak mendukung kepentingan hukum dan keadilan, berarti
masyarakat, bangsa, dan negara ini tidak akan mendapatkan apa-apa atau memang
tidak ingin melakukan perubahan bersejarah dalam perjalanan hidupnya. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar