Sabtu, 10 Juli 2021

 

Wewenang OJK Lindungi Konsumen

Irvan Rahardjo ;  Arbiter Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI)

KOMPAS, 9 Juli 2021

 

 

                                                           

Paul Sutaryono menulis artikel “Tantangan OJK Lindungi Konsumen“ (Kompas, 7/6/2021 ), yang membandingkan OJK di Indonesia dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) model Inggris, yakni Financial Services Authority (FSA).

 

Paul Sutaryono menyebut upaya perlindungan OJK bagi konsumen bukan sesuatu yang baru dan sudah barang tentu OJK juga wajib memiliki minimal empat fungsi seperti dimiliki FSA. Di aturan lama, OJK hanya memiliki fungsi mediasi.

 

Menurut Paul ada beberapa hal yang perlu disoroti dalam Rancangan Peraturan OJK tentang Perlindungan Konsumen di Sektor Jasa Keuangan.

 

Pasal 37, misalnya, menegaskan, pelaku usaha jasa keuangan (PUJK ) wajib bertanggung jawab atas kerugian konsumen akibat kelalaian karyawan hingga direksi. Pasal 44 menyatakan OJK berwenang menjalankan pembelaan hukum untuk melindungi konsumen, termasuk menggugat dan menuntut ganti rugi hak konsumen kepada PUJK ke pengadilan.

 

Rekomendasi IMF

 

Pembentukan OJK merupakan rekomendasi dari Dana Moneter Internasional (IMF) dengan mengambil contoh FSA di Inggris. IMF menginginkan dibentuknya sebuah lembaga keuangan yang terpisah dari kementerian keuangan dan bank sentral dengan mengambil model FSA. Dalam kenyataannya, FSA justru dipandang gagal melaksanakan tugas dan wewenangnya, khususnya ketika Inggris dihadapkan kepada krisis finansial global 2008.

 

FSA Inggris pun tak dapat mendeteksi kondisi keuangan The Northern Rock, bank penyedia kredit perumahan skala kecil yang menempatkan dananya dalam porsi cukup besar di sub prime mortgage yang menjadi masalah di AS.

 

Pemerintah Inggris terpaksa mengambil alih bank itu untuk menyelamatkannya. Belakangan Inggris justru mengembalikan sistem pengawasan bank dari model otoritas jasa keuangan atau FSA ke bank sentral.

 

Pada 19 Desember 2012, Financial Security Act 2012 disetujui Kerajaan Inggris dan 1 April 2013 FSA dibubarkan dan diganti Financial Conduct Authority dan Prudential Regulatory Authority di bawah pengawasan bank sentral Inggris.

 

Penumpukan kewenangan

 

OJK menghadapi uji materi di Mahkamah Konstitusi dalam perkara No 25/PUU- XII/2014 yang mempersoalkan konstitusionalitas independensi OJK. Fungsi pengaturan dan pengawasan terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan sektor jasa keuangan dinilai dapat berdampak pada penumpukan kewenangan yang menimbulkan potensi moral hazard sehingga menjadi sulit terkontrol.

 

Uji materi ditolak, tetapi MK mengabulkan permohonan para pemohon untuk sebagian dengan menyatakan frasa ”dan bebas dari campur tangan pihak lain” yang mengikuti kata independen, tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.

 

Penumpukan kewenangan OJK juga digugat dalam perkara uji materi dengan Nomor 102/PUU-XVI/2018. Para pemohon merasa hak-hak konstitusionalnya dirugikan atau berpotensi dirugikan dengan berlakunya Pasal 1 angka 1 dan Pasal 9 huruf c UU OJK, terutama frasa “penyidikan”.

 

Kewenangan penyidikan OJK dilakukan penyidik Polri atau Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) mengikuti Pasal 6 KUHAP. Hal ini, memicu perebutan perkara antara penyidik Polri dan PPNS di OJK. Dalam konteks kewenangan, penyidik OJK bisa melakukan penyidikan terkait fungsinya sebagai pengawas perbankan dan non perbankan. Lembaga sejenis OJK di negara lain tidak memiliki kewenangan penyidikan.

 

POJK No. 31/POJK.07/2020 tentang Penyelenggaraan Layanan Konsumen dan Masyarakat di sektor Jasa Keuangan oleh Otoritas Jasa Keuangan hanya memberi kewenangan kepada OJK selaku fasilitator dalam menyelesaikan sengketa dengan potensi kerugian maksimal Rp 500 juta untuk asuransi umum dan Rp 750 juta untuk asuransi jiwa.

 

Kewenangan untuk mengajukan gugatan harus dikesampingkan karena berbenturan dengan fungsi mediasi dan fasilitator OJK . Soal gugatan merupakan hak konstitusi setiap konsumen, jangan sampai menimbulkan tafsir bahwa gugatan hanya bisa dilakukan oleh OJK dalam kapasitas sebagai pengawas untuk meminta pertanggungjawaban terhadap PUJK di pengadilan.

 

Hal ini sesuai KUH Perdata soal wanprestasi dan ganti rugi (Pasal 1243). Pembatalan perjanjian harus dengan keputusan hakim pengadilan (Pasal 1266). Persetujuan tak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak. Syarat sepakat, tak mengandung paksaan atau penipuan, harus berdasarkan itikad baik (Pasal 1320). Kesepakatan harus dilaksanakan dengan itikad baik (Pasal 1338). Setiap hubungan hukum yang lahir dari perikatan keperdataan bukan kewenangan hukum publik, dalam hal ini OJK.

 

Kewenangan OJK terkait perlindungan konsumen adalah kewajiban asuransi membentuk Dana Jaminan dalam bentuk dan jumlah yang ditetapkan oleh OJK. Dana Jaminan wajib disesuaikan jumlahnya dengan perkembangan usaha. Dana Jaminan dilarang diagunkan atau dibebani dengan hak apa pun. Dana Jaminan hanya dapat dipindahkan atau dicairkan setelah dapat persetujuan OJK.

 

Namun alih-alih melaksanakan kewenangan mengelola kecukupan Dana Jaminan, penumpukan kewenangan OJK dalam perlindungan konsumen terjadi dengan POJK Nomor 17 /POJK.05/2017 tentang Prosedur Dan Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif Di Bidang Perasuransian dan Pemblokiran Kekayaan Perusahaan Asuransi. OJK memiliki kewenangan pemblokiran manakala perusahaan asuransi dikenai sanksi administratif berupa pembatasan kegiatan usaha karena tak penuhi ketentuan solvabilitas atau dicabut izin usahanya.

 

Kita melihat sejumlah paradoks yang melekat pada eksistensi OJK saat ini (Irvan Rahardjo, "Paradoks OJK", Kompas, 23/8/2019). Dengan fungsi perlindungan konsumen yang dimiliki, OJK bahkan tidak memiliki tenaga komisioner yang mewakili kelompok konsumen pengguna jasa keuangan. Dalam banyak kasus pengaduan klaim asuransi nasabah ke OJK sangat minim perhatian dan kepedulian OJK dalam menangani keluhan nasabah.

 

Termasuk kasus nasabah asuransi yang ditutup atau dipailitkan oleh OJK, nasabah harus berjuang sendiri tanpa fasilitas mediasi dan advokasi yang tersedia di OJK. OJK lembaga independen, tapi dibiayai dari pungutan iuran industri. Ini menimbulkan benturan kepentingan dengan fungsi perlindungan konsumen. OJK berhadapan dengan para pelaku sektor jasa keuangan yang jadi sumber pungutan iuran OJK.

 

Kasus gagal bayar Jiwasraya menimbulkan pertanyaan soal pengawasan OJK sejak gagalnya restrukturisasi AJB Bumiputera yang tak kunjung membuahkan penyelesaian hingga kini. OJK yang over regulated kerap tak menegakkan aturan yang dibuatnya sendiri.

 

Sebut beberapa peraturan OJK (POJK), antara lain No 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan; No 23/POJK.05/ 2015 tentang Produk Asuransi dan Pemasaran Produk Asuransi; No 73/POJK.05/2016 tentang Tata Kelola Perusahaan yang Baik bagi Perusahaan Perasuransian; No 71/POJK.05/2016 tentang Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi.

 

Dengan berbagai kewenangan OJK dan instrumen deteksi dini seperti RBC, kondisi gagal bayar perusahaan asuransi seharusnya bisa dicegah. Lemahnya pengawasan perasuransian OJK terhadap perasuransian tampak pada lemahnya tata kelola dan kepastian hukum pada usaha perasuransian.

 

Soal pemailitan asuransi yang tak melindungi kepentingan hak konsumen, pembatasan kegiatan usaha yang terlalu lama sehingga mencederai perlindungan konsumen, tata kelola dan kepatuhan buruk, lembaga penjamin polis, aturan badan usaha berbentuk mutual, program asuransi wajib amanat UU No 40/2014 tentang perasuransian yang belum terwujud; semua itu membuat lebih mendesak untuk mewujudkan perlindungan konsumen.

 

OJK akan menerbitkan beleid untuk memperketat ketentuan produk unit link. Akan diatur investasi apa yang bisa dibelikan perusahaan dari dana pemegang polis. Tujuannya untuk meminimalkan kerugian konsumen serta potensi pemilihan saham yang sarat spekulasi. Di sisi lain, rencana peraturan OJK dimaksud belum menjawab sumber masalah yang terletak pada kurangnya transparansi perusahaan pada konsumen dan fakta banyak konsumen yang belum memahami apa itu unit link.

 

Agen asuransi kerap menjelaskan secara tidak jujur risiko dan manfaat unit link secara proporsional, apalagi soal potensi kerugian akibat fluktuasi pasar keuangan. Informasi yang diberikan selalu mengarah keuntungan di masa depan, seakan-akan konsumen pasti mendapat imbal hasil besar. OJK bisa berbuat lebih tegas lagi, sebagaimana janji untuk mereformasi industri asuransi.

 

OJK perlu bersikap tegas pada aktivitas penawaran produk asuransi di bank, tidak dicampuradukkan dengan praktik mis selling karena konsumen datang ke bank untuk menitipkan uangnya, bukan mengasuransikan yang dibalut dengan investasi. Konsumen kerap memutuskan menerima tawaran dengan pola pikir yang salah, yaitu produk asuransi sama dengan bank. Tak sedikit yang akhirnya terkejut karena tabungannya terdebit secara otomatis untuk biaya asuransi yang tak disadarinya.

 

OJK tidak dapat menyalahkan nasabah atau konsumen atas kerugian yang dideritanya, karena terdapat kesenjangan yang sangat lebar antara inklusi keuangan khususnya perbankan yang tinggi dengan literasi asuransi yang sangat rendah.

 

Penurunan jumlah nasabah unit link saat ini juga menjadi sinyal bahwa industri asuransi harus kembali ke bisnis inti sebagai penyedia proteksi bukan investasi . Selain itu, sektor ini akan segera dihadapkan pada penerapan IFRS 17 yang akan mulai berlaku pada 2025. Pada saat itu, premi unit link tidak dapat diakui sebagai pendapatan asuransi.

 

Upaya penyelamatan nasabah PT Asuransi Jiwasraya melalui restrukturisasi saat ini perlu dilanjutkan dengan tekad reformasi industri perasuransian. Restrukturisasi akan menekan pamor dan kepercayaan masyarakat terhadap industri di jangka pendek. Perlu ada tekad melakukan reformasi perasuransian seperti dicanangkan Presiden saat membuka Pertemuan Tahunan Industri Jasa Keuangan awal 2020 yang ditindaklanjuti OJK.

 

Terdapat empat fokus dari reformasi IKNB yang akan dijalankan OJK. Pertama, reformasi pengaturan dan pengawasan, terdiri dari reformasi pada aspek kehati-hatian melalui penilaian aktiva dan peningkatan modal minimum secara bertahap, kemudian dalam hal tata kelola dan manajemen risiko. OJK pun akan mendorong penguatan pengawasan berbasis risiko.

 

Fokus kedua, reformasi institusional yang akan mencakup entry policy, penetapan status pengawasan dan exit policy. Fokus ketiga, reformasi infrastruktur. Reformasi akan dilakukan dalam sistem informasi dan pelaporan kepada OJK, keterbukaan informasi kepada publik, serta analisis industri.

 

Fokus keempat, penyiapan RUU Lembaga Penjamin Polis. OJK menyatakan akan menyiapkan kerangka hukum pendirian lembaga itu. OJK berharap para perusahaan asuransi dapat memahami arah transformasi ini sehingga bisa mempersiapkan diri menuju transformasi yang akan dilakukan.

 

Periode 1998-1999 industri perbankan sempat mengalami hal serupa dengan yang dialami industri asuransi saat ini. Pemicunya, saat krisis moneter lembaga keuangan dunia IMF merekomendasikan Indonesia menutup 10 bank. Namun dengan reformasi total, kinerja industri perbankan bisa kembali. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar