Wewenang
OJK Lindungi Konsumen Irvan Rahardjo ; Arbiter Badan Arbitrase Nasional Indonesia
(BANI) |
KOMPAS, 9 Juli 2021
Paul Sutaryono menulis
artikel “Tantangan OJK Lindungi Konsumen“ (Kompas, 7/6/2021 ), yang
membandingkan OJK di Indonesia dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) model
Inggris, yakni Financial Services Authority (FSA). Paul Sutaryono menyebut
upaya perlindungan OJK bagi konsumen bukan sesuatu yang baru dan sudah barang
tentu OJK juga wajib memiliki minimal empat fungsi seperti dimiliki FSA. Di
aturan lama, OJK hanya memiliki fungsi mediasi. Menurut Paul ada beberapa
hal yang perlu disoroti dalam Rancangan Peraturan OJK tentang Perlindungan
Konsumen di Sektor Jasa Keuangan. Pasal 37, misalnya,
menegaskan, pelaku usaha jasa keuangan (PUJK ) wajib bertanggung jawab atas
kerugian konsumen akibat kelalaian karyawan hingga direksi. Pasal 44
menyatakan OJK berwenang menjalankan pembelaan hukum untuk melindungi
konsumen, termasuk menggugat dan menuntut ganti rugi hak konsumen kepada PUJK
ke pengadilan. Rekomendasi
IMF Pembentukan OJK merupakan
rekomendasi dari Dana Moneter Internasional (IMF) dengan mengambil contoh FSA
di Inggris. IMF menginginkan dibentuknya sebuah lembaga keuangan yang
terpisah dari kementerian keuangan dan bank sentral dengan mengambil model
FSA. Dalam kenyataannya, FSA justru dipandang gagal melaksanakan tugas dan
wewenangnya, khususnya ketika Inggris dihadapkan kepada krisis finansial
global 2008. FSA Inggris pun tak dapat
mendeteksi kondisi keuangan The Northern Rock, bank penyedia kredit perumahan
skala kecil yang menempatkan dananya dalam porsi cukup besar di sub prime
mortgage yang menjadi masalah di AS. Pemerintah Inggris
terpaksa mengambil alih bank itu untuk menyelamatkannya. Belakangan Inggris
justru mengembalikan sistem pengawasan bank dari model otoritas jasa keuangan
atau FSA ke bank sentral. Pada 19 Desember 2012,
Financial Security Act 2012 disetujui Kerajaan Inggris dan 1 April 2013 FSA
dibubarkan dan diganti Financial Conduct Authority dan Prudential Regulatory
Authority di bawah pengawasan bank sentral Inggris. Penumpukan
kewenangan OJK menghadapi uji materi
di Mahkamah Konstitusi dalam perkara No 25/PUU- XII/2014 yang mempersoalkan
konstitusionalitas independensi OJK. Fungsi pengaturan dan pengawasan
terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan sektor jasa keuangan dinilai dapat
berdampak pada penumpukan kewenangan yang menimbulkan potensi moral hazard
sehingga menjadi sulit terkontrol. Uji materi ditolak, tetapi
MK mengabulkan permohonan para pemohon untuk sebagian dengan menyatakan frasa
”dan bebas dari campur tangan pihak lain” yang mengikuti kata independen,
tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Penumpukan kewenangan OJK
juga digugat dalam perkara uji materi dengan Nomor 102/PUU-XVI/2018. Para
pemohon merasa hak-hak konstitusionalnya dirugikan atau berpotensi dirugikan
dengan berlakunya Pasal 1 angka 1 dan Pasal 9 huruf c UU OJK, terutama frasa
“penyidikan”. Kewenangan penyidikan OJK
dilakukan penyidik Polri atau Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) mengikuti
Pasal 6 KUHAP. Hal ini, memicu perebutan perkara antara penyidik Polri dan
PPNS di OJK. Dalam konteks kewenangan, penyidik OJK bisa melakukan penyidikan
terkait fungsinya sebagai pengawas perbankan dan non perbankan. Lembaga
sejenis OJK di negara lain tidak memiliki kewenangan penyidikan. POJK No. 31/POJK.07/2020
tentang Penyelenggaraan Layanan Konsumen dan Masyarakat di sektor Jasa
Keuangan oleh Otoritas Jasa Keuangan hanya memberi kewenangan kepada OJK
selaku fasilitator dalam menyelesaikan sengketa dengan potensi kerugian
maksimal Rp 500 juta untuk asuransi umum dan Rp 750 juta untuk asuransi jiwa. Kewenangan untuk
mengajukan gugatan harus dikesampingkan karena berbenturan dengan fungsi
mediasi dan fasilitator OJK . Soal gugatan merupakan hak konstitusi setiap
konsumen, jangan sampai menimbulkan tafsir bahwa gugatan hanya bisa dilakukan
oleh OJK dalam kapasitas sebagai pengawas untuk meminta pertanggungjawaban
terhadap PUJK di pengadilan. Hal ini sesuai KUH Perdata
soal wanprestasi dan ganti rugi (Pasal 1243). Pembatalan perjanjian harus
dengan keputusan hakim pengadilan (Pasal 1266). Persetujuan tak dapat ditarik
kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak. Syarat sepakat, tak
mengandung paksaan atau penipuan, harus berdasarkan itikad baik (Pasal 1320).
Kesepakatan harus dilaksanakan dengan itikad baik (Pasal 1338). Setiap
hubungan hukum yang lahir dari perikatan keperdataan bukan kewenangan hukum publik,
dalam hal ini OJK. Kewenangan OJK terkait
perlindungan konsumen adalah kewajiban asuransi membentuk Dana Jaminan dalam
bentuk dan jumlah yang ditetapkan oleh OJK. Dana Jaminan wajib disesuaikan
jumlahnya dengan perkembangan usaha. Dana Jaminan dilarang diagunkan atau
dibebani dengan hak apa pun. Dana Jaminan hanya dapat dipindahkan atau
dicairkan setelah dapat persetujuan OJK. Namun alih-alih
melaksanakan kewenangan mengelola kecukupan Dana Jaminan, penumpukan
kewenangan OJK dalam perlindungan konsumen terjadi dengan POJK Nomor 17
/POJK.05/2017 tentang Prosedur Dan Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif
Di Bidang Perasuransian dan Pemblokiran Kekayaan Perusahaan Asuransi. OJK
memiliki kewenangan pemblokiran manakala perusahaan asuransi dikenai sanksi
administratif berupa pembatasan kegiatan usaha karena tak penuhi ketentuan
solvabilitas atau dicabut izin usahanya. Kita melihat sejumlah
paradoks yang melekat pada eksistensi OJK saat ini (Irvan Rahardjo,
"Paradoks OJK", Kompas, 23/8/2019). Dengan fungsi perlindungan
konsumen yang dimiliki, OJK bahkan tidak memiliki tenaga komisioner yang
mewakili kelompok konsumen pengguna jasa keuangan. Dalam banyak kasus
pengaduan klaim asuransi nasabah ke OJK sangat minim perhatian dan kepedulian
OJK dalam menangani keluhan nasabah. Termasuk kasus nasabah
asuransi yang ditutup atau dipailitkan oleh OJK, nasabah harus berjuang
sendiri tanpa fasilitas mediasi dan advokasi yang tersedia di OJK. OJK
lembaga independen, tapi dibiayai dari pungutan iuran industri. Ini menimbulkan
benturan kepentingan dengan fungsi perlindungan konsumen. OJK berhadapan
dengan para pelaku sektor jasa keuangan yang jadi sumber pungutan iuran OJK. Kasus gagal bayar
Jiwasraya menimbulkan pertanyaan soal pengawasan OJK sejak gagalnya
restrukturisasi AJB Bumiputera yang tak kunjung membuahkan penyelesaian
hingga kini. OJK yang over regulated kerap tak menegakkan aturan yang
dibuatnya sendiri. Sebut beberapa peraturan
OJK (POJK), antara lain No 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen
Sektor Jasa Keuangan; No 23/POJK.05/ 2015 tentang Produk Asuransi dan
Pemasaran Produk Asuransi; No 73/POJK.05/2016 tentang Tata Kelola Perusahaan
yang Baik bagi Perusahaan Perasuransian; No 71/POJK.05/2016 tentang Kesehatan
Keuangan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi. Dengan berbagai kewenangan
OJK dan instrumen deteksi dini seperti RBC, kondisi gagal bayar perusahaan
asuransi seharusnya bisa dicegah. Lemahnya pengawasan perasuransian OJK
terhadap perasuransian tampak pada lemahnya tata kelola dan kepastian hukum
pada usaha perasuransian. Soal pemailitan asuransi
yang tak melindungi kepentingan hak konsumen, pembatasan kegiatan usaha yang
terlalu lama sehingga mencederai perlindungan konsumen, tata kelola dan
kepatuhan buruk, lembaga penjamin polis, aturan badan usaha berbentuk mutual,
program asuransi wajib amanat UU No 40/2014 tentang perasuransian yang belum
terwujud; semua itu membuat lebih mendesak untuk mewujudkan perlindungan
konsumen. OJK akan menerbitkan
beleid untuk memperketat ketentuan produk unit link. Akan diatur investasi
apa yang bisa dibelikan perusahaan dari dana pemegang polis. Tujuannya untuk
meminimalkan kerugian konsumen serta potensi pemilihan saham yang sarat
spekulasi. Di sisi lain, rencana peraturan OJK dimaksud belum menjawab sumber
masalah yang terletak pada kurangnya transparansi perusahaan pada konsumen
dan fakta banyak konsumen yang belum memahami apa itu unit link. Agen asuransi kerap
menjelaskan secara tidak jujur risiko dan manfaat unit link secara
proporsional, apalagi soal potensi kerugian akibat fluktuasi pasar keuangan.
Informasi yang diberikan selalu mengarah keuntungan di masa depan,
seakan-akan konsumen pasti mendapat imbal hasil besar. OJK bisa berbuat lebih
tegas lagi, sebagaimana janji untuk mereformasi industri asuransi. OJK perlu bersikap tegas
pada aktivitas penawaran produk asuransi di bank, tidak dicampuradukkan
dengan praktik mis selling karena konsumen datang ke bank untuk menitipkan
uangnya, bukan mengasuransikan yang dibalut dengan investasi. Konsumen kerap
memutuskan menerima tawaran dengan pola pikir yang salah, yaitu produk
asuransi sama dengan bank. Tak sedikit yang akhirnya terkejut karena
tabungannya terdebit secara otomatis untuk biaya asuransi yang tak
disadarinya. OJK tidak dapat
menyalahkan nasabah atau konsumen atas kerugian yang dideritanya, karena
terdapat kesenjangan yang sangat lebar antara inklusi keuangan khususnya
perbankan yang tinggi dengan literasi asuransi yang sangat rendah. Penurunan jumlah nasabah
unit link saat ini juga menjadi sinyal bahwa industri asuransi harus kembali
ke bisnis inti sebagai penyedia proteksi bukan investasi . Selain itu, sektor
ini akan segera dihadapkan pada penerapan IFRS 17 yang akan mulai berlaku
pada 2025. Pada saat itu, premi unit link tidak dapat diakui sebagai
pendapatan asuransi. Upaya penyelamatan nasabah
PT Asuransi Jiwasraya melalui restrukturisasi saat ini perlu dilanjutkan
dengan tekad reformasi industri perasuransian. Restrukturisasi akan menekan
pamor dan kepercayaan masyarakat terhadap industri di jangka pendek. Perlu
ada tekad melakukan reformasi perasuransian seperti dicanangkan Presiden saat
membuka Pertemuan Tahunan Industri Jasa Keuangan awal 2020 yang
ditindaklanjuti OJK. Terdapat empat fokus dari
reformasi IKNB yang akan dijalankan OJK. Pertama, reformasi pengaturan dan
pengawasan, terdiri dari reformasi pada aspek kehati-hatian melalui penilaian
aktiva dan peningkatan modal minimum secara bertahap, kemudian dalam hal tata
kelola dan manajemen risiko. OJK pun akan mendorong penguatan pengawasan
berbasis risiko. Fokus kedua, reformasi
institusional yang akan mencakup entry policy, penetapan status pengawasan
dan exit policy. Fokus ketiga, reformasi infrastruktur. Reformasi akan
dilakukan dalam sistem informasi dan pelaporan kepada OJK, keterbukaan
informasi kepada publik, serta analisis industri. Fokus keempat, penyiapan
RUU Lembaga Penjamin Polis. OJK menyatakan akan menyiapkan kerangka hukum
pendirian lembaga itu. OJK berharap para perusahaan asuransi dapat memahami
arah transformasi ini sehingga bisa mempersiapkan diri menuju transformasi
yang akan dilakukan. Periode 1998-1999 industri
perbankan sempat mengalami hal serupa dengan yang dialami industri asuransi
saat ini. Pemicunya, saat krisis moneter lembaga keuangan dunia IMF merekomendasikan
Indonesia menutup 10 bank. Namun dengan reformasi total, kinerja industri
perbankan bisa kembali. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar