Teror
di Balik Produk Pangan Posman Sibuea ; Guru Besar Teknologi Hasil Pertanian dan
Ketahanan Pangan Unika Santo Thomas,
Medan; Anggota Pokja Ahli Ketahanan Pangan Nasional Kementan |
KOMPAS, 26 Juli 2021
Liputan
investigasi Kompas tentang penyalahgunaan antibiotik di peternakan ayam
broiler baru-baru ini seakan membuka kotak pandora kelayakan konsumsi daging
ayam. Investigasi ini menyingkap awan gelap keamanan pangan dan menjadi alarm
bagi masyarakat untuk tetap waspada terhadap teror di balik produk pangan
yang sering terjadi di tengah masyarakat. Selama
ini, di beberapa daerah dilakukan pengawasan peredaran produk pangan. Balai
Besar Pengawas Obat dan Makanan bekerja sama dengan dinas kesehatan, dinas
ketahanan pangan, dan dinas perdagangan membuat pengujian cepat (rapid test)
atas sejumlah produk pangan. Mereka mendatangi pasar tradisional, toko, dan
supermarket untuk menguji mutu produk pangan segar, seperti daging sapi, ayam,
dan ikan, selain mengecek jajanan tradisional dan pangan olahan tanpa izin
edar, kedaluwarsa, kemasan rusak, dan kaleng berkarat. Hasil
pemeriksaan secara acak kerap menemukan produk pangan yang mengandung bahan
berbahaya, seperti boraks, antibiotik berlebihan, rodhamin B, formalin, dan
pewarna methanyl yellow/kuning metanil. Pada umumnya masih ditemukan produk
makanan menggunakan bahan pengawet berlebihan, zat pewarna tekstil, dan
produk pangan kedaluwarsa. Ancaman serius Bahan
pangan masih rentan menjadi sumber penyakit dan ancaman serius kesehatan masyarakat. Hal ini mendorong
Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) saat perayaan Hari Keamanan Pangan
Sedunia, 7 Juni 2021, mengangkat tema ”Save Food Now For a Healthy Tomorrow”.
Tema ini patut dihidupi para pelaku industri pangan untuk memperbaiki
keamanan pangan yang masih rendah di Indonesia. Berdasarkan
data Indeks Keamanan Pangan (Global Food Safety Index) 2020 yang diterbitkan
Economist Intelligence Unit Global Food Security Index, Indonesia peringkat
ke-65 dari 113 negara. Di ASEAN, Indonesia di bawah Singapura (19), Malaysia
(43), dan Vietnam (63). Peringkat
yang relatif masih rendah ini, meski tak mengejutkan, menjadi lampu kuning
bagi kesehatan konsumen pangan. Sekadar contoh, akses pelaku industri rumah
tangga terhadap air bersih dan tingkat higienitas produk belum terjamin
sepenuhnya. Masyarakat juga kerap resah terkait peredaran berbagai produk
makanan yang diduga mengandung zat berbahaya. Bahkan,
beberapa waktu lalu, warga dibuat kaget dan takut dengan produk nata de coco
yang menggunakan pupuk urea, kikil diawetkan dengan formalin, dan jajanan
anak sekolah memakai zat pewarna tekstil rhodamine B. Di pasar tradisional,
mudah dijumpai produk pangan yang tak aman bagi kesehatan. Setiap hari selalu
saja ada bahaya laten yang mengintai, tersembunyi bak teror. Sepintas tak
kelihatan, tetapi dampaknya begitu pasti. Bisa segera, bisa juga bertahap
dalam jangka waktu lama. Itulah
bahaya dan teror yang dikirim lewat produk pangan. Keamanan pangan masih jadi
ancaman serius di tengah keterbatasan daya beli yang membuat warga
mengonsumsi makanan asal jadi alias tak aman. Penggunaan
bahan pengawet berlebihan yang selalu berulang menjadi bukti lemahnya
pengawasan keamanan pangan di negeri ini. Ironisnya, pemerintah belum pernah
memberikan sanksi keras sesuai dengan hukum yang berlaku, seperti roh UU
Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan, pada produsen nakal yang memproduksi
makanan berformalin. Konsumen
pangan acap dirugikan karena tak mengetahui secara jelas komposisi zat gizi
dan bahan pengawet yang digunakan dalam makanan. Sekadar contoh, beras yang
diputihkan dengan pemutih tekstil, tahu dan mi basah berformalin, serta
minuman isotonik dan makanan berpengawet melebihi ambang batas yang tak
pernah disebut di label untuk diinformasikan kepada konsumen. Padahal,
mengonsumsi berbagai makanan berpengawet yang tak aman bagi kesehatan
memiliki daya dekstruktif yang mengerikan. Jika tak ada tindakan tegas
terhadap produsennya, kejadian serupa akan terus berulang dan konsumen akan
selalu menjadi korban. Keamanan
pangan, seperti disebut di UU No 18/2012 tentang Pangan ialah kondisi dan
upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran
biologis, kimia, dan benda lain yang bisa mengganggu, merugikan, serta
membahayakan kesehatan manusia. Setiap
bahan pangan yang terkontaminasi zat berbahaya—ditambahkan secara sengaja
atau tidak—dikategorikan sebagai ancaman terorisme baru dari perspektif food
terrorism. Bentuk teror ini adalah ancaman ketakutan yang ditebar lewat
produk pangan berpengawet tak aman bagi kesehatan yang tujuannya semata
meraup untung di atas derita orang lain. Aman dikonsumsi Pemerintah
harus menjamin setiap produk pangan yang beredar di masyarakat aman dikonsumsi. Konsumen punya hak atas
keamanan untuk produk pangan. Ini diatur dalam Pasal 4 UU No 8/1999 tentang
Perlindungan Konsumen. Hal senada disebutkan dalam UU No 18/2012, yakni
pangan yang aman merupakan prasyarat utama yang harus dipenuhi dan setiap
orang yang memproduksi pangan untuk diedarkan dilarang menggunakan bahan
tambahan yang dinyatakan terlarang. Namun,
setiap kali keamanan pangan berbenturan dengan akal-akalan pelaku industri
pangan, kita kembali tersentak karena pengalaman tidak pernah dijadikan
pelajaran. Catatan tragedi keamanan pangan pada kasus biskuit beracun 1989,
mi instan beracun 1994, serta tragedi mi basah dan tahu berformalin 2006 tak
boleh terulang. Berbagai kasus keracunan pangan harus menjadi peringatan bagi
pemerintah untuk mengawal keamanan pangan secara ketat dan berkelanjutan. Posisi
konsumen pangan harus diberi penguatan dengan menegakkan aturan tentang
keamanan pangan. Daging impor dari negara yang belum bebas sapi gila tak
boleh dilakukan lagi. Penggunaan formalin pada produk ikan segar harus
diawasi secara baik. Para pemain impor beras yang kerap memakai pemutih
tekstil untuk memutihkan beras sisa impor yang berwarna kusam harus
ditertibkan. Beras untuk masyarakat miskin (raskin) yang sering tak layak
lagi karena sudah berkutu tak boleh dikonsumsi. Makanan
yang aman bagi kesehatan terkesan menjadi barang langka karena orientasi
produk murah. Pihak industri pangan skala rumah tangga kerap melakukan
kesalahan dengan tak memberikan label pada produk olahan pangannya. Meski
memiliki label, informasi di dalamnya tak menjelaskan komposisi produk itu
secara akurat. Jajanan anak sekolah yang kerap tak berlabel bukan cerita baru
dalam konstelasi keamanan pangan di negeri ini. Persoalan
lama ini kerap berulang. Pemerintah belum mampu melindungi kehidupan warga
dari bahan pangan yang terkontaminasi senyawa beracun. Perkembangan
ilmu dan teknologi pangan yang kian cepat, di samping memberikan banyak
manfaat, juga acap membawa bahaya technological epidemic. Produk olahan
pangan yang menggunakan penyedap rasa, pewarna, pemanis, dan pengawet
sintetik kian mendapat tempat di hati masyarakat. Apalagi
ketika makanan diposisikan semata komoditas ekonomi guna meraup untung,
pedagang ”nakal” akan selalu menggunakan bahan tambahan pangan melampaui
takaran yang dianjurkan atau bahkan menambahkan bahan yang tak semestinya
dipakai. Temuan
penyalahgunaan antibiotik di peternakan ayam broiler hanya puncak gunung es
permasalahan keamanan pangan di Tanah Air. Pembukaan kotak pandora ini patut
dijadikan momentum baru peningkatan mutu pangan untuk mengakhiri teror pangan
yang kerap berulang, sekaligus mengatrol Indeks Keamanan Pangan kita di masa
datang. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar