Selasa, 27 Juli 2021

 

Teror di Balik Produk Pangan

Posman Sibuea ;  Guru Besar Teknologi Hasil Pertanian dan Ketahanan Pangan  Unika Santo Thomas, Medan; Anggota Pokja Ahli Ketahanan Pangan Nasional Kementan

KOMPAS, 26 Juli 2021

 

 

                                                           

Liputan investigasi Kompas tentang penyalahgunaan antibiotik di peternakan ayam broiler baru-baru ini seakan membuka kotak pandora kelayakan konsumsi daging ayam. Investigasi ini menyingkap awan gelap keamanan pangan dan menjadi alarm bagi masyarakat untuk tetap waspada terhadap teror di balik produk pangan yang sering terjadi di tengah masyarakat.

 

Selama ini, di beberapa daerah dilakukan pengawasan peredaran produk pangan. Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan bekerja sama dengan dinas kesehatan, dinas ketahanan pangan, dan dinas perdagangan membuat pengujian cepat (rapid test) atas sejumlah produk pangan. Mereka mendatangi pasar tradisional, toko, dan supermarket untuk menguji mutu produk pangan segar, seperti daging sapi, ayam, dan ikan, selain mengecek jajanan tradisional dan pangan olahan tanpa izin edar, kedaluwarsa, kemasan rusak, dan kaleng berkarat.

 

Hasil pemeriksaan secara acak kerap menemukan produk pangan yang mengandung bahan berbahaya, seperti boraks, antibiotik berlebihan, rodhamin B, formalin, dan pewarna methanyl yellow/kuning metanil. Pada umumnya masih ditemukan produk makanan menggunakan bahan pengawet berlebihan, zat pewarna tekstil, dan produk pangan kedaluwarsa.

 

Ancaman serius

 

Bahan pangan masih rentan menjadi sumber penyakit dan ancaman serius  kesehatan masyarakat. Hal ini mendorong Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) saat perayaan Hari Keamanan Pangan Sedunia, 7 Juni 2021, mengangkat tema ”Save Food Now For a Healthy Tomorrow”. Tema ini patut dihidupi para pelaku industri pangan untuk memperbaiki keamanan pangan yang masih rendah di Indonesia.

 

Berdasarkan data Indeks Keamanan Pangan (Global Food Safety Index) 2020 yang diterbitkan Economist Intelligence Unit Global Food Security Index, Indonesia peringkat ke-65 dari 113 negara. Di ASEAN, Indonesia di bawah Singapura (19), Malaysia (43), dan Vietnam (63).

 

Peringkat yang relatif masih rendah ini, meski tak mengejutkan, menjadi lampu kuning bagi kesehatan konsumen pangan. Sekadar contoh, akses pelaku industri rumah tangga terhadap air bersih dan tingkat higienitas produk belum terjamin sepenuhnya. Masyarakat juga kerap resah terkait peredaran berbagai produk makanan yang diduga mengandung zat berbahaya.

 

Bahkan, beberapa waktu lalu, warga dibuat kaget dan takut dengan produk nata de coco yang menggunakan pupuk urea, kikil diawetkan dengan formalin, dan jajanan anak sekolah memakai zat pewarna tekstil rhodamine B. Di pasar tradisional, mudah dijumpai produk pangan yang tak aman bagi kesehatan. Setiap hari selalu saja ada bahaya laten yang mengintai, tersembunyi bak teror. Sepintas tak kelihatan, tetapi dampaknya begitu pasti. Bisa segera, bisa juga bertahap dalam jangka waktu lama.

 

Itulah bahaya dan teror yang dikirim lewat produk pangan. Keamanan pangan masih jadi ancaman serius di tengah keterbatasan daya beli yang membuat warga mengonsumsi makanan asal jadi alias tak aman.

 

Penggunaan bahan pengawet berlebihan yang selalu berulang menjadi bukti lemahnya pengawasan keamanan pangan di negeri ini. Ironisnya, pemerintah belum pernah memberikan sanksi keras sesuai dengan hukum yang berlaku, seperti roh UU Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan, pada produsen nakal yang memproduksi makanan berformalin.

 

Konsumen pangan acap dirugikan karena tak mengetahui secara jelas komposisi zat gizi dan bahan pengawet yang digunakan dalam makanan. Sekadar contoh, beras yang diputihkan dengan pemutih tekstil, tahu dan mi basah berformalin, serta minuman isotonik dan makanan berpengawet melebihi ambang batas yang tak pernah disebut di label untuk diinformasikan kepada konsumen.

 

Padahal, mengonsumsi berbagai makanan berpengawet yang tak aman bagi kesehatan memiliki daya dekstruktif yang mengerikan. Jika tak ada tindakan tegas terhadap produsennya, kejadian serupa akan terus berulang dan konsumen akan selalu menjadi korban.

 

Keamanan pangan, seperti disebut di UU No 18/2012 tentang Pangan ialah kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang bisa mengganggu, merugikan, serta membahayakan kesehatan manusia.

 

Setiap bahan pangan yang terkontaminasi zat berbahaya—ditambahkan secara sengaja atau tidak—dikategorikan sebagai ancaman terorisme baru dari perspektif food terrorism. Bentuk teror ini adalah ancaman ketakutan yang ditebar lewat produk pangan berpengawet tak aman bagi kesehatan yang tujuannya semata meraup untung di atas derita orang lain.

 

Aman dikonsumsi

 

Pemerintah harus menjamin setiap produk pangan yang beredar di masyarakat  aman dikonsumsi. Konsumen punya hak atas keamanan untuk produk pangan. Ini diatur dalam Pasal 4 UU No 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen. Hal senada disebutkan dalam UU No 18/2012, yakni pangan yang aman merupakan prasyarat utama yang harus dipenuhi dan setiap orang yang memproduksi pangan untuk diedarkan dilarang menggunakan bahan tambahan yang dinyatakan terlarang.

 

Namun, setiap kali keamanan pangan berbenturan dengan akal-akalan pelaku industri pangan, kita kembali tersentak karena pengalaman tidak pernah dijadikan pelajaran. Catatan tragedi keamanan pangan pada kasus biskuit beracun 1989, mi instan beracun 1994, serta tragedi mi basah dan tahu berformalin 2006 tak boleh terulang. Berbagai kasus keracunan pangan harus menjadi peringatan bagi pemerintah untuk mengawal keamanan pangan secara ketat dan berkelanjutan.

 

Posisi konsumen pangan harus diberi penguatan dengan menegakkan aturan tentang keamanan pangan. Daging impor dari negara yang belum bebas sapi gila tak boleh dilakukan lagi. Penggunaan formalin pada produk ikan segar harus diawasi secara baik. Para pemain impor beras yang kerap memakai pemutih tekstil untuk memutihkan beras sisa impor yang berwarna kusam harus ditertibkan. Beras untuk masyarakat miskin (raskin) yang sering tak layak lagi karena sudah berkutu tak boleh dikonsumsi.

 

Makanan yang aman bagi kesehatan terkesan menjadi barang langka karena orientasi produk murah. Pihak industri pangan skala rumah tangga kerap melakukan kesalahan dengan tak memberikan label pada produk olahan pangannya. Meski memiliki label, informasi di dalamnya tak menjelaskan komposisi produk itu secara akurat. Jajanan anak sekolah yang kerap tak berlabel bukan cerita baru dalam konstelasi keamanan pangan di negeri ini.

 

Persoalan lama ini kerap berulang. Pemerintah belum mampu melindungi kehidupan warga dari bahan pangan yang terkontaminasi senyawa beracun.

 

Perkembangan ilmu dan teknologi pangan yang kian cepat, di samping memberikan banyak manfaat, juga acap membawa bahaya technological epidemic. Produk olahan pangan yang menggunakan penyedap rasa, pewarna, pemanis, dan pengawet sintetik kian mendapat tempat di hati masyarakat.

 

Apalagi ketika makanan diposisikan semata komoditas ekonomi guna meraup untung, pedagang ”nakal” akan selalu menggunakan bahan tambahan pangan melampaui takaran yang dianjurkan atau bahkan menambahkan bahan yang tak semestinya dipakai.

 

Temuan penyalahgunaan antibiotik di peternakan ayam broiler hanya puncak gunung es permasalahan keamanan pangan di Tanah Air. Pembukaan kotak pandora ini patut dijadikan momentum baru peningkatan mutu pangan untuk mengakhiri teror pangan yang kerap berulang, sekaligus mengatrol Indeks Keamanan Pangan kita di masa datang. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar