Ancaman
Covid-19, ”Learning Loss”, dan Urgensi Perlindungan Anak Lisda Sundari ; Pegiat Perlindungan Anak, Ketua Yayasan
Lentera Anak |
KOMPAS, 24 Juli 2021
Anak-anak
menjadi salah satu kelompok rentan yang terdampak pandemi Covid-19 karena
sangat mudah tertular Covid-19 dan dapat mengancam nyawa mereka. Data Satgas
Penanganan Covid-19 mengungkapkan secara kumulatif hingga 16 Juli 2021 ada
777 anak di Indonesia meninggal akibat Covid-19. Persentase
Angka Kematian Tertinggi (CFR) berada pada kelompok usia 0-2 tahun, diikuti
kelompok usia 16-18 tahun, dan usia 3-6 tahun. Seperdelapan kasus Covid-19
yang ada di Indonesia berasal dari usia di bawah 18 tahun, yaitu anak-anak
dan remaja. Sebaran
kasus Covid-19 pada usia anak sekolah mencapai 12,83 persen dari seluruh
kasus terkonfirmasi positif di Indonesia. Anak sekolah usia 7-12 tahun
memiliki kasus terbanyak, yaitu 101.049, disusul usia 16-18 tahun sebanyak
87.385, kemudian usia 13-15 tahun sebanyak 68.370. Sedangkan kasus Covid-19
anak usia TK (3-6 tahun) berjumlah 50.449 dan usia PAUD (0-2) tahun berjumlah
44.083. Fakta
ini menolak mentah-mentah anggapan bahwa anak-anak tidak rentan terpapar
Covid-19 dibanding kelompok usia lanjut, seperti di masa-masa awal pandemi.
Data terbaru Satgas Penanganan Covid-19 telah menguatkan fakta bahwa
anak-anak memiliki potensi yang sama dengan orang dewasa untuk terinfeksi
Covid-19, khususnya karena ditemukannya varian baru virus korona Delta di
sejumlah wilayah di Indonesia. Varian Delta diyakini memiliki kemampuan untuk
menginfeksi anak dengan lebih kuat, dimana kemampuan transmisi varian ini
menjadi 20 persen lebih progresif menular lebih cepat. Menghadapi
daya dahsyat dari varian Delta ini maka upaya terbaik untuk memutus mata
rantai penularan Covid-19 kepada anak adalah dengan tidak membiarkan
anak-anak keluar rumah jika tidak darurat, dan meminta anak memakai masker
pada saat keluar rumah, walaupun hanya bermain sebentar dengan temannya di
depan rumah. Namun
kondisi yang terjadi di masyarakat Indonesia seringkali tidak memberikan
contoh penerapan protokol kesehatan yang benar kepada anak. Orangtua kadang
tidak memakai masker dengan benar saat menerima kunjungan tamu, baik tetangga
sebelah rumah atau keluarga dekat. Orangtua dan keluarga seringkali bersikap
permisif untuk membiarkan anak-anak tetap bermain keluar rumah tanpa dibekali
protokol kesehatan yang ketat dan memadai. Padahal
anak sangat membutuhkan contoh dan pengawasan untuk menerapkan protokol
kesehatan khususnya saat mereka berinteraksi dengan teman sebaya atau di
tempat-tempat keramaian. Data
yang diterima Lentera Anak dari sejumlah pihak menunjukkan lemahnya
pengawasan orangtua terhadap aktivitas anak di luar rumah. Anak-anak begitu mudah
dibiarkan bermain ke rumah tetangganya, sementara tetangganya tersebut ada
yang sudah terpapar Covid-19 hanya saja sama sekali tidak menunjukkan gejala
sakit. Ketika kembali ke rumah, anak tersebut tidak saja sudah tertular
Covid-19, tetapi juga berpotensi menularkan kepada seisi anggota keluarganya
di rumah. Ada
pula orangtua enggan melaporkan kepada pengurus RT setempat bahwa mereka
terpapar Covid-19 karena khawatir akan stigma dari lingkungan yang masih
menganggap penderita Covid-19 sebagai aib. Akibatnya penularan akan sangat
mudah terjadi di lingkungan RT-RW tersebut karena banyaknya penderita
Covid-19 tanpa gejala dan sikap permisif orangtua membebaskan anak bermain
tanpa menggunakan masker yang benar dan tepat. "Learning loss" dan
kesehatan mental Pada
Juli 2021 ini, sesuai kebijakan Kemendikbudristek, seharusnya anak-anak
Indonesia akan memulai Tahun Ajaran Baru dengan pembelajaran tatap muka.
Namun, kondisi pandemi Covid-19 di Indonesia yang belum terkendali berpotensi
menunda kembali pembelajaran tatap muka. Inilah yang dikhawatirkan banyak
pihak akan terjadi learning loss (hilang pembelajaran) pada anak. Anak
yang lebih rentan mengalami learning loss adalah mereka yang tidak memiliki
akses maksimal untuk melakukan pembelajaran daring seperti yang berada di
pedesaan/daerah pedalaman dimana akses internet sulit didapat. Kalaupun ada
akses internet, keterbatasan infrastruktur tetap menjadi kendala seperti
keterbatasan kuota internet, atau tidak adanya perangkat elektronik untuk
mengakses internet. Faktor penghambat lainnya adalah faktor orangtua yang
memiliki tingkat pendidikan rendah atau tidak memahami pembelajaran daring. Dari
webinar yang diselenggarakan Lentera Anak untuk menyambut Hari Anak Nasional
2021 (16/7/2021), terungkap bahwa anak-anak sudah merasakan jenuh mengikuti
pembelajaran daring selama lebih dari setahun terakhir, sejak resmi diumumkan
merebaknya virus korona baru pada 2 Maret 2020. Orangtua juga mengaku
kewalahan karena mengalami keterbatasan untuk terus menerus mendampingi anak
belajar karena tuntutan pekerjaan yang lain, selain merasa kesulitan memahami
dan mengajarkan kembali pelajaran anaknya. Sementara
guru merasa terus menerus harus dituntut menciptakan inovasi dalam mengajar.
Ini karena sistem pembelajaran jarak jauh membuat anak didik cenderung tidak
maksimal dalam berkonsentrasi dan menyerap dengan optimal semua mata
pelajaran yang diajarkan. Selain
persoalan pembelajaran daring, terdapat persoalan lain yang juga ditemukan
pada anak selama pandemi, yakni persoalan kesehatan mental anak. Ini umumnya
terkait kondisi hubungan orangtua mereka yang memburuk, terutama akibat
berkurangnya pendapatan keluarga karena orangtua terkena PHK massal, dan
keharusan anak bekerja untuk membantu ekonomi keluarga. Tidak
sedikit anak mengalami kekerasan di rumah akibat orangtua yang tidak siap
menghadapi keuangan keluarga yang memburuk akibat Covid-19 dan kekesalan
menghadapi tuntutan pembelajaran daring yang mengharuskan tersedianya sarana
prasarana seperti laptop atau gawai dan kuota internet. Hasil
survei “Ada Apa Dengan Covid-19” yang dilakukan oleh Kementerian Pemberdayaan
Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) pada tahun 2020 dengan responden
anak, sebanyak 13 persen responden mengalami gejala-gejala yang mengarah pada
gangguan depresi ringan (4 persen), sedang (8 persen), hingga berat (1
persen). Sisanya, 87 persen, tanpa gejala. Berdasarkan
jenis kelamin, persentase anak perempuan dengan gejala-gejala yang mengarah
pada gangguan depresi lebih tinggi dibandingkan anak laki-laki. Berdasarkan
rentang usia 14-18 tahun, sebanyak 93 persen responden mengalami gejala
depresi. Bagi
anak perempuan, persoalan ketidakpastian sosial dan pendapatan keluarga yang
merosot drastis akibat pandemi Covid-19 berpotensi meningkatkan risiko perkawinan
usia anak. Selain itu anak yang orangtuanya terpapar Covid-19 dan harus
berhari-hari menjalani perawatan di rumah sakit, akan berpotensi kehilangan
daya dukung untuk memenuhi kebutuhan hidupnya seperti makanan yang bergizi,
pendampingan belajar, hingga perlindungan kasih sayang. Stres akibat stigma
sebagai anak penyintas Covid-19 pun bisa jadi memperparah kesehatan mental
anak. Pengarusutamaan perlindungan anak Tentu
saja dibutuhkan komitmen yang kuat dari semua pihak untuk menyelesaikan semua
permasalahan anak di masa pandemi Covid-19. Para
orangtua harus lebih waspada dan dan mencegah anak-anak keluar rumah.
Sebaiknya tetap dalam pengawasan orangtua dan menjalankan protokol kesehatan
yang ketat. Lingkungan
dan komunitas juga saling memberikan perhatian kepada masing-masing anggota
masyarakat di sekeliling rumah dan memberikan dukungan yang maksimal kepada
tetangga atau anggota masyarakat yang terpapar Covid-19. Bukan justru
memberikan stigma yang memparah kesehatan mental keluarga penderita Covid-19. Pemerintah
harus membuat kebijakan yang berorientasi pada perlindungan anak, khususnya
hak dasar kesehatan anak dan pendidikan anak. Dari sisi preventif, dibutuhkan
panduan dasar kepada orangtua dan keluarga untuk penegakan protokol kesehatan
secara ketat di dalam dan di luar rumah. Sosialisasi
dan edukasi hidup sehat melalui gerakan masyarakat hidup sehat (Germas) juga
perlu diintensifkan, melalui puskesmas dan layanan kesehatan lainnya,
organisasi dan lembaga bidang kesehatan, perlindungan anak, dan komunitas
konseling keluarga seperti pusat pembelajaran keluarga (Puspaga). Sosialiasi
tentu diiringi dengan komitmen pemberian vitamin gratis kepada anak untuk
memperkuat imun tubuh mereka. Dari sisi penanganan kesehatan, Kementerian
Kesehatan harus mewajibkan semua rumah sakit memiliki ruang ICU khusus anak
yang dilengkapi peralatan memadai. Dalam
bidang pendidikan sangat dibutuhkan kebijakan untuk segera menangani jutaan
anak Indonesia saat ini tidak lagi bersekolah atau harus belajar secara jarak
jauh dengan membuat program-program dan modul pembelajaran yang lebih kreatif
dan interaktif sesuai kurikulum, dan program atau modul tersebut harus bisa
diakses secara mudah oleh anak-anak melalui jaringan internet. Pengadaan
kembali bantuan kuota internet kepada anak-anak sekolah SD-SMA di seluruh
Indonesia akan sangat membantu memberi kepastian pada anak agar tetap bisa
menerima pelajaran daring secara optimal. Tanggal
23 Juli 2021 yang merupakan Hari Anak Nasional, mari kita semua tanpa kecuali
memperkuat komitmen untuk melindungi anak Indonesia. Setiap anak berhak
mendapatkan pelayanan kesehatan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor
36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, yang menyebutkan upaya pemeliharaan
kesehatan anak dilakukan sejak dalam kandungan, bayi, balita, hingga remaja;
termasuk upaya pemeliharaan kesehatan anak cacat dan anak yang memerlukan
perlindungan. Selain
itu dalam PP Nomor 59 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Koordinasi
Perlindungan Anak, Pasal 6 huruf (c) disebutkan bahwa pemantauan pelaksanaan
pemenuhan hak anak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf (a) dilakukan
terhadap pemenuhan hak kesehatan dasar dan kesejahteraan. Momentum
Hari Anak Nasional menjadi momentum bagi pemerintah untuk membuat kebijakan
yang harus memperhatikan kepentingan dan kondisi masyarakat, khususnya anak
sebagai kelompok rentan, serta mengimplementasikan kebijakan terkait
perlindungan anak agar berjalan efektif dan optimal. Semua anggota masyarakat
tanpa kecuali, termasuk orangtua, pendidik, dunia usaha, pakar, masyarakat
sipil, dan pemerintah harus bersama-sama memberikan layanan terbaik bagi anak
sebagai bentuk hadirnya negara bagi anak. Sejalan
dengan tema Hari Anak Nasional 2021 “Anak Terlindungi Indonesia Maju” maka
komitmen perlindungan kepada anak Indonesia menjadi niscaya. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar