Minggu, 25 Juli 2021

 

Ancaman Covid-19, ”Learning Loss”, dan Urgensi Perlindungan Anak

Lisda Sundari ;  Pegiat Perlindungan Anak, Ketua Yayasan Lentera Anak

KOMPAS, 24 Juli 2021

 

 

                                                           

Anak-anak menjadi salah satu kelompok rentan yang terdampak pandemi Covid-19 karena sangat mudah tertular Covid-19 dan dapat mengancam nyawa mereka. Data Satgas Penanganan Covid-19 mengungkapkan secara kumulatif hingga 16 Juli 2021 ada 777 anak di Indonesia meninggal akibat Covid-19.

 

Persentase Angka Kematian Tertinggi (CFR) berada pada kelompok usia 0-2 tahun, diikuti kelompok usia 16-18 tahun, dan usia 3-6 tahun. Seperdelapan kasus Covid-19 yang ada di Indonesia berasal dari usia di bawah 18 tahun, yaitu anak-anak dan remaja.

 

Sebaran kasus Covid-19 pada usia anak sekolah mencapai 12,83 persen dari seluruh kasus terkonfirmasi positif di Indonesia. Anak sekolah usia 7-12 tahun memiliki kasus terbanyak, yaitu 101.049, disusul usia 16-18 tahun sebanyak 87.385, kemudian usia 13-15 tahun sebanyak 68.370. Sedangkan kasus Covid-19 anak usia TK (3-6 tahun) berjumlah 50.449 dan usia PAUD (0-2) tahun berjumlah 44.083.

 

Fakta ini menolak mentah-mentah anggapan bahwa anak-anak tidak rentan terpapar Covid-19 dibanding kelompok usia lanjut, seperti di masa-masa awal pandemi. Data terbaru Satgas Penanganan Covid-19 telah menguatkan fakta bahwa anak-anak memiliki potensi yang sama dengan orang dewasa untuk terinfeksi Covid-19, khususnya karena ditemukannya varian baru virus korona Delta di sejumlah wilayah di Indonesia. Varian Delta diyakini memiliki kemampuan untuk menginfeksi anak dengan lebih kuat, dimana kemampuan transmisi varian ini menjadi 20 persen lebih progresif menular lebih cepat.

 

Menghadapi daya dahsyat dari varian Delta ini maka upaya terbaik untuk memutus mata rantai penularan Covid-19 kepada anak adalah dengan tidak membiarkan anak-anak keluar rumah jika tidak darurat, dan meminta anak memakai masker pada saat keluar rumah, walaupun hanya bermain sebentar dengan temannya di depan rumah.

 

Namun kondisi yang terjadi di masyarakat Indonesia seringkali tidak memberikan contoh penerapan protokol kesehatan yang benar kepada anak. Orangtua kadang tidak memakai masker dengan benar saat menerima kunjungan tamu, baik tetangga sebelah rumah atau keluarga dekat. Orangtua dan keluarga seringkali bersikap permisif untuk membiarkan anak-anak tetap bermain keluar rumah tanpa dibekali protokol kesehatan yang ketat dan memadai.

 

Padahal anak sangat membutuhkan contoh dan pengawasan untuk menerapkan protokol kesehatan khususnya saat mereka berinteraksi dengan teman sebaya atau di tempat-tempat keramaian.

 

Data yang diterima Lentera Anak dari sejumlah pihak menunjukkan lemahnya pengawasan orangtua terhadap aktivitas anak di luar rumah. Anak-anak begitu mudah dibiarkan bermain ke rumah tetangganya, sementara tetangganya tersebut ada yang sudah terpapar Covid-19 hanya saja sama sekali tidak menunjukkan gejala sakit. Ketika kembali ke rumah, anak tersebut tidak saja sudah tertular Covid-19, tetapi juga berpotensi menularkan kepada seisi anggota keluarganya di rumah.

 

Ada pula orangtua enggan melaporkan kepada pengurus RT setempat bahwa mereka terpapar Covid-19 karena khawatir akan stigma dari lingkungan yang masih menganggap penderita Covid-19 sebagai aib. Akibatnya penularan akan sangat mudah terjadi di lingkungan RT-RW tersebut karena banyaknya penderita Covid-19 tanpa gejala dan sikap permisif orangtua membebaskan anak bermain tanpa menggunakan masker yang benar dan tepat.

 

"Learning loss" dan kesehatan mental

 

Pada Juli 2021 ini, sesuai kebijakan Kemendikbudristek, seharusnya anak-anak Indonesia akan memulai Tahun Ajaran Baru dengan pembelajaran tatap muka. Namun, kondisi pandemi Covid-19 di Indonesia yang belum terkendali berpotensi menunda kembali pembelajaran tatap muka. Inilah yang dikhawatirkan banyak pihak akan terjadi learning loss (hilang pembelajaran) pada anak.

 

Anak yang lebih rentan mengalami learning loss adalah mereka yang tidak memiliki akses maksimal untuk melakukan pembelajaran daring seperti yang berada di pedesaan/daerah pedalaman dimana akses internet sulit didapat. Kalaupun ada akses internet, keterbatasan infrastruktur tetap menjadi kendala seperti keterbatasan kuota internet, atau tidak adanya perangkat elektronik untuk mengakses internet. Faktor penghambat lainnya adalah faktor orangtua yang memiliki tingkat pendidikan rendah atau tidak memahami pembelajaran daring.

 

Dari webinar yang diselenggarakan Lentera Anak untuk menyambut Hari Anak Nasional 2021 (16/7/2021), terungkap bahwa anak-anak sudah merasakan jenuh mengikuti pembelajaran daring selama lebih dari setahun terakhir, sejak resmi diumumkan merebaknya virus korona baru pada 2 Maret 2020. Orangtua juga mengaku kewalahan karena mengalami keterbatasan untuk terus menerus mendampingi anak belajar karena tuntutan pekerjaan yang lain, selain merasa kesulitan memahami dan mengajarkan kembali pelajaran anaknya.

 

Sementara guru merasa terus menerus harus dituntut menciptakan inovasi dalam mengajar. Ini karena sistem pembelajaran jarak jauh membuat anak didik cenderung tidak maksimal dalam berkonsentrasi dan menyerap dengan optimal semua mata pelajaran yang diajarkan.

 

Selain persoalan pembelajaran daring, terdapat persoalan lain yang juga ditemukan pada anak selama pandemi, yakni persoalan kesehatan mental anak. Ini umumnya terkait kondisi hubungan orangtua mereka yang memburuk, terutama akibat berkurangnya pendapatan keluarga karena orangtua terkena PHK massal, dan keharusan anak bekerja untuk membantu ekonomi keluarga.

 

Tidak sedikit anak mengalami kekerasan di rumah akibat orangtua yang tidak siap menghadapi keuangan keluarga yang memburuk akibat Covid-19 dan kekesalan menghadapi tuntutan pembelajaran daring yang mengharuskan tersedianya sarana prasarana seperti laptop atau gawai dan kuota internet.

 

Hasil survei “Ada Apa Dengan Covid-19” yang dilakukan oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) pada tahun 2020 dengan responden anak, sebanyak 13 persen responden mengalami gejala-gejala yang mengarah pada gangguan depresi ringan (4 persen), sedang (8 persen), hingga berat (1 persen). Sisanya, 87 persen, tanpa gejala.

 

Berdasarkan jenis kelamin, persentase anak perempuan dengan gejala-gejala yang mengarah pada gangguan depresi lebih tinggi dibandingkan anak laki-laki. Berdasarkan rentang usia 14-18 tahun, sebanyak 93 persen responden mengalami gejala depresi.

 

Bagi anak perempuan, persoalan ketidakpastian sosial dan pendapatan keluarga yang merosot drastis akibat pandemi Covid-19 berpotensi meningkatkan risiko perkawinan usia anak. Selain itu anak yang orangtuanya terpapar Covid-19 dan harus berhari-hari menjalani perawatan di rumah sakit, akan berpotensi kehilangan daya dukung untuk memenuhi kebutuhan hidupnya seperti makanan yang bergizi, pendampingan belajar, hingga perlindungan kasih sayang. Stres akibat stigma sebagai anak penyintas Covid-19 pun bisa jadi memperparah kesehatan mental anak.

 

Pengarusutamaan perlindungan anak

 

Tentu saja dibutuhkan komitmen yang kuat dari semua pihak untuk menyelesaikan semua permasalahan anak di masa pandemi Covid-19.

 

Para orangtua harus lebih waspada dan dan mencegah anak-anak keluar rumah. Sebaiknya tetap dalam pengawasan orangtua dan menjalankan protokol kesehatan yang ketat.

 

Lingkungan dan komunitas juga saling memberikan perhatian kepada masing-masing anggota masyarakat di sekeliling rumah dan memberikan dukungan yang maksimal kepada tetangga atau anggota masyarakat yang terpapar Covid-19. Bukan justru memberikan stigma yang memparah kesehatan mental keluarga penderita Covid-19.

 

Pemerintah harus membuat kebijakan yang berorientasi pada perlindungan anak, khususnya hak dasar kesehatan anak dan pendidikan anak. Dari sisi preventif, dibutuhkan panduan dasar kepada orangtua dan keluarga untuk penegakan protokol kesehatan secara ketat di dalam dan di luar rumah.

 

Sosialisasi dan edukasi hidup sehat melalui gerakan masyarakat hidup sehat (Germas) juga perlu diintensifkan, melalui puskesmas dan layanan kesehatan lainnya, organisasi dan lembaga bidang kesehatan, perlindungan anak, dan komunitas konseling keluarga seperti pusat pembelajaran keluarga (Puspaga). Sosialiasi tentu diiringi dengan komitmen pemberian vitamin gratis kepada anak untuk memperkuat imun tubuh mereka. Dari sisi penanganan kesehatan, Kementerian Kesehatan harus mewajibkan semua rumah sakit memiliki ruang ICU khusus anak yang dilengkapi peralatan memadai.

 

Dalam bidang pendidikan sangat dibutuhkan kebijakan untuk segera menangani jutaan anak Indonesia saat ini tidak lagi bersekolah atau harus belajar secara jarak jauh dengan membuat program-program dan modul pembelajaran yang lebih kreatif dan interaktif sesuai kurikulum, dan program atau modul tersebut harus bisa diakses secara mudah oleh anak-anak melalui jaringan internet. Pengadaan kembali bantuan kuota internet kepada anak-anak sekolah SD-SMA di seluruh Indonesia akan sangat membantu memberi kepastian pada anak agar tetap bisa menerima pelajaran daring secara optimal.

 

Tanggal 23 Juli 2021 yang merupakan Hari Anak Nasional, mari kita semua tanpa kecuali memperkuat komitmen untuk melindungi anak Indonesia. Setiap anak berhak mendapatkan pelayanan kesehatan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, yang menyebutkan upaya pemeliharaan kesehatan anak dilakukan sejak dalam kandungan, bayi, balita, hingga remaja; termasuk upaya pemeliharaan kesehatan anak cacat dan anak yang memerlukan perlindungan.

 

Selain itu dalam PP Nomor 59 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Koordinasi Perlindungan Anak, Pasal 6 huruf (c) disebutkan bahwa pemantauan pelaksanaan pemenuhan hak anak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf (a) dilakukan terhadap pemenuhan hak kesehatan dasar dan kesejahteraan.

 

Momentum Hari Anak Nasional menjadi momentum bagi pemerintah untuk membuat kebijakan yang harus memperhatikan kepentingan dan kondisi masyarakat, khususnya anak sebagai kelompok rentan, serta mengimplementasikan kebijakan terkait perlindungan anak agar berjalan efektif dan optimal. Semua anggota masyarakat tanpa kecuali, termasuk orangtua, pendidik, dunia usaha, pakar, masyarakat sipil, dan pemerintah harus bersama-sama memberikan layanan terbaik bagi anak sebagai bentuk hadirnya negara bagi anak.

 

Sejalan dengan tema Hari Anak Nasional 2021 “Anak Terlindungi Indonesia Maju” maka komitmen perlindungan kepada anak Indonesia menjadi niscaya. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar