Vaksinasi
dan Mobilitas, Kunci Pertumbuhan Ryan Kiryanto ; Ekonom |
KOMPAS, 9 Juli 2021
Seperti sudah diprediksi
kalangan ekonom dan analis, Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia pada 16-17
Juni 2021 telah memutuskan mempertahankan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR)
sebesar 3,50 persen, suku bunga Deposit Facility 2,75 persen, dan suku bunga
Lending Facility sebesar 4,25 persen. Keputusan tersebut mengacu
pada ekspektasi inflasi yang rendah di tengah stabilitas nilai tukar rupiah
yang terjaga. Pada akhirnya, muara tujuan keputusan BI pun tepat, yakni untuk
memperkuat jalur pemulihan ekonomi yang sedang on track (berada di jalur yang
benar). Maka, tepat jika stance kebijakan BI ini disebut dengan kebijakan
moneter akomodatif. Bahkan, jika melihat
tekanan eksternal yang masih kuat, terutama dari peluang bank sentral AS (The
Fed) menormalisasi kebijakannya mengacu pada perkembangan pemulihan
ekonominya yang lebih cepat dari yang diperkirakan sebelumnya, keputusan
Rapat Dewan Gubernur BI yang tetap menahan BI Rate di level 3,5 persen
sungguh tepat. Sebuah keputusan yang
berorientasi ke depan. Maklum, dengan laju perekonomian AS yang cepat diikuti
dengan laju inflasi yang melampaui ”ambang batas” sebesar 2 persen, kini
merangkak mendekati kisaran 4 persen, muncul spekulasi bahwa cepat atau
lambat The Fed akan menormalisasikan kebijakan ekonomi/moneternya. Wujudnya adalah dengan
mulai mengurangi pembelian aset/obligasi (Pemerintah AS dan korporasi swasta)
secara bertahap hingga tidak ada lagi aksi pembelian (ini dikenal dengan
istilah taper tantrum) dan/atau menaikkan suku bunga acuan (fed fund
rate/FFR) dari posisi sekarang yang nol persen hingga 0,25 persen, ke level
yang lebih tinggi. Normalisasi kebijakan
ekonomi AS lazimnya akan disikapi oleh kebijakan bank-bank sentral negara
lain yang cenderung mengikuti langkah The Fed, lebih-lebih ketika terpantau
pergerakan pemulihan ekonomi kelompok negara maju (advance economies) sudah
berada di jalur tepat dan benar. Beberapa lembaga
internasional (Bank Dunia, IMF, dan OECD) menengarai akan adanya divergensi
pertumbuhan ekonomi global, di mana di kelompok negara maju tumbuh lebih
cepat dibandingkan kelompok negara sedang berkembang (emerging markets). Kecepatan pemulihan
ekonomi kelompok negara maju disebabkan program vaksinasi yang berjalan
cepat, efektif dan masif, sementara di kelompok negara berkembang relatif tak
seperti itu. Jadi, kunci percepatan pemulihan ekonomi juga bergantung
kecepatan distribusi vaksinasi di setiap negara. Indonesia
terus berjuang Saat dunia memasuki paruh
kedua 2021, kawasan Asia Tenggara terus berusaha bangkit dari dampak pandemi.
Hanya saja, imbas gelombang kedua kasus Covid-19 yang akhir-akhir ini
melonjak kembali di seluruh Asia Tenggara membuat laju pemulihan selama paruh
kedua 2021 akan tertunda. Namun, ini masih berada dalam target di seluruh
wilayah Asia Tenggara. Kembalinya perekonomian
kawasan akan bergantung pada akankah diberlakukan kembali pembatasan kegiatan
masyarakat, kemajuan proses vaksinasi, dan tantangan ekonomi global lainnya
yang memengaruhi perdagangan internasional, seperti krisis mikrocip global
saat ini yang membuat produksi otomotif di sejumlah negara produsen
terganggu. Semua pihak sepakat,
proses vaksinasi memainkan peranan penting dalam proses pemulihan ekonomi
Asia Tenggara. Setiap negara Asia Tenggara saat ini sedang berada dalam fase
vaksinasi yang berbeda. Indonesia dan Filipina
sebagai negara kepulauan menghadapi tantangan logistik yang lebih besar untuk
mengirimkan vaksin ke seluruh masyarakat. Terlepas dari tantangan itu,
laporan Economic Insight memperkirakan percepatan pemberian vaksinasi di Asia
Tenggara akan dimulai dari Juni. Peningkatan infeksi dan
pembatasan kegiatan masyarakat ketat yang diberlakukan di beberapa negara
Asia Tenggara diperkirakan akan menghambat proses pemulihan yang diperkirakan
akan dimulai pada paruh pertama 2021. Pertumbuhan perlahan akan meningkat di
paruh kedua. Namun, munculnya jenis virus baru yang lebih ganas dan kecepatan
vaksinasi yang lambat akan mengakibatkan pertumbuhan yang cenderung
fluktuatif. Pemulihan ekonomi global
juga akan bergantung pada berlanjutnya penyebaran virus dan masih adanya
pembatasan antarnegara dan perbatasan. Jika efektivitas vaksin terbukti
terbatas, ekonomi global bisa berkontraksi dalam waktu dekat. Laporan Economic Insight
memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia akan kembali stabil dengan
dimulainya proses vaksinasi. Perekonomian Indonesia diperkirakan tumbuh 4,7
persen di 2021, bahkan diharapkan lebih signifikan sekitar 6 persen pada
2022, setelah mengalami kontraksi sebesar 2,3 persen pada 2020. Sebagai salah satu
perekonomian terbesar di Asia Tenggara, pemulihan Indonesia diproyeksikan
akan lebih stabil dibandingkan dengan negara-negara lain di kawasan ini. Ini
lantaran pengeluaran rumah tangga domestik yang cukup kuat, menopang sekitar
55 persen dari total produk domestik bruto. Perekonomian Indonesia
sangat didukung belanja domestik yang kuat dibandingkan dengan negara lain di
Asia Tenggara. Sejak Indonesia mulai mengurangi atau melonggarkan pembatasan
sosial, diperkirakan terjadi peningkatan dalam pengeluaran rumah tangga,
pendorong utama pertumbuhan di Indonesia. Selain itu, Indonesia juga
sangat fokus untuk meningkatkan pembangunan infrastruktur di dalam negeri.
Ini juga turut mendukung prediksi pertumbuhan PDB pada tingkat 4,7 persen.
Pelaksanaan program vaksinasi ke seluruh pelosok Tanah Air akan mempercepat
laju pemulihan tahun ini membentuk kurva V, setelah lepas dari fase bertahan
di 2020. Dengan demikian, paralel
dengan stance kebijakan moneter dan keuangan yang dovish disertai kebijakan
fiskal yang kontrasiklikal dan pro pertumbuhan, distribusi vaksinasi di
seluruh pelosok negeri untuk mempercepat tercapainya kekebalan komunitas,
sehingga mobilitas orang dan barang/jasa kembali menguat dan pulih guna
menopang pertumbuhan ekonomi Indonesia secara berkesinambungan, perlu
dipercepat. Dengan demikian, boleh
dikatakan bahwa pertumbuhan ekonomi (PDB) merupakan fungsi dari vaksinasi
plus mobilitas di mana program vaksinasi tetap menjadi game changer utamanya.
Dengan vaksinasi, masyarakat jadi lebih percaya diri melakukan mobilitas,
yang pada akhirnya menstimulasi sisi permintaan sehingga dapat mendorong
pertumbuhan ekonomi. Masuk akal jika suku bunga
kredit perbankan yang sudah melandai belum direspons oleh pelaku usaha untuk
mengajukan fasilitas kredit, sementara sektor perbankan sendiri berpretensi
bahwa outlook risiko masih cukup tinggi. Mengapa demikian? Karena permintaan
di sektor riil belum kuat sehingga pelaku usaha enggan mengajukan kredit.
Permintaan konsumsi masyarakat akan meningkat jika mobilitas sudah terjadi
pascavaksinasi. Dari sinilah permintaan kredit akan terdorong dengan
sendirinya. Untuk itu, kecepatan
distribusi vaksinasi ke seluruh daerah dengan prioritas tinggi, terutama ke
daerah-daerah dengan predikat zona merah (angka kasus positif Covid-19
tinggi), menjadi penting untuk menekan angka laju infeksi di daerah-daerah
itu sehingga kembali masuk zona hijau. Disiplin
terhadap prokes Paralel dengan itu,
barangkali untuk daerah zona merah perlu dipertimbangkan diterapkan
pengetatan kembali pembatasan sosial berskala besar (PSBB) untuk jangka waktu
tertentu guna memutus mata rantai penyebaran virus. Sosialisasi dan edukasi
kepada seluruh lapisan masyarakat tentang protokol kesehatan (prokes) melalui
berbagai kanal komunikasi yang dimiliki pemerintah penting dilakukan secara
lebih intensif supaya kesadaran masyarakat meningkat untuk secara disiplin
dan patuh mau menjalankan prokes. Pada tataran tertentu
penegakan hukum dengan pemberian sanksi perlu dilakukan untuk mendisiplinkan
masyarakat supaya patuh prokes. Intinya, pelaksanaan prokes tak boleh kendur
selama kekebalan komunitas belum terbentuk. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar