Rabu, 28 Juli 2021

 

Aksi Donasi Rp2 T dan (Adakah) Rasa Malu para Penyinyir

Gantyo Koespradono ;  Mantan Wartawan, Pemerhati Sosial Politik

MEDIA INDONESIA, 27 Juli 2021

 

 

                                                           

PADA saat pemerintah dan masyarakat, khususnya penyintas covid berperang melawan covid-19, ada sekelompok orang yang terus mendompleng bencana kemanusiaan itu untuk menjatuhkan pemerintahan dan mengecilkan Presiden Jokowi yang disebut gagal mengatasi pandemi.

 

Ada pula bocah telat dewasa yang menyimpulkan Indonesia sebagai failed nation. Padahal dulu bapaknya justru yang lebih sering melakukan aksi failed dan error tingkat dewa yang membuat dan menyuburkan kaum radikalis semakin tidak beradab dan anti-Pancasila.

 

Mereka itulah yang selama ini bersorak-sorak gembira ketika jumlah kasus positif covid bertambah. Mengucapkan belasungkawa dan prihatin pun tidak saat jumlah warga masyarakat yang meninggal dunia karena covid bertambah. Padahal dulu orang-orang itu saat berkuasa sering mengucapkan prihatin meskipun untuk menangisi nasibnya sendiri. Mengamati kelakuan mereka, membuat tidak saja pemerintah terganggu dalam menangani covid, tetapi juga membuat masyarakat sebal bukan kepalang. Karena mereka sama sekali tidak punya empati dan peduli.

 

Saya tak tahu apakah mereka tidak punya malu ketika di penjuru negeri banyak warga masyarakat yang berjibaku menyingsingkan lengan baju membantu pemerintah mengatasi pandemi covid, mereka justru tertawa dan nyinyir tiada akhir. Padahal di saat bersamaan warga masyarakat terkapar tak berdaya di halaman rumah sakit karena harus antre masuk ke UGD. Sampai-sampai tokoh sekaliber Christianto Wibisono meninggal di Rumah Sakit Sitanala Tangerang, sebuah rumah sakit yang selama ini dikenal sebagai rumah sakit khusus penderita kusta. Ia menjadi rumah sakit pilihan terakhir warga Tangerang jika sakit.

 

Benar, rumah sakit itu sekarang memang sudah berganti wajah menjadi rumah sakit umum dan modern, namun kesan rumah sakit yang dulu distigmakan sebagai rumah sakit yang pasiennya harus diajuhi tetap melekat begitu kuat. Ya, di rumah sakit inilah Christianto Wibisono menghembuskan napas terakhir setelah tubuhnya dicabik-cabik covid. Tidak cuma Christianto, guru besar fikih, ulama perempuan Dr Huzaemah Tahido Yanggo juga meninggal di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Serang, Banten karena covid. Padahal perempuan berusia 77 tahun ini tinggal di Jakarta.

 

Bak oase di padang gurun, kita terkejut, ternyata ada sosok mulia– paling tidak ahli warisnya– yang membantu pemerintah untuk mengatasi penyebaran covid dengan memberikan donasi yang jumlahnya tidak tanggung-tanggung, Rp2 triliun! Sebagaimana diberitakan di banyak media arus utama dan media sosial beberapa hari lalu, Pemprov Sumatera Selatan (Sumsel) mendapat bantuan dana hibah sebesar Rp2 triliun untuk penanggulangan covid-19 dari pihak yang mengatasnamakan keluarga almarhum Akidi Tio.

 

Banyak orang sampai saat ini bertanya-tanya siapa Akidi Tio? Laki-laki ini disebut-sebut berasal dari Aceh dan semasa hidupnya dikenal sebagai pengusaha yang bergerak di dunia kontraktor, kontainer, dan besi. Tapi, yang membuat kita tercengang adalah besar sumbangannya itu lho, Rp2 triliun! Orang awam seperti saya tidak pernah membayangkan, apalagi para penyinyir yang belakangan populer dengan sebutan covidiot itu yang cuma bisa memberikan 'sumbangan' di era covid ini berupa nyinyiran, kritikan, kebencian dan makian.

 

Di mana rasa malu mereka? Dalam suasana nan penuh duka ini, saya jadi ingat Iyyas Subiakto, teman saya yang beberapa hari lalu di Facebook menulis dan mempertanyakan ke mana orang-orang kaya kita? Dari awal pandemi, menurut Iyyas, salah satu yayasan kemanusiaan yang selalu kelihatan di depan adalah Buddha Tzu Chi, mereka selalu sigap di setiap ada bencana. 

 

Sepertinya tidak satu pun setiap ada bencana alam mereka lewatkan untuk hadir. Ribuan rumah dibangun saat tsunami Aceh, NTB, dan Palu. Ratusan ribu APD dan masker dibagikan diawal pandemi tahun lalu. Kita tahu yayasan ini dibantu oleh ratusan pengusaha Tionghoa yang menyisihkan sebagian dananya.

 

Saat ini, masih menurut Iyyas Subiakto, di saat virus menggila lagi-lagi mereka hadir nyata, belum lagi orang kaya yang ada seperti Sinar Mas, Sukanto Tanoto, dan lainnya yang tidak disiarkan media. Saat kita kekurangan oksigen, tiba-tiba bantuan dari Tiongkok sudah sampai di Tanjung Priok, begitu juga dari Sukanto Tanoto, dan Sinar Mas yang menyumbang 1.200 ton oksigen setiap bulan yang ekuivalen dengan 1 juta botol tabung oksigen. 

 

Soal oksigen berikut tabungnya, saya punya pengalaman menarik. Sebagai anggota satgas covid di komunitas wilayah gereja, kami bahkan mendapatkan pinjaman tiga tabung oksigen (gratis) dari komunitas bernama Paguyuban Warga Klaten (PWK) di Jakarta. Kami tempo hari sempat kelimpungan ketika ada warga gereja kami yang terpapar covid dan saturasinya di bawah 70.

 

Sekali lagi saya mempertanyakan di mana rasa malu para penyinyir dan orang-orang kaya yang mungkin menjadi bohir para mahasiswa covidiot yang tempo hari akan mendemo Presiden Jokowi? Di mana empati kalian kepada negeri sendiri yang tengah dirundung duka, sementara kalian dengan begitu mudahnya mengumpulkan donasi dan menyebarluaskan kotak amal ke mana-mana ketika ada dua negara berkonflik di Timur Tengah sana? Kalian ini sebenarnya siapa sih? ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar