Dan
Kematian (Pun) Makin Akrab Putu Fajar Arcana ; Penulis Kolom “Sosial Budaya” Kompas |
KOMPAS, 28 Juli 2021
Hari-hari
kita belakangan ini dipenuhi cerita duka. Kabar itu mengepung dari berbagai
sudut; seolah berdesakan merebut perhatian mata, pikiran, dan hati kita.
Betapa pun kau memahami secara dalam siklus eksistensi manusia: lahir, hidup,
dan mati, toh ketika kematian itu mendekat, ia senantiasa mengharu-biru,
mengobrak-abrik, bahkan melemparkanmu ke sudut paling sedih dari rasa duka. Saking
mendalamnya rasa kehilangan di antara kita, ketika pesan berdenting di
telepon, entah mengapa hatiku selalu terkesiut, darah di kepala seperti
tersedot. Lalu, berbagai pertanyaan berseliweran: Siapa lagi yang pergi hari
ini? Adakah itu nama-nama yang kita kenal? Jangan-jangan saudara, tetangga,
sejawat, atau ayah dan ibu kita? Bahkan, ketika Minggu (25/7/2021) sekitar pukul
16.10 WITA aku menerima pesan dari penari Lena Guslina, belum pula kusimak
isi pesannya, perasaan duka itu seperti terburu-buru menohok ulu hati. Dan,
benar, ada kalimat di layar telepon: Innalilahi wa innailahi rojiun, telah
meninggal Atasi Amin di RS Sentosa siang ini. Kabar dari Yasmin, putrinya.
Semoga tenang dan damai di tempat terindah dan mulia. Semoga kekuatan dan
kesanggupan bersama keluarga yang ditinggalkan. (Ada
tanda emoticon: air mata menetes, sekuntum mawar, dan tangan yang tercakup) Terima kasih banyak untuk
@+62895-0138-….yg telah berjuang mencari dan mendapatkan pendonor plasma,
juga memantaunya di PMI hingga terkirimkan #dukamendalam Sesudahnya,
seseorang mengabarkan bahwa Atasi Amin telah dimakamkan menjelang petang hari
di pemakaman keluarga Jeihan Soekmantoro, Jalan Padasuka Bandung, Jawa Barat.
Ya, Atasi memang putra sulung perupa yang akrab kupanggil Pak Jeihan itu.
Kami dulu sering mengobrol sampai sore benar-benar terbenam di langit barat.
Pada saat Pak Jeihan menggebu-gebu bercerita segala hal tentang seni rupa
kesufiannya, Atasi selalu duduk menjauh. Ia bahkan hampir tak pernah
nimbrung, apalagi nyeletuk, ketika kami asyik berdebat tentang banyak hal.
Hanya sesekali Pak Jeihan seolah mengonfirmasi ingatannya kepada Atasi.
Begitu selalu berulang berkali-kali dan berbilang tahun lamanya. ”Benar,
kan, Tak…? Ya, benar waktu itu Bapak pernah mati suri,” begitu kata Pak
Jeihan menyebut nama anak tertuanya. Pada
16 November 2019, Pak Jeihan sudah beberapa bulan sakit keras. Ia nyaris tak
mampu lagi berbicara. Entah kenapa, ketika aku membesuknya ke Bandung, Pak
Jeihan minta Atasi mengambil kertas dan pensil. Kupikir ia akan menggambar,
tetapi dengan terbata-bata ia menulis sebuah puisi pendek: //hari terang/hati
tenang…// Setelah membacanya, aku bertanya, ”Terkenang siapa?” Atasi Amin
yang tak jauh dari kami tiba-tiba menyahut: ”Mau pulang…”. Tak
lama sesudah aku menemaninya mengobrol di atas tempat tidur perawatannya,
tepatnya 29 November 2019 pukul 18.15 WIB, Pak Jeihan benar-benar pulang pada
usia 81 tahun. Kenanganku bukan hanya itu, Atasi dengan takzim dan cekatan
mengambil kertas dan pensil lalu memeganginya agar Pak Jeihan bisa menulis.
Tangan lelaki itu gemetar, bahkan untuk memegang pensil pun ia nyaris tak
sanggup. Kehilangan
orang-orang terdekat pada hari-hari belakangan ini seolah menjadi keseharian.
Hampir-hampir seperti mengunyah dongeng dari kakek-nenek kita di masa lalu.
Ia berkecamuk dalam pikiran masa kecil dan diam-diam melekat sebagai ingatan
di dasar jiwa kita. Bedanya, kematian yang terus susul-menyusul ini melekat
dan bergerak dari trauma personal menjadi trauma kolektif yang tak mudah
dihapus. Ia seolah virus korona jenis baru penyebab Covid-19 yang menempel di
paru-paru kita. Beginilah
cara penyair Subagio Sastrowardoyo menyebutnya dalam sajak ”Dan Kematian
Makin Akrab: (Sebuah Nyanyian Kabung)”. //Di muka pintu masih/bergantung
tanda kabung/Seakan ia tak akan kembali/Memang ia tak kembali/tapi ada yang
mereka tak/mengerti—mengapa ia tinggal diam/waktu berpisah/Bahkan tak ada
kesan kesedihan/pada muka/dan mata itu, yang terus/memandang, seakan mau
bilang/dengan bangga:—Matiku muda—….//Dan kematian jadi akrab, seakan kawan
berkelakar/yang mengajak/tertawa—itu bahasa/semesta yang dimengerti—…//Di
ujung musim/dinding batas bertumbangan/dan/kematian makin akrab/Sekali waktu
bocah/cilik tak lagi/sedih karena layang-layangnya/robek atau hilang/—Lihat,
bu, aku tak menangis/sebab aku bisa terbang sendiri/dengan sayap/ke langit—// Tak
jua jadi aneh ketika aku mengingat seorang bocah bernama Alviano Dava Raharjo
alias Vino (10), yang tinggal di Kampung Linggang Purworejo, Kabupaten Kutai
Barat, Kalimantan Timur. Ketika mendengar kabar ibunya, Lina Safitri (31),
meninggal dan kemudian disusul ayahnya, Kino Raharjo (31), juga meninggal
karena terinfeksi Covid-19, Vino hanya meringkuk dalam kamar. Vino juga
terinfeksi dan kemudian melakukan isolasi mandiri di rumahnya seorang diri.
Tempat tinggalnya barangkali tak layak disebut rumah; hanya sepetak kamar
yang dijejali berbagai peralatan rumah tangga. Kasur tempat tidur, berbagai
wadah dari plastik, boneka, air minum, alat memasak, serta sepotong televisi
bertumpuk-tumpuk berebut ruang. ”Vino
hanya dengar kabar, kedua orangtuanya sudah meninggal. Saat ini, ia isolasi
mandiri di rumah,” ucap Mistari, tetangga terdekat Vino, kepada Kompas.com.
Menurut Mistari, meski tetap tampak sehat, Vino berubah menjadi pemurung dan
sering bingung. Mungkin, berita kehilangan itu terlampau terburu-buru
menggempur hidupnya. Barangkali
seperti dikatakan Atasi Amin dalam sajaknya, yang dimuat di situs Jendela
Sastra pada 11 Februari 2014 berjudul ”Panggilan”. //Tiba-tiba/Atasan
memanggil anak buahnya/Dan tiba-tiba/Yang Di Atas memanggil kita/Siap?// Sajak
pendek ini seolah melontarkan beribu pertanyaan hakikat. Adakah yang
benar-benar siap menghadapi kematian? Seberapa pun mencoba berakrab-akrab
dengan kematian, pada saat kita benar-benar berhadapan muka dengannya, apakah
akan saling menyapa atau saling membenci? Ketika kematian tiba-tiba mengetuk
pintu depan rumahmu, apakah kau akan mempersilakannya masuk dan
memperlakukannya sebagai seorang tamu istimewa? Bahkan, jika tamu itu membawa
kado istimewa pula, apakah kau akan membiarkannya menginap di dalam kamar
pribadimu? Sesungguhnya
tak ada yang benar-benar siap menghadapi kematian. Bukan cuma karena kau akan
terasingkan dari orang-orang di dekatmu, tetapi lebih-lebih karena misteri
yang menghampar di depanmu. Ke mana kita setelah mati? Atasi
Amin, kawan akrabku yang pergi sewaktu usianya belum cukup tua, bahkan
berkata dalam puisinya: //Sekarangan bunga kami terima/dari orang tak
dikenal/Mungkin kurir yang salah…//
(Sekarangan Bunga, 2017). Bukankah ketika Bisma tertusuk ratusan anak
panah Srikandi, mahaguru para ksatria itu tak segera mati? Ia bahkan hidup
beberapa hari untuk menyaksikan kehancuran para Kurawa, yang terlihat
kebingungan memenuhi permintaannya sebelum benar-benar gugur. Setelah para
Pandawa memenuhi keinginannya berupa ribuan anak panah yang patah sebagai
alas tubuhnya, barulah Bisma benar-benar mati. Kisah
ini memang menyodorkan tafsir beragam. Bisma dianggap sakti mandraguna karena
bisa menentukan kapan dia akan benar-benar gugur. Namun, pada tafsir berbeda,
bukankah kita bisa melihat kegamangannya dalam menghadapi kematian? Ia perlu
bersiap dengan sepenuh khidmat, sebelum maut benar-benar merenggut jiwanya. Dalam
konsep ajaran leluhurku, kematian ”hanyalah” satu siklus dari keberadaan
manusia di dunia yang disebut Tri Kona: Utpati (lahir), Stiti (hidup), dan
Pralina (mati). Jatasya hi druvo mrtyur, dhruvam janma mrtasya ca, na tvam
soritutn arhasi, tasmad apariharye’rthe. Artinya, pada yang lahir, kematian
adalah pasti dan pasti pula kelahiran yang mati. Oleh karena itu, pada apa
yang tidak dapat dielakkan, seharusnya tidak ada hati (Bhagawad Gita II.27). Tri
Kona sesungguhnya sekaligus mengandung ajaran tentang Samsara, yakni sebuah
siklus ”kehidupan” setelah manusia mati. Menurut ajaran ini, setelah mati,
roh terlepas dari raga untuk kemudian menunggu ”proses” reinkarnasi. Pada
saat penantian itulah, roh dipengaruhi oleh karma. Seseorang yang pada masa
hidupnya senantiasa mengamalkan kebaikan, ia akan terlahir kembali sebagai
roh dalam raga dengan segala kemuliaan dalam hidupnya. Sebaliknya, seseorang
yang selalu dilumuri hawa nafsu dan perbuatan jahat harus membayar utang
karmanya di kehidupan dengan beragam cara. Bahkan, jikalau kejahatannya
melebihi batas-batas peri kemanusiaan, bukan tidak mungkin rohnya akan
menjelma menjadi binatang atau sosok makhluk yang lebih rendah tingkatannya
dari manusia! Baiklah.
Karena ini menyangkut sebuah ajaran dari sebuah kepercayaan, kau boleh saja
percaya dan boleh pula tidak percaya. Bukan itu memang yang sedang kita
percakapkan hari ini, tetapi menjawab pertanyaan tentang mengapa begitu
banyak kematian yang mewarnai hari-hari kita belakangan ini? Sedang terjadi
apa dengan manusia di dunia? Tidak cukupkah ”menjadikan” dua juta anak-anak
di dunia ini sebagai yatim piatu setelah kedua orangtua mereka tergerus arus
kematian? Sudah
pasti Vino menjadi bagian dari ratusan juta anak lainnya yang terpaksa harus
hidup sebatang kara di dunia. Pada bagian akhir dari sajaknya, Atas Amin
menutupnya dengan mengatakan://saat satu per satu/bunga layu mengering,
gugur/kembali menjadi tanah/tapi akarnya mulai rambat/bahkan membelit/bahkan
menggenangi/tubuh kami/tulang kami/suara kami/suara kengerian kami//. Ada
kengerian yang fatalistik. Bagaimana secara simbolik Atasi menggunakan bunga,
sejak layu, mengering, dan kemudian membelit diri sendiri. Seperti kehidupan
yang tadinya indah pada akhirnya toh berujung kematian. Dalam rumusan filsuf
Martin Heidegger, kematian bukanlah berhenti untuk menjadi, melainkan sebuah
cara untuk berada. Setiap keberadaan manusia dipastikan diikuti dengan
kematian. Eksistensi manusia dipersoalkan justru karena dia dipastikan akan
mati. Sebuah
pandangan yang absurd dan sesungguhnya seperti yang telah dituliskan Subagio
Sastrowardoyo, bahwa kematian semakin akrab justru ketika ia dipastikan dalam
kehidupan seorang manusia. Toh begitu, kau dan aku tetap sepakat bukan, bahwa
berita dukacita selalu datang di hari yang tidak tepat dalam hidup kita?
Ketika mendengar Atasi Amin, seorang karib yang keberkawanannya teruji
akhirnya dijemput maut, telingaku seperti ditampar angin puyuh, mataku seolah
tertusuk panah-panah yang menghujam tubuh Bisma. Penerimaan dan keikhlasan
menerima kematian memang akhirnya sesuatu yang berbeda dengan ajaran dan
filsafat tentang kematian itu sendiri. Sebab,
kematian bukan cuma soal mati itu sendiri, melainkan menyangkut soal hidup
orang-orang seperti Vino dan jutaan orang lainnya yang menjadi yatim piatu
gara-gara kematian. Barangkali kau setuju dengan pandangan semacam ini: bahwa
mati adalah sepotong siklus dari kelahiran dan kehidupan. Namun, manakala
kematian itu telah menyeret kehidupan orang lain di dalamnya, itu menjadi
tanggung jawab bersama untuk meneruskan kehidupan itu sendiri. Mungkin
lantaran itulah, hari-hari kita belakangan ini seperti dikepung kematian demi
kematian. Entah di mana ini akan berakhir. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar