Rabu, 28 Juli 2021

 

Godaan Rangkap Jabatan

Bagong Suyanto ;  Dekan FISIP Universitas Airlangga

REPUBLIKA, 27 Juli 2021

 

 

                                                           

Sesungguhnya, tak masalah seseorang menduduki jabatan berapa pun banyaknya kalau mampu. Di sektor swasta, sudah lazim terjadi seorang CEO sekaligus merangkap berbagai jabatan lain karena memang usaha yang dikembangkan miliknya atau karena kompetensinya.

 

Namun, lain soal kalau itu jabatan publik yang diatur ketentuan hukum yang tidak memperbolehkan seseorang pemimpin rangkap jabatan.

 

Seorang rektor perguruan tinggi (PT) yang dalam statuta universitas telah ditetapkan dilarang rangkap jabatan tentu tak elok jika mencoba menyiasati aturan dan merangkap jabatan lain. Terlepas, jabatan itu berpotensi menimbulkan konflik kepentingan atau tidak.

 

Sepanjang dalam statuta universitas dinyatakan tak boleh rangkap jabatan, tak perlu ditafsirkan lain. Kritik berbagai pihak terhadap Rektor Universitas Indonesia, Ari Kuncoro yang merangkap jabatan wakil komisaris utama atau komisaris independen PT BRI, salah satu contoh.

 

Meski dari segi kompetensi, Ari Kuncoro sama sekali tidak diragukan kemampuannya. Namun, karena aturan yang ditetapkan jelas-jelas telah menggariskan rektor tidak diperkenankan rangkap jabatan, tentu salah jika aturan yang telah disepakati itu dilanggar.

 

Bagi seorang rektor, rangkap jabatan tidak saja melanggar etika, tetapi juga berpotensi menempatkan yang bersangkutan pada situasi dilematis dan konflik kepentingan.

 

Pemimpin PT memiliki tugas berat, bukan sekadar soal tupoksinya sebagai manajer universitas, melainkan juga tuntutannya sebagai role model.

 

Artinya, rektor PT harus memiliki kualifikasi keilmuan mumpuni, tidak cacat moral, dan bisa menjadi teladan.

 

Kasus rangkap jabatan juga terjadi di PT lain. Terlepas rangkap jabatan rektor itu diizinkan kementerian yang menjadi atasannya atau tidak, bagi pimpinan PT yang telah memiliki aturan yang tak memperbolehkan rangkap jabatan, tentu harus berpikir uang saat ditawari jabatan lain.

 

Memang dari segi ekonomi, tambahan gaji yang ditawarkan dalam jabatan lain kebanyakan sangat menggiurkan. Menjadi komisaris sebuah bank, misalnya, jelas insentifnya sangat menjanjikan karena bukan tidak mungkin jauh lebih besar daripada gaji seorang rektor.

  

Masalahnya adalah penilaian publik. Seorang rektor PT terkenal niscaya mengemban tanggung jawab moral besar. Perselingkuhan dengan kekuasaan, terlebih kepentingan ekonomi, berpotensi melahirkan kritik dan pertanyaan mempersoalkan dedikasi yang bersangkutan.

 

Secara garis besar, ada dua hal yang dikhawatirkan bakal terjadi jika seorang rektor rangkap jabatan. Pertama, kemungkinan munculnya pandangan terhadap sikap rektor yang dinilai inkonsisten karena nekat rangkap jabatan.

 

Kedua, terkait independensi dan posisi PT di hadapan kekuasaan. Posisi Rektor UI yang juga merangkap sebagai salah satu komisaris BRI

dianggap sebagian pihak sebagai cara pemerintah "mengendalikan" setiap aktivitas yang dilakukan atas nama UI.

 

Bisa dibayangkan pula, bagaimana mungkin seorang rektor yang dilantik gubernur menjadi komisaris bank daerah mampu bersikap kritis terhadap apa yang dilakukan pimpinan di wilayahnya.

 

Meski persoalan pengaruh jabatan dengan sikap independensi pimpinan PT ini masih bisa diperdebatkan, munculnya penilaian publik niscaya akan memengaruhi citra PT secara keseluruhan.

 

Mengubah statuta

 

Cara paling mudah menghilangkan hambatan bagi seorang rektor melakukan rangkap jabatan memang dengan mengubah statuta dan menghilangkan pasal yang melarang rangkap jabatan. Namun, pragmatisme seperti ini tidak serta-merta menyelesaikan masalah.

 

Mengubah aturan hukum yang berlaku memang menjadi jalan keluar instan untuk mencegah seorang rektor PT bisa digugat karena melanggar statuta universitas. Masalahnya, implikasi apa yang bakal terjadi jika langkah pragmatis itu yang dipilih.

 

Rektor UI Ari Kuncoro dengan legawa mengumumkan keputusannya undur diri dari jabatan wakil komisaris utama sebuah bank BUMN dan memilih tetap menjadi rektor. Keputusan ini tentu patut diapresiasi dan diharapkan dapat diikuti rektor lain yang kini rangkap jabatan.

 

Sebagai pimpinan salah satu PT terbesar, ia tentu menyadari wibawa PT yang dipimpinnya tengah dipertaruhkan. Rektor yang berkeras mempertahankan jabatan yang dirangkapnya, tentu dinilai publik sebagai sosok tak tahan godaan materi dan kekuasaan. 

 

Bagi PT, keberadaan statuta adalah payung hukum sekaligus kerangka acuan, yang menjadi koridor apa saja yang diperbolehkan dan yang tidak diperbolehkan insan kampus. Statuta disahkan agar bisa mewujudkan sistem baik yang diharapkan tumbuh dan berkembang di dunia PT.

 

Statuta yang diubah-ubah sekadar menyesuaikan kepentingan kekuasaan, niscaya akan kehilangan kewibawaannya.

 

Integritas moral pimpinan dan wibawa statuta, ibaratnya dua keping mata uang yang dibutuhkan untuk menghindari godaan perselingkuhan kepentingan ekonomi dan kekuasaan. Bagaimana pendapat Anda?  

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar