Problema
Krisis Hakim MA Idul Rishan ; Staf Pengajar Departemen Hukum Tata Negara
Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) |
KOMPAS, 19 Juli 2021
Berakhirnya masa jabatan hakim
ad hoc tindak pidana korupsi (tipikor) di Mahkamah Agung, mendorong mahkamah
untuk segera mengajukan permohonan pengisian jabatan ke Komisi Yudisial. Tampak kondisi saat ini
akan menjadi lebih sulit bagi Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung, mengingat
momen permohonan pengajuan hakim ad hoc yang tidak pas dengan tahun
penganggaran Komisi Yudisial. Di satu sisi, ada
kesenjangan (gap) antara kebutuhan dan realisasi pengisian jabatan hakim ad
hoc di Mahkamah Agung. Di sisi lain, kekosongan kursi hakim ad hoc tipikor
yang akan purna tugas pada 22 Juli mendatang, jelas akan mengganggu performa
Mahkamah Agung. Sampai sejauh ini, tiga
opsi telah disediakan Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung (Kompas,14/7/2021).
Pertama, perpanjangan masa jabatan hakim yang belum berusia 70 tahun tanpa
seleksi ulang. Kedua, proses seleksi dilakukan pada tahun 2022. Dan ketiga,
tahapan seleksi sudah mulai dilakukan tahun ini, namun pemenuhannya di awal
2022. Sampai dengan tulisan ini
dibuat, opsi mengerucut pada pilihan ketiga (Kompas, 5/7/2021). Artinya,
Mahkamah Agung akan mengoptimalkan tiga hakim ad hoc yang ada, sambil
menunggu terisinya dua kursi kosong yang diharapkan terpenuhi pada awal tahun
mendatang. Berkaca pada kondisi di
atas, setidaknya ada dua hal yang perlu diidentifikasi sebagai problem yang
menengarai terjadinya krisis hakim di tubuh Mahkamah Agung. Masa
jabatan Saat ini pengaturan masa
jabatan hakim ad hoc menjadi salah satu hal yang perlu mendapatkan perhatian
serius dari pembentuk undang-undang. Belum jelas apa yang menjadi politik
hukum pembedaan pengaturan masa jabatan hakim ad hoc di Mahkamah Agung dan
hakim agung. Berdasarkan Undang-Undang
Mahkamah Agung, masa jabatan hakim agung ditentukan berdasarkan usia maksimum
70 tahun. Sementara dalam Undang-Undang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi
(Tipikor), hakim ad hoc memiliki masa jabatan lima tahun dan dapat diangkat
kembali untuk satu kali masa jabatan. Dari aspek hukum positif,
kita masih memiliki pekerjaan rumah yang cukup besar dalam menata jabatan hakim.
Dalam level undang-undang, seharusnya pengaturan tentang jabatan hakim ad hoc
perlu didetailkan lebih lanjut. Apakah syarat masa jabatan tertentu juga
melekat pada hakim ad hoc di Mahkamah Agung? Padahal, baik hakim agung
maupun hakim ad hoc di Mahkamah Agung, melewati proses dan tahapan seleksi
yang sama yaitu melalui Komisi Yudisial, DPR dan Presiden. Lebih dari itu, pembedaan
hakim agung dan hakim ad hoc di Mahkamah Agung juga menjadi tidak lagi begitu
relevan, mengingat baik hakim agung maupun hakim ad hoc di Mahkamah Agung
memiliki beban kinerja dan tanggung jawab yang sama berdasarkan perintah
undang-undang. Konsekuensi atas pembedaan
masa jabatan itu, mendorong Mahkamah Agung untuk mengajukan kebutuhan hakim
ad hoc setiap lima tahun sekali. Dari sisi politik anggaran, kebutuhan di
Mahkamah Agung tentu tidak selamanya dapat diikuti dengan ketersediaan
anggaran di Komisi Yudisial. Kondisi inilah yang kerap
menjadi titik problem yang justru mempersulit pemenuhan kebutuhan hakim di
Mahkamah Agung. Persetujuan
DPR Anasir lain yang menjadi
problem pemenuhan kebutuhan hakim di Mahkamah Agung ialah keterlibatan DPR
dalam memberikan persetujuan. Pasal 24A Ayat (3) UUD
menyebutkan bahwa “calon hakim agung diusulkan oleh Komisi Yudisial kepada
Dewan Perwakilan Rakyat untuk mendapatkan persetujuan dan selanjutnya
ditetapkan sebagai hakim agung oleh Presiden”. Jika dirunut berdasarkan
original intent BAB IX Undang-Undang Dasar Negara (UUDN), kehadiran DPR
sebenarnya tidak diperuntukkan melakukan supervisi terhadap hasil kinerja
Komisi Yudisial. Lagi-lagi pemahaman checks and balances ketatanegaraan kita
tidak dapat dimaknai secara tekstual. Hal ini dikarenakan,
berdasarkan sejarah perumusan Pasal 24A Ayat (3) UUDN, DPR bukanlah
episentrum kekuasaan dalam menentukan proses seleksi calon hakim agung. Ada prinsip kemerdekaan
kekuasaan kehakiman yang juga melekat pada Pasal 24 Ayat (1) UUDN, yang
seharusnya menutup ruang bagi partai politik untuk memilih dan menentukan
calon hakim agung. Tujuan utamanya ialah mencegah terjadinya redundancy
terhadap cara kerja yang telah dilakukan oleh Komisi Yudisial. Intensi pelibatan DPR
dalam konteks persetujuan sebenarnya tidak dalam kapasitas memilih dan
menyeleksi ulang calon yang diusulkan oleh Komisi Yudisial. Sifat persetujuan
itu dalam kapasitas "right to confirm" bukan dalam bentuk
"right to select". DPR bisa menggunakan
haknya dalam kondisi force majeure, misal proses seleksi yang menyalahi
undang-undang, penetapan status tersangka, atau meninggal dunia. Yang terjadi dalam praktik
pasca reformasi sebaliknya. Peran DPR kemudian bergeser sebagai lembaga
penentu seleksi calon hakim agung, dan cenderung mempersulit pemenuhan
kebutuhan hakim di tubuh Mahkamah Agung. RUU
Jabatan Hakim Merespons beberapa
problema di atas, tidak ada salahnya kembali membuka opsi penataan melalui
RUU Jabatan Hakim. Baik itu menyangkut kedudukan, implikasi yang ditimbulkan
dari pembedaan status jabatan hakim, hak dan kewajiban, maupun mendetailkan
tata cara pengangkatan hingga pemberhentiannya. Langkah ini merupakan
bagian yang tidak terpisahkan guna mendorong pemenuhan kebutuhan hakim dan
kinerja mahkamah yang independen dan akuntabel. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar