PP
No 75 dan Konflik Kekuasaan di UI Maqdir Ismail ; Praktisi Hukum |
SINDONEWS, 26 Juli 2021
Dalam membaca keributan
dan usulan pembatalan Statuta Universitas Indonesia (UI), tidak bisa dilihat
secara sederhana. Seolah-olah keberadaan dan perubahan Statuta UI hanya untuk
melindungi rangkap jabatan Rektor Prof. Ari Kuncoro. Ada hal yang lebih
mendasar dari itu. Pertama, perubahan kewenangan rektor dalam memberhentikan
wakil rektor setiap diperlukan. Kedua, mengenai rangkap jabatan. Ketiga,
hilangnya kewenangan dewan guru besar dalam memberikan penilaian dan
persetujuan kenaikan jabatan fungsional lektor kepala dan guru besar dan
memberikan pertimbangan/masukan perubahan RPJP, Renstra, atau RKA di bidang
akademik. Ketiga hal ini tidak
pernah dilihat dan dibicarakan oleh para pengkritik Statuta UI. Namun
pernyataan yang sering dikutip adalah proses yang seolah-olah organ lain di
UI ditinggalkan dalam pembahasan Statuta. Perubahan
Pasal Pemberhentian Wakil Rektor Sampai dengan awal Oktober
2020, hubungan antar organ dan pembahasan perubahan Statuta, tidak muncul
kepermukaan. Hubungan rektor dengan organ lain baik-baik saja, dan keadaan di
UI tidak ada masalah. Pembahasan statuta yang dilakukan antar organ masih
lancar-lancar saja. Pembahasan masih dilakukan oleh semua organ. Dari dewan
guru besar selalu hadir ketua dewan guru besar. Dari pihak rektorat selalu
ada sekretaris universitas dan wakil rektor, dari senat akademik, ketua senat
akademik tidak absen, dan tentu saja yang mewakili MWA selalu ada utusan yang
hadir. Pecah kongsi ini terjadi,
ketika wakil rektor I diganti oleh wakil rektor III dan wakil rektor IV
diganti kepala badan. Wakil rektor IV tidak mempersoalkan ketika diganti dan
diberi jabatan baru sebagai staf khusus. Sedangkan ketika jabatan baru
sebagai kepala badan ditawarkan kepada wakil rektor I, dia menolak. Alasan
saksi yang dia hadirkan di sidang PTUN, karena jabatan yang ditawarkan hanya
setara dengan kasubdit. Padahal tidak demikian. Perseteruan besar terjadi
karena adanya pemberhentian wakil rektor I (Bidang Akademik dan
Kemahasiswaan), yang tidak dapat menerima pemberhentiannya berdasarkan Surat
Keputusan Rektor Universitas Indonesia Nomor:1689/SK/UI/2020, tanggal 20
Oktober 2020. Dia gugat Keputusan pemberhentian dan keputusan terhadap
pengangkatan pengganti wakil rektor Bidang Akademik dan Kemahasiswaan juga
dilakukan. Kemudian, pemberhentian
wakil rektor Bidang Akademik dan Kemahasiswaan ini dipersoalkan secara resmi
oleh dewan guru besar dengan surat 26 Oktober 2020, disusul dengan pernyataan
keperihatinan pada 27 Oktober oleh sejumlah guru besar. Meskipun ada juga
yang menyangkal ikut serta membuat dan setuju dengan pernyataan
keperihatinan, karena namanya hanya dicantumkan begitu saja. Dalam keterangannya di
hadapan persidangan PTUN tentang pemberhentian wakil rektor oleh rektor,
mantan Rektor UI Prof. Muhammad Anis menyatakan, bahwa ketika antara rektor
dan wakil rektor chemistry-nya tidak cocok lagi, maka wakil rektor harus
dengan lapang dada menerima pemberhentiannya. Wakil rektor itu ditunjuk
rektor, jabatannya bukan dipilih seperti jabatan rektor. Dan yang bertanggung
jawab menjalankan roda organisasi universitas adalah rektor, bukan wakil
rektor. Diterangkan pula oleh Prof
Muhammad Anis selama dia menjabat Plt rektor, dia memberhentikan tiga orang
wakil rektor. Ketika dia sudah menjabat sebagai rektor definitif dia pernah
juga memberhentikan dua orang wakil rektor. Tidak ada persoalan dengan pemberhentian
ini, karena jabatan itu dimaknai sebagai kepercayaan rektor. Sebagai ahli yang
dihadirkan di persidangan PTUN, Prof. Yusril Ihza Mahendra mengatakan,
pemberhetian wakil rektor oleh rektor adalah sebagai hak perogratif rektor.
Karena sifat dari wakil itu adalah sama dengan yang disebut dulu sebagai
“pembantu rektor” dan jabatan wakil rektor itu adalah jabatan kepercayaan
yang diberikan oleh rektor. Sengketa pemberhentian
wakil rektor ini dipermasalahkan tidak terlepas dari tidak jelasnya bunyi
dari Statuta UI berdasarkan PP No 68/2013, yang menyatakan bahwa wakil rektor
diangkat dan diberhentikan untuk masa jabatan lima tahun. Sedangkan dalam PP
No 75/2021, wakil rektor diangkat dan diberhentikan rektor. Artinya ada
ketegasan hak rektor untuk memberhentikan wakil rektor sesuai kebutuhan
rektor atau setiap ada ketidakcocokan antara rektor dan wakil rektor. Perubahan mendasar dalam
satuta UI No 75/2021 adalah ketegasan jabatan wakil rektor yang dapat
diberhentikan oleh rektor sesuai kebutuhan rektor atau karena terjadi
ketidakcocokan antara rektor dan wakil rektor. Rangkap
Jabatan Rektor Dalam statuta PP No
68/2013 larangan bagi rektor dan wakil yang dinyatakan dalam Pasal 35,
adalah, “pejabat pada badan usaha milik negara/daerah maupun swasta”. Sedangkan
dalam PP No 75/2021 larangan bagi rektor dan wakil rektor adalah “direksi
pada badan usaha milik negara/daerah maupun swasta”. Larangan bagi rektor dan
wakil rektor menurut statuta berdasarkan PP No 68/2013 adalah menjadi pejabat
pada BUMN dan BUMD maupun swasta. Pejabat yang disebut dalam statuta tidak
jelas diamanatkan kepada jabatan apa. Kalau hal ini dilihat dari UU
Perseroan, maka akan ada yang menganggap bahwa dewan komisaris itu bukan
pejabat, karena tugas mereka adalah sebagai pengawas dan penasehat dalam
kegiatan perusahaan. Hal tersebut dapat dibaca
dari ketentuan bahwa mereka tidak mempunyai tanggung jawab terhadap
kepailitan, sepanjang dapat membuktikan tidak ada kesalahan atau kelalaian,
sudah melakukan pegawasan dengan iktikad baik, tidak mempunyai kepentingan
pribadi, dan telah memberikan nasehat untuk mencegah terjadinya kepailitan. Dalam hal PP 75/2021,
larangan terhadap rektor dan wakil rektor itu sangat tegas yaitu menjadi
direksi. Karena kalau dilihat UU Perseroan, direksi adalah organ perseroan
yang bertanggungjawab penuh atas pengurusan perseroan untuk kepentingan dan
tujuan perseroan, serta mewakili perseroan, baik di dalam maupun di luar
pengadilan. Dengan demikian sebenarnya
Pasal 39 huruf c PP No 75/2021, adalah mengatur lebih jelas larangan terhadap
rektor atau wakil rektor yang juga diberi beban atau mendapat beban melakukan
pekerjaan lain selain sebagai rektor dan wakil rektor. Tentu tidak ada yang salah
dengan adanya penegasan larangan terhadap rektor dan wakil rektor yang
diamanatkan oleh PP No 75/2021, karena ketentuan ini lebih memberi kepastian
hukum. Kewenangan
Dewan Guru Besar Ada empat P tentang
Statuta Universitas Negeri sebagai BHMN yang dikeluarkan pada 2013. PP No 65
Statuta Institut Teknologi Bandung, PP No 66 Statuta Institut Pertanian
Bogor, PP 67 Statuta Universitas Gadjah Mada, dan PP 68 Statuta Universitas
Indonesia. Dalam beberapa statuta,
hanya pada Statuta Institut Pertanian Bogor dan Statuta Universitas
Indonesia, yang memberikan kedudukan khusus kepada dewan guru besar sebagai
organ dari perguruan tinggi. Dalam Statuta ITB, dewan guru besar hanya
menjadi forum yang dibentuk oleh senat akademik. Sedangkan dalam Statuta
IPB, guru besar sebagai organ menjalankan pengembangan keilmuan, dan
pengembangan budaya akademik. Dalam Statuta Universitas Gadjah Mada,
dikatakan, “DGB adalah perangkat UGM yang berfungsi sebagai pemberi nasihat,
penjaga integritas moral dan etika sivitas akademika serta mengembangkan
pemikiran dan pandangan terkait dengan isu strategis nasional dan/atau
internasional dalam rangka mendukung peran dan kontribusi UGM bagi
kesejahteraan bangsa dan umat manusia”. Akan tetapi dalam Statuta
Universitas Indonesia, selain sebagai organ Universitas Indonesia,
sebagaimana diatur dalam pasal 41, memberikan kekuasaan yang besar kepada
dewan guru besar. Antara lain dikatakan “tugas dan kewajiban”, “melakukan
penilaian dan memberikan persetujuan pada kenaikan jabatan fungsional lektor
kepala dan guru besar untuk ditindaklanjuti oleh rektor; memberikan
pertimbangan/masukan kepada rektor dalam penyusunan dan/atau perubahan RPJP,
Renstra, atau RKA di bidang akademik”. Generasi Statuta
berikutnya PP No 30/2014, Statuta Universitas Airlangga yang tidak menyebut
keberadaan dari dewan guru besar. Sedangkan PP No 53/2015 Statuta Universitas
Hasanudin, disebut sebagai dewan profesor yang dikatakan sebagai perangkat
Senat Akademik. Adapun PP No 54/2015 Statuta Institut Teknologi Sepuluh
Nopember, dewan profesor dinyatakan sebagai perangkat dari senat akademik. Konflik terbuka antara
pejabat di UI ini bukan sesuatu yang baru. Kita bisa lihat ketika konflik
yang keras bahkan “saling pecat” antara MWA dan rektor di tahun 2011 dan
2012. Konflik yang sekarang terjadi di UI, bukan hanya karena adanya rangkap
jabatan rektor yang menjadi wakil komisaris, akan tetapi tidak terlepas dari
konflik antara rektor dan mantan wakil rektor yang mendapat “dukungan” dari
sejumlah guru besar dan dewan guru besar. Tentu saja dapat diduga hal ini
semakin panas karena hilangnya “tugas dan kewajiban” strategis dari dewan
guru besar yang bisa menjangkau dan mempersoalkan kebijakan yang bukan
terkait dengan pengembangan keilmuan di UI. Terkait dengan
pengangkatan guru besar, adalah merupakan kekeliruan yang besar, kalau ada
yang menyatakan bahwa kewenangan dan mengangkat dan/atau memutuskan jenjang
jabatan akademik, termasuk jabatan fungsional peneliti, fungsional lektor
kepala, dan guru besar, sebagai kewenangan dari dewan guru besar. Karena
menurut Pasal 50 ayat (4) UU No 14/2005 tentang Guru dan Dosen, “..penetapan
jenjang jabatan fungsional ditentukan oleh setiap satuan Pendidikan
tinggi..”. Tentu maksudnya adalah pimpinan Satuan Pendidikan Tinggi, yang
tidak lain dan tidak bukan adalah Rektor. Dengan membaca delapan
Statuta Universitas yang ada seperti dikemukakan di atas, dan kemudian
memeperbandingkan bagian isi dari Statuta No 68 /013 dengan Statuta No
75/2021, maka perubahan satuta tersebut harus dibaca sebagai upaya meluruskan
banyak hal terkait kewenangan yang selama ini tumpang tindih dan meluruskan
ketentuan sesuai dengan undang-undang di UI. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar