Kuasa
Solidaritas, Merajut Identitas J Kristiadi ; Peneliti Senior CSIS |
KOMPAS, 22 Juli 2021
Sesanti Negara Kesatuan
Republik Indonesia harga mati bukan sekadar rangkaian kosakata mati. Semangat
membangun negara kesatuan dalam masyarakat yang sangat beragam tetap menyala
sejak kemerdekaan RI hingga kini. Bahkan, gelombang kedua tsunami pandemi
Covid-19 menerjang Ibu Pertiwi dan merenggut nyawa puluhan ribu warga,
kobaran api spirit saling merasakan derita sesama semakin menjadi-jadi. Hampir setiap hari kabar
menggembirakan semarak tersebar di sejumlah media arus utama dan media sosial
yang menarasikan masyarakat saling bahu-membahu meringankan beban para
penderita Covid-19. Semangat gerakan solidaritas sosial tecermin dari
kegairahan masyarakat sipil, seperti organisasi keagamaan, sivitas akademika,
dan para pengusaha, memberikan sumbangsih. Bahkan, bantuan mengalir dari
prakarsa individual di tingkat RT/RW merebak di mana-mana. Selain itu,
puluhan ribu sukarelawan yang dibentuk Satgas Covid-19 dan masyarakat tidak
terhitung banyaknya. Tak sedikit mereka berjibaku dan "bekerja
kesetanan" mempertaruhkan nyawa menyelamatkan para penderita Covid -19. Dari perspektif empirik,
hampir setiap bencana nasional menimpa Indonesia, masyarakat memiliki tingkat
kepekaan sosial yang tinggi berbela rasa. Misalnya, tsunami Aceh pada 26
Desember 2004 yang menelan korban
ribuan jiwa melayang serta tsunami di Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur,
tahun 1979 korban meninggal hampir 400 orang (Herald Tribune, 24 Juli 1979).
Bantuan masyarakat dari segala penjuru Tanah Air membanjiri kedua wilayah
tersebut melintasi sekat-sekat primordial. Diharapkan spirit ini tidak hanya
berlangsung secara episodik, tetapi terpatri dan membatin di setiap sanubari
warga masyarakat. Negara wajib melakukan intervensi positif melalui kebijakan
yang otoritatif agar roh dan modal sosial menjadi semakin melembaga. Pencermatan terhadap
peristiwa empirik tersebut menunjukkan daya lenting spirit dan gelora rasa
senasib seperjuangan masih membara. Saling merasakan dan berbagi derita
semakin menguatkan dan menyuburkan modal sosial sebagai bagian dari proses
membangsa. Pandemi Covid-19 justru menyulut api karunia spirit kebangsaan. Namun, harus diakui,
masyarakat mulai menunjukkan gejala kelelahan akibat gempuran pageblug
Covid-19 yang melanda hampir semua kawasan Nusantara. Pandemi kali ini nyaris
meludeskan deposit stamina dan spirit vitalitas masyarakat, terutama kelas
bawah yang sangat rentan terhadap gejolak krisis perekonomian nasional.
Munculnya femonena tersebut dapat dipahami karena keganasan virus korona
tidak hanya menyerang tubuh manusia, tetapi juga mempunyai dampak psikis,
terutama karena wabah Covid-19 belum dapat diprediksi kapan dapat
dikendalikan sepenuhnya. Akibatnya, masyarakat
menjadi cemas, khawatir, gamang, takut, tegang, serta skeptik sehingga mudah
mengidap Angst Psychose; kecemasan kolektif yang disebabkan tingkat
kegelisahan yang tinggi. Bahkan, tidak mungkin sebagian masyarakat menderita
social anxiety disorder atau fobia sosial, takut dan cemas ketemu orang. Sementara itu, kebijakan
pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) darurat, hasil pemikiran
yang diramu dari kompleksitas permasalahan dan pengalaman kerja keras
pemerintah menangani pandemi Covid-19, dianggap tidak efektif. Mungkin bagus
di atas kertas, tetapi pada tataran pelaksanaan di lapangan mengecewakan,
terutama di daerah-daerah. Para kepala daerah sebagai
aktor penting dalam mengendalikan wabah di daerah masing-masing dirasakan
kurang cakap dan kompeten. Kejengkelan terhadap mutu kepala daerah secara
terbuka berkali-kali dilakukan, antara lain oleh Komarudin Watubun. Ia
melampiaskan kejengkelannya dengan mengingatkan partai politik agar
menyiapkan kader-kader yang kompeten dan cakap dalam pilkada agar apabila
terpilih, mereka mampu melaksanakan regulasi yang disusun dengan susah payah
(Kompas, 13/2021). Tingkat efektivitas
pemerintah menangani wabah Covid-19 tidak dapat maksimal, membuka tabir bahwa
negara ini salah urus, mismanagement. Yudi Latif mewacanakan negara perlu
ditata ulang (Kompas, 15/7/2021). Pemikiran yang sama banyak bermunculan dari
berbagai kalangan, termasuk para politisi dan unsur pemerintah. Namun, karena tidak disertai
dengan niat politik yang kuat, semua gagasan sehat dan rasional lenyap
diterpa gelombang kepentingan kekuasaan. Penyebabnya amat mendasar. Perubahan
politik pascareformasi sangat cepat, terutama agenda kontestasi poilitik,
sehingga tidak dapat dikejar oleh proses pelembagaan institusi politik,
negara, dan pemerintahan. Maka, siapa pun presidennya, meskipun memegang
kekuasan tertinggi pemerintahan, tidak mampu mengeksekusi otoritasnya sesuai
konstitusi. Oleh sebab itu, para aktor
non-negara harus mengisi kelemahan sistem politik yang kacau-balau. Kabar
menggembirakan terakhir (19/7/2021), yang sangat diharapkan mampu
menanggulangi pandemi lebih cepat, adalah Tashih Majelis Ulama Indonesia.
Pemerintah bersama MUI dan ormas Islam bahu-membahu menanggulangi Covid-19.
Tekad yang merupakan bagian dari rangkaian ziarah bangsa Indonesia menapak
serta mengasah rasa senasib seperjuangan. Semua komponen bangsa
merajut keragaman guna menegaskan jati diri bangsa yang bineka, tetapi tetap
eka, bersatu padu mewujudkan kebahagiaan bersama. Dalam ajaran Sultan Agung
belasan abad yang lalu, niat mulia semacam itu disebut mengasah mingising
budi, memasuh malaning bumi. Maknanya, mengasah ketajaman akal-budi, membasuh
malapetaka bumi. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar