Sabtu, 24 Juli 2021

 

Kelindan Persoalan 1 Juta Barel Per Hari

Aris Prasetyo ;  Wartawan Kompas

KOMPAS, 22 Juli 2021

 

 

                                                           

Sepanjang semester I-2021, produksi siap jual atau lifting minyak di Indonesia sebanyak 667.000 barel per hari dan lifting gas bumi sebanyak 5.430 juta standar kaki kubik per hari. Ada lompatan target luar biasa pada 2030, yaitu lifting minyak 1 juta barel per hari  serta 12 miliar standar kaki kubik per hari untuk gas bumi. Ini merupakan target ambisius di tengah tumpukan masalah klasik yang tak kunjung tuntas.

 

Sumber daya migas yang tersimpan dalam perut bumi perlu diangkat dan dimonetisasi. Negara memiliki keterbatasan untuk mengusahakan itu semua, baik dari sisi pendanaan, sumber daya manusia, maupun teknologi. Oleh karena itu, dibutuhkanlah investor yang berkontrak dengan negara, dalam hal ini Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas).

 

Dalam prosesnya, ada perizinan yang mesti ditebus oleh investor—di hulu migas, investor disebut sebagai kontraktor kontrak kerja sama (KKKS). Jumlahnya bisa mencapai ratusan atau setidaknya lebih dari 100  perizinan, baik izin yang ada di  pusat maupun  di daerah. Tak jarang, satu jenis izin saling berkaitan dengan izin lainnya.

 

Yang lebih buruk lagi, tak ada kejelasan kapan izin itu selesai diurus. Sehari, seminggu, sebulan, atau setahun, tak ada yang bisa memastikan. Bahkan, proses perizinan bisa memakan waktu bertahun-tahun (dalam sebuah webinar disebutkan ada izin yang memakan waktu hingga 10 tahun).

 

Begitu berbelitnya urusan birokrasi di negeri ini membuat segala sesuatunya berjalan (amat) lamban. Masih dari webinar yang sama, seorang investor menyampaikan sebuah satire: aparat tampaknya senang melihat investor mondar-mandir mengurus perizinan, seolah tidak rela melihat segala sesuatu berjalan cepat dan mudah. Ungkapan lama tampaknya masih relevan: kalau bisa dibuat sulit, kenapa dimudahkan?

 

Satu hal yang bisa dibuat contoh adalah Blok Masela di laut lepas Maluku. Blok kaya gas bumi ini ditemukan cadangannya pada tahun 2000. Sampai sekarang, kontraktor masih bersusah payah agar blok tersebut segera berproduksi. Salah satu investornya bahkan menyerah dan berusaha melepas kepemilikan sahamnya. Blok ini diperkirakan berproduksi pada triwulan II-2027. Bisa dibayangkan, butuh waktu 27  tahun  sejak penemuan cadangan sampai bisa berproduksi di Indonesia.

 

Kembali ke soal target produksi 1 juta barel per hari. Seandainya saja hari ini ditemukan cadangan minyak atau gas bumi dalam jumlah besar sekalipun, apakah bisa segera berproduksi pada 2030? Apakah cukup waktu 10 tahun  untuk mengurus segala macam perizinan, administrasi, dan lain sebagainya?

 

Bukannya sudah ada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja? Konon katanya, UU ini dilahirkan untuk mempercepat masuknya arus investasi. Namun, UU saja belum cukup. Pemerintah, khususnya Kementerian Investasi, masih merasa perlu menerbitkan aturan turunan untuk mempercepat segala proses dari hulu ke hilir.

 

Satu hal yang relevan dibuat contoh adalah Blok Masela di laut lepas Maluku. Blok kaya gas bumi ini ditemukan cadangannya pada tahun 2000. Namun, sampai sekarang kontraktor masih bersusah-payah agar blok tersebut segera berproduksi.

 

Aturan yang sedang disiapkan adalah mengenai norma, standar, prosedur, dan kriteria (NSPK) dalam tata perizinan. Akan diatur ketentuan soal batas waktu kapan perizinan atau sebuah rekomendasi harus diterbitkan oleh sebuah instansi, baik di pusat maupun di daerah. Apabila instansi lamban dan melewati tenggat, izin atau rekomendasi tersebut akan ditandatangani oleh Kementerian Investasi mengatasnamakan instansi yang  berwenang menerbitkan perizinan.

 

Tentu ini menjadi kabar baik bagi investor migas di Tanah Air. Bakal ada titik terang di tengah ketidakpastian menunggu terbitnya perizinan yang berlapis-lapis itu. Efisiensi bisa tercipta dan monetisasi sumber daya migas bisa segera terlaksana.

 

Apalagi, dari 128 cekungan di Indonesia, sebanyak 70 cekungan sama sekali belum diteliti kandungan sumber daya migasnya. Ditambah lagi masih rendahnya sumber daya negara sehingga membutuhkan kehadiran KKKS di hulu migas. Indonesia juga perlu memperkaya daya tarik investasi di tengah sengitnya persaingan.

 

Kalau tak ada pembenahan, investor bakal enggan masuk ke Indonesia dan lebih memilih negara yang  urusannya lebih mudah, cepat, serta memberikan jaminan kestabilan hukum. Apabila ini terjadi, Indonesia bisa terperangkap kian dalam menjadi importir migas setelah beberapa dekade lalu pernah menjadi anggota Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC) yang bergengsi. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar