Dokter
Indonesia, Oh Nasibmu Ahmad Syafii Maarif ; Ketua Umum PP Muhammadiyah 1998-2005 |
KOMPAS, 27 Juli 2021
Menurut
keterangan Dr Mahesa Pranadipa Maikel dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI),
sampai 17 Juli 2021, jumlah dokter yang wafat karena Covid-19 sudah mencapai
angka 545 orang. Bila ditambah dengan tenaga kesehatan lainnya angka itu
menjadi sekitar dua kali lipat. Sungguh
ini semua sangat mengerikan. Sangat melukai. Kita semua berkabung. Mereka
yang wafat itu terdiri dari dokter umum dan dokter spesialis. Untuk mencetak
seorang dokter spesialis setelah tamat SMA, perlu waktu sampai 15 tahun. Saya
sudah lama menangis dalam hati mengingat nasib dokter ini, tetapi jumlah korbannya
dari hari ke hari malah semakin bertambah juga. Padahal mereka sudah disuntik
dan dilengkapi APD (alat pelindung diri), tetapi tembus juga diterjang virus
ganas ini. Krisis dokter Sampai
akhir tahun 2019, menurut Ketua Umum IDI Dr Daeng M Fakih, jumlah dokter yang
terdaftar di IDI berada pada angka 168.000. Dokter umum 138.000, spesialis
30.000. Akibat pandemi, hanya dalam tempo sekitar 1,5 tahun sudah meninggal
545 dokter. Sekalipun
persentase yang meninggal itu tidak besar, tetapi jangan dianggap enteng.
Dengan penduduk sekitar 272 juta jiwa sekarang ini, Indonesia masih sangat
kekurangan tenaga dokter, apalagi yang spesialis. Di pulau-pulau kecil dan di
kawasan terpencil lainnya, jangankan dokter spesialis, jumlah dokter umum
saja masih jauh dari memadai. Mungkin
saja ada orang akan berkomentar, kita tidak perlu terlalu meratapi kematian
para dokter dan tenaga kesehatan ini karena: “Sebagai garda terdepan mereka
telah gugur bersama 60.000 rakyat yang dicintainya, sekalipun mereka tahu
bahwa maut dapat sewaktu-waktu mengunjunginya. Mereka adalah patriot sejati
yang berbuat mulia untuk kepentingan kemanusiaan.” Ini
adalah bahasa puisi, sedangkan mereka tidak memerlukan bahasa seperti itu. Yang
mereka perlukan adalah upaya maksimal agar korban kelompok ini ditiadakan.
Setidak-tidaknya dikurangi secara drastis. Eman-eman nasib mereka ini yang
sebagian besar tentu punya keluarga pula yang ditinggalkan. Memang
sebagai warisan yang baik dari Orde Baru, menurut sumber Kementerian
Kesehatan, sampai tahun 2019 Indonesia telah memiliki puskesmas (pusat
kesehatan masyarakat) sebanyak 10.134, dan pada tahun 2018 sejumlah 3.623
unit telah dilengkapi dengan layanan rawat inap. Hanya
saja, puskesmas ini belum merata di seluruh Indonesia. Di Papua, misalnya, jumlah
puskesmas ini tumbuh sangat lamban. Padahal puskemas ini adalah ujung tombak
terdepan yang dapat menjangkau rakyat yang jauh di pelosok. Di tengah
serangan wabah Covid-19 ini, puskesmas adalah lembaga yang paling sibuk di
samping rumah sakit untuk menangani korban yang terpapar. Indonesia
terdiri dari 34 provinsi, 416 kabupaten, 98 kota, 7.094 kecamatan, dan 74.957
desa. Dengan jumlah puskesmas 10.134, memang setiap kecamatan telah memiliki
pusat layanan kesehatan itu. Bahkan
bisa jadi pada satu kecamatan tertentu ada lebih dari satu puskesmas,
tergantung jumlah penduduk dan luasnya kawasan. Angka- angka di atas
memperlihatkan bahwa di ranah kesehatan Indonesia tidak jelek amat, sekalipun
belum ideal. Sekiranya
korupsi bisa dipangkas di negeri ini dan harta negara hasil garongan itu bisa
dialokasikan lebih banyak untuk kepentingan masyarakat luas, maka kualitas
kesehatan rakyat kecil di pelosok akan jauh lebih baik. Biadabnya, para
koruptor itu nuraninya telah lama lumpuh, tidak punya kepekaan tentang
masalah kesehatan rakyat ini. Judul
artikel ini adalah: “Dokter Indonesia, Oh, Nasibmu.” Dengan angka kematian
yang semakin bertambah itu dan Covid-19 belum tahu kapan meninggalkan negeri
ini, apakah kita akan menghadapi krisis dokter dalam dekat ini? Menyakitkan Semoga
tidak demikian. Tetapi ada sesuatu yang menyakitkan hati di negeri ini.
Berbagai perangai buruk tega dilakukan sebagian anak bangsa. Dalam suasana
berkabung seperti ini, ada saja pihak yang menangguk di air keruh. Mereka
timbun oksigen dengan tujuan meraup laba, sementara rumah sakit dan mereka
yang terpapar menjerit karena ketiadaan alat bantu pernapasan itu. Perbuatan
busuk ini berulang terjadi. Di
sisi lain, memang ada perbuatan mulia yang sedikit meringankan perasaan. Kita
menyaksikan Satgas Covid-19 telah berjuang tanpa lelah dalam mengurus dan
menguburkan jenazah yang dilakukan dengan memakai pakaian APD khusus. Hanya
dalam tempo beberapa jam saja, jenazah korban pandemi telah berhasil
dimakamkan. Pihak keluarga sungguh sangat diringankan. Salut buat para
pejuang kemanusiaan ini! Tetapi pasukan Satgas ini kadang-kadang harus pula
menghadapi sikap ganjil dari keluarga para korban Covid-19. Jenazah direbut
dari tangan petugas untuk dimakamkan sendiri. Ini namanya perbuatan cinta dengan
mengadang bahaya untuk terpapar. Sudah
puluhan ribu orang yang meninggal karena serangan pandemi ini, toh masih ada
saja orang yang tidak percaya adanya virus berbahaya ini. Mereka sangkal
berita gencar dari televisi, radio, dan sumber berita lainnya tentang
seriusnya serangan wabah ini. Akhirnya,
selamat jalan para dokter dan tenaga kesehatan yang telah gugur dalam
menjalankan tugas mulia, tetapi yang berimpit dengan bahaya maut ini. Negara
ini belum sanggup berbuat maksimal untuk melindungi para sahabat semua.
Semoga di alam sana, sahabat kami yang telah pergi ini mendapatkan tempat
terhormat di sisi-Nya. Amin. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar