Vaksin
dan Kerja Kemanusiaan Ferdiansah ; Peneliti ISAIs UIN Sunan Kalijaga |
DETIKNEWS, 30 Juli 2021
Di tengah pro-kontra
vaksin berbayar beberapa waktu yang lalu, saat ini kita perlu memberikan
apresiasi yang tinggi terhadap kontribusi Prof. Dame Sarah Gilbert, sang
penemu vaksin Oxford/AstraZeneca yang enggan mengambil hak paten atas
vaksinnya yang sebenarnya bisa membuatnya menjadi seorang yang kaya raya. Melalui pelepasan royalti
atas penemuan ilmiah tersebut, maka jutaan manusia di dunia akan mendapatkan
vaksin AstraZeneca dengan harga yang jauh lebih terjangkau. Sebuah kontribusi
kemanusiaan yang luar biasa di tengah banyak kekhawatiran negara akibat
pandemi, khususnya negara berpendapatan rendah (low-income countries). Pada hari pertama
perhelatan tenis bergengsi di Wimbledon dibuka (18/7), Gilbert yang saat itu
tengah menonton mendapatkan standing ovation dari publik Inggris atas peran
kemanusiaannya. Gilbert adalah profesor
dalam bidang vaksinologi di Universitas Oxford. Ia bersama timnya, yakni
Marco Polo Peralta, Rebecca Makinson, dan Indra Rudiansyah (mahasiswa Ph.D
asal Indonesia) dengan proses riset yang cukup panjang dan begitu melelahkan
di laboratorium vaksin Jenner Institute. Akhirnya mereka berhasil menemukan
dan menguji vaksin AstraZeneca hanya dalam kurun waktu 11 bulan saja. Salah
satu rekor penemuan vaksin tercepat di dunia. Namun meskipun masuk dalam
rekor penemuan tercepat vaksin, menurut pengakuan Gilbert dalam NewScientist
(10/7), "…I spent a huge amount of
time during those increasingly strange weeks attempting to secure funding. We
decided we just had to get on with it, spending money we did not yet
have…" Menurutnya pengujian riset vaksin AstraZeneca bisa dilakukan
lebih cepat lagi, jika seandainya Gilbert tidak terhambat persoalan funding riset. Polemik
Vaksin Dulu, saat vaksin
AstraZeneca mulai digunakan di Indonesia sempat terjadi perdebatan teologis
di kalangan agamawan. Hal ini ditandai dengan adanya perbedaan fatwa antara
Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat dengan MUI Jawa Timur tentang
kehalalannya. MUI Pusat meragukan kehalalan vaksin AstraZeneca. MUI Pusat
menyatakan status hukum haram terhadap vaksin AstraZeneca karena bahannya
mengandung tripsin babi. Sedangkan MUI Jawa Timur
memfatwakan AstraZeneca sebagai vaksin yang halal dengan analogi bahwa vaksin
AstraZeneca ibarat seperti tanaman yang diberi pupuk dari kotoran hewan
najis. Kemudian, buah yang dihasilkan tanaman tersebut hukumnya suci untuk
dimakan. Meskipun mengharamkan, MUI
Pusat juga memberikan fatwa mubah (kebolehan) penggunaan vaksin AstraZeneca
dalam kondisi darurat. Berdasarkan fatwa Nomor 14 Tahun 2021 tentang
penggunaan vaksin AstraZeneca harus memenuhi setidaknya lima syarat. Pertama,
ada kondisi kebutuhan yang mendesak (hajah syari'iyyah) yang menduduki
kondisi darurat syar'iy (dlarurah syar'iyyah). Kedua, ada keterangan dari
ahli kompeten dan tepercaya tentang adanya bahaya (risiko fatal) jika tidak
segera dilakukan vaksinasi Covid-19. Ketiga, ketersediaan vaksin Covid-19
yang halal dan suci tidak mencukupi untuk pelaksanaan vaksinasi Covid-19 guna
ikhtiar mewujudkan kekebalan kelompok (herd immunity). Keempat, ada jaminan
keamanan penggunaannya oleh pemerintah. Kelima, pemerintah tidak memiliki
keleluasaan memilih jenis vaksin Covid-19 mengingat keterbatasan vaksin yang
tersedia. Riset
dan Kemanusiaan Di saat sebagian orang
banyak yang mengambil kesempatan dalam kondisi kesempitan ini, ternyata ada
sosok Gilbert yang dengan sukarela memberikan hasil finansial hak paten
risetnya secara cuma-cuma untuk kerja kemanusiaan. Produk riset Gilbert ke
depan akan sangat membantu umat manusia melawan virus Corona. Dalam konteks riset,
umumnya dana riset yang digelontorkan oleh suatu lembaga/negara sangatlah
mahal, mengingat kualitas riset suatu negara berbanding lurus dengan kemajuan
negara tersebut. Tak ayal berbagai negara berlomba-lomba untuk
menggelontorkan dana riset yang besar-besaran. Namun kuatnya budaya
kapitalisme global meniscayakan akan adanya harga yang harus dibayar untuk
harga suatu karya riset. Sempat terjadi polemik
seputar vaksin berbayar melalui Kimia Farma beberapa waktu yang lalu, namun
akhirnya dibatalkan dan dicabut oleh Presiden Jokowi, (16/07). Terkait vaksin
berbayar termuat dalam Permenkes nomor 19 tahun 2021, bahwa vaksinasi
berbayar yang pendanaannya dibebankan pada badan hukum atau badan usaha
diperuntukkan terhadap pekerja, keluarga atau individu lain dalam keluarga.
Selain itu, vaksinasi kepada individu biayanya dibebankan kepada diri yang
bersangkutan. Padahal harga pembelian
vaksin dalam program tersebut dipatok sebesar Rp 321.660 per dosis. Peserta
vaksinasi juga akan dikenakan tarif pelayanan vaksinasi sebesar Rp 117.910
per dosis. Jika dikalkulasikan, setiap satu dosis penyuntikan vaksin, peserta
harus mengeluarkan Rp 439.570. Karena dibutuhkan dua dosis vaksin, maka total
biaya vaksinasi per individu sebesar Rp 879.140. Harga yang cukup fantastis
di tengah paceklik ekonomi seperti saat ini. Di sisi lain, pemerintah
sampai saat ini yang sedang memperpanjang penerapan PPKM darurat yang pada
gilirannya membuat sebagian kalangan masyarakat mengalami defisit
penghasilan. Oleh karenanya, vaksin seharusnya digratiskan dan tetaplah
menjadi tanggungan pemerintah mengingat vaksin telah menjadi kebutuhan pokok
sebagai penguatan imun (herd immunity)
bagi masyarakat. Maka dari itu, kerja
kemanusiaan Gilbert di atas setidaknya ke depan juga akan sedikit membantu
finansial pemerintah Indonesia dalam program akselerasi vaksinasi nasional
yang hingga detik ini belum usai. Akhirnya, semoga pandemi Covid-19 yang
sedang melanda ini akan segera berlalu. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar