Batas
Kepemilikan Intelektual Ignatius Haryanto ; Menulis Tesis di STF Driyarakara soal
Pemikiran John Locke dan Akar Filsafat Hak Kekayaan Intelektual |
KOMPAS, 30 Juli 2021
Pertengahan
Juli lalu, stadion Wimbledon punya acara berbeda. Pertandingan tenis
Wimbledon yang sangat bergengsi ini punya acara lain sebelum pertandingan
antara Novak Djokovic dan Jack Draper dilangsungkan. Siang itu penyelenggara
turnamen Wimbledon mengundang secara khusus Prof Dame Sarah Gilbert dari
Universitas Oxford untuk menjadi salah satu penonton. Dan
ketika Sarah Gilbert hadir, penyelenggara pun mengumumkannya sebagai guru
besar yang turut berperan untuk menghasilkan vaksin anti Covid-19 bersama dengan
para peneliti dari Universitas Oxford. Para penonton pun bertepuk tangan
meriah dan berdiri menunjukkan penghormatannya pada Sarah Gilbert. Sarah
Gilbert sangat layak diberikan tepukan tangan meriah, bahkan sebenarnya bukan
cuma oleh penonton turnamen Wimbledon itu, tetapi dari seluruh orang di
dunia. Bukan semata karena temuannya tersebut kini digunakan sebagai vaksin
untuk mengatasi pandemi Covid-19, tetapi terutama karena ia menyatakan
melepaskan hak patennya atas vaksin tersebut. Ini membuat harga vaksin
temuannya jauh lebih murah daripada vaksin-vaksin lainnya. Sarah
Gilbert adalah guru besar vaksinologi di Jenner Institute, Universitas
Oxford. Saat ini ia berusia 59 tahun (lahir 1962) dan ia telah menyelesaikan
studi biologi untuk S1 di Universitas East Anglia dan menyelesaikan PhD-nya
di Universitas Hull. Sebelumnya ia memimpin tim peneliti untuk menghasilkan
vaksin flu, ikut dalam tim peneliti yang mengobati virus Ebola, MERS. Pada
awal 2020 ketika muncul kabar soal virus di China, ia dan timnya segera
bergerak dan dalam waktu singkat persiapan untuk vaksin sudah ia siapkan.
Pada bulan April 2020 vaksinnya sudah siap untuk digandakan. Ia dan tim
mengatakan bahwa mereka sedang berkejaran dengan kematian yang sudah
mendunia, bukan berkejaran dengan para pembuat vaksin lainnya. “Kami adalah
para peneliti di universitas, bukan perusahaan dan mencari uang dengan vaksin
ini.” Sarah Gilbert mengatakan itu pada BBC. Belajar dari Sarah Gilbert Dari
kasus Sarah Gilbert di atas, kita kembali pada diskusi soal penelitian vaksin
penangkal Covid-19 dan masalah paten. Paten adalah bagian dari Hak Kekayaan
Intelektual (HKI) yang mengkhususkan pada penemuan teknologi dan seperti HKI
lainnya mengandung unsur hak moral dan hak ekonomi di dalamnya (Colston 1999,
Bird & Ponte 2006). Hak
moral di sini adalah hak yang mengacu pada penyebutan nama Sarah Gilbert dan
tim yang menemukan vaksin penangkal Covid-19 tersebut yang berada di bawah
tim Oxford University. Kita sama-sama tahu bahwa vaksin penangkal Covid-19
ini tak hanya diupayakan oleh Sarah dan kawan-kawan, tetapi juga oleh
kelompok ilmuwan lainnya, mulai dari China, Rusia, Amerika Serikat, Inggris,
dan lain-lain. Hak
moral di sini merujuk bahwa vaksin AstraZeneca Oxford telah ditemukan oleh
Sarah yang memimpin tak kurang dari 300 anggota tim peneliti dan untuk itu
mereka pantas diasosiasikan sebagai penemu vaksin tersebut. Penyebutan nama
lain di luar nama Sarah dan tim, adalah suatu pelanggaran moral atas hak
tersebut. Di
luar hak moral, ada juga hak ekonomi bagi mereka yang menjadi penemu paten
tertentu. Hak ekonomi, sebagaimana memang dirumuskan dalam konsep hak
kekayaan intelektual, berupa insentif, penghargaan yang pantas diterima oleh
si penemu, sebagai ganti dari waktu dan pikiran yang telah dicurahkan untuk
penemuan tersebut, dan lebih dari itu, insentif tadi juga diupayakan sebagai
bentuk untuk mendorong penemuan-penemuan lain terus dihasilkan ke depan
(Colston 1999). Persis
untuk masalah hak ekonomi inilah banyak yang kemudian menimbulkan persaingan,
pertarungan, atau pun perebutan atas hak ini. Hak ekonomi yang bisa
menghasilkan akumulasi kapital jadi sasaran dari pihak-pihak yang
berkepentingan. Dalam kasus Sarah Gilbert di atas, dirinya memilih untuk
menghilangkan (atau menunda) hak ekonomi dari temuannya dan ia memilih rela
untuk tidak menerima uang dari hasil paten tersebut, karena pertimbangan
kemanusiaan, namun hak moral dimana ia disebut sebagai penemu vaksin tersebut
akan terus melekat pada dirinya. HKI dan John Locke Apa
yang dilakukan oleh Sarah Gilbert ini mengembalikan kita pada esensi dari HKI
yang salah satu basisnya adalah pada pemikiran John Locke, filsuf Inggris
yang banyak bicara masalah hak individu, khususnya dalam bagian “On Property”
pada buku Second Treatise of Government yang pertama kali terbit pada 1690.
Dalam pandangan Locke yang mendapat pengaruh besar dari teori hukum kodrat,
ada sejumlah syarat bahwa seseorang boleh mengaku kepemilikan dari apa yang
ada di alam asalkan memenuhi sejumlah syarat tertentu. Sebagai
contoh ala Locke, seseorang boleh mengambil apel di hutan dan menjadikan
miliknya. Namun seseorang boleh mengambil apel tersebut dengan sejumlah
syarat tertentu: pertama, seseorang melakukan upaya kerja (labor) tertentu
untuk mendapatkan apel tersebut (memanjat pohon, mematahkan ranting) atau ia
mencampurkannya dengan hal lain (mixing metaphor) misalnya ketika mengambil
sejumlah apel dan kemudian membuatnya jadi kue apel. Kedua,
seseorang boleh mengambil apel di hutan itu sejauh cukup untuk dirinya, tetapi
tetap memberikan kesempatan kepada orang lain untuk mengambil apel tersebut.
Ketiga, seseorang boleh mengambil apel secukup yang bisa dikonsumsi orang
tersebut, namun jangan sampai mengambil apel kebanyakan sehingga kemudian
busuk karena tidak dikonsumsi. Pemikiran
John Locke ini menginspirasi pemikiran soal hak kekayaan intelektual,
walaupun tafsir atas pemikiran Locke ini bisa sangat beragam. Ada yang
melihatnya sebagai bapak individualisme yang akan melahirkan pemikiran
liberalisme terutama karena penekanan atas masalah kerja (labor) yang
dihasilkan. Tetapi, ada juga yang melihat Locke dalam konteks hukum kodrat
dimana pemikiran Locke sesungguhnya berasal dari pemikiran Locke yang
religius, dimana ia memperhatikan apa yang dapat diklaim kepemilikan dari
seseorang berbatasan dengan hak orang lain untuk dapat menggunakan bahan yang
sama yang datang dari alam. Selain itu pertimbangan agar seseorang mengambil
secukupnya agar tidak menjadikan barang tersebut rusak atau busuk karena
tidak dikonsumsi juga menekankan agar orang tidak serakah mengambil sesuatu
lebih dari cukup. Industri berbasis HKI Kita
melihat ketika era modern, era revolusi industri, dan sekarang revolusi
informasi serta revolusi digital terjadi konsep soal HKI menjadi makin
penting dibicarakan dan juga dilihat sebagai salah satu alat akumulasi
kapital. Banyak negara berlomba-lomba menghasilkan paten supaya industri
menggunakan paten tersebut dan menghasilkan komoditas yang kemudian
diperjualbelikan. Di satu sisi paten memang pantas diberikan kepada para
penemu tersebut, dan diharapkan ini akan mendorong penemuan-penemuan lainnya.
Kita pun melihat industri berbasis HKI menonjol di sejumlah negara dan
menjadi penyumbang devisa untuk negara penghasilnya. Namun
juga kita melihat gejala pertarungan yang terjadi dalam kasus HKI terjadi.
Dalam level global kita pernah mendengar gugatan dari pihak Apple kepada
Samsung, gugatan Disney ke berbagai perusahaan yang memproduksi
merchandise-nya secara tidak sah, dan lain-lain. Di Indonesia, di sejumlah media
kita mendengar kabar pengaduan pihak tertentu terhadap pemalsuan produk yang
dilakukan pihak lain. Merambah
ke dunia budaya tradisional, banyak tempat berlomba-lomba ingin mengakui
kepemilikan dari budaya tertentu, mulai dari kain tradisional, makanan, musik
tradisi, dan lain-lain. Banyak orang lupa bahwa dalam budaya tradisional,
kepemilikan atas budaya membentang melewati batas-batas politik wilayah, dan
juga usianya lebih tua dari wilayah politik tersebut. Ada tendensi HKI
dijadikan jalan pintas menghasilkan pendapatan ekonomi, dan akhirnya
produk-produk budaya itu pun jadi komoditas yang dipertarungkan klaim
kepemilikannya. Mengedepankan kemanusiaan Kembali
pada kasus Sarah Gilbert, dia telah memberikan contoh bahwa dia bukan orang
yang gila dengan kepemilikan, terutama untuk motif mendapatkan keuntungan
ekonomi dari vaksin yang ditemukannya. Ia malah menunjukkan kemuliaannya
dengan mengratiskan paten vaksinnya sehingga harga vaksin tersebut lebih
murah daripada vaksin lainnya. Pertimbangan kemanusiaan adalah batas
kepemilikan kekayaan intelektual yang ia definisikan. Ini perbuatan yang
sangat terpuji. Hal
ini juga menegaskan bahwa ada cukup banyak pencipta, penemu, penulis, dan
penghasil karya lain yang tak mengedepankan hak ekonomi di atas hak moral
atas ciptaannya tersebut. Ada cukup banyak penulis di luar yang membuka akses
atas tulisan/karyanya dan tidak membuat karyanya menjadi eksklusif atau
membutuhkan dana besar untuk orang hendak mengakses karyanya. Sarah Gilbert
mungkin datang dari semangat yang sama, dan tindakan seperti ini perlu terus
dicontohkan agar kepemilikan kekayaan intelektual tidak menjadi eksklusif,
mahal, dan mengabaikan keselamatan banyak orang sebagaimana yang terjadi pada
masa pandemi ini. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar