Sabtu, 31 Juli 2021

 

Batas Kepemilikan Intelektual

Ignatius Haryanto ;  Menulis Tesis di STF Driyarakara soal Pemikiran John Locke dan Akar Filsafat Hak Kekayaan Intelektual

KOMPAS, 30 Juli 2021

 

 

                                                           

Pertengahan Juli lalu, stadion Wimbledon punya acara berbeda. Pertandingan tenis Wimbledon yang sangat bergengsi ini punya acara lain sebelum pertandingan antara Novak Djokovic dan Jack Draper dilangsungkan. Siang itu penyelenggara turnamen Wimbledon mengundang secara khusus Prof Dame Sarah Gilbert dari Universitas Oxford untuk menjadi salah satu penonton.

 

Dan ketika Sarah Gilbert hadir, penyelenggara pun mengumumkannya sebagai guru besar yang turut berperan untuk menghasilkan vaksin anti Covid-19 bersama dengan para peneliti dari Universitas Oxford. Para penonton pun bertepuk tangan meriah dan berdiri menunjukkan penghormatannya pada Sarah Gilbert.

 

Sarah Gilbert sangat layak diberikan tepukan tangan meriah, bahkan sebenarnya bukan cuma oleh penonton turnamen Wimbledon itu, tetapi dari seluruh orang di dunia. Bukan semata karena temuannya tersebut kini digunakan sebagai vaksin untuk mengatasi pandemi Covid-19, tetapi terutama karena ia menyatakan melepaskan hak patennya atas vaksin tersebut. Ini membuat harga vaksin temuannya jauh lebih murah daripada vaksin-vaksin lainnya.

 

Sarah Gilbert adalah guru besar vaksinologi di Jenner Institute, Universitas Oxford. Saat ini ia berusia 59 tahun (lahir 1962) dan ia telah menyelesaikan studi biologi untuk S1 di Universitas East Anglia dan menyelesaikan PhD-nya di Universitas Hull. Sebelumnya ia memimpin tim peneliti untuk menghasilkan vaksin flu, ikut dalam tim peneliti yang mengobati virus Ebola, MERS.

 

Pada awal 2020 ketika muncul kabar soal virus di China, ia dan timnya segera bergerak dan dalam waktu singkat persiapan untuk vaksin sudah ia siapkan. Pada bulan April 2020 vaksinnya sudah siap untuk digandakan. Ia dan tim mengatakan bahwa mereka sedang berkejaran dengan kematian yang sudah mendunia, bukan berkejaran dengan para pembuat vaksin lainnya. “Kami adalah para peneliti di universitas, bukan perusahaan dan mencari uang dengan vaksin ini.” Sarah Gilbert mengatakan itu pada BBC.

 

Belajar dari Sarah Gilbert

 

Dari kasus Sarah Gilbert di atas, kita kembali pada diskusi soal penelitian vaksin penangkal Covid-19 dan masalah paten. Paten adalah bagian dari Hak Kekayaan Intelektual (HKI) yang mengkhususkan pada penemuan teknologi dan seperti HKI lainnya mengandung unsur hak moral dan hak ekonomi di dalamnya (Colston 1999, Bird & Ponte 2006).

 

Hak moral di sini adalah hak yang mengacu pada penyebutan nama Sarah Gilbert dan tim yang menemukan vaksin penangkal Covid-19 tersebut yang berada di bawah tim Oxford University. Kita sama-sama tahu bahwa vaksin penangkal Covid-19 ini tak hanya diupayakan oleh Sarah dan kawan-kawan, tetapi juga oleh kelompok ilmuwan lainnya, mulai dari China, Rusia, Amerika Serikat, Inggris, dan lain-lain.

 

Hak moral di sini merujuk bahwa vaksin AstraZeneca Oxford telah ditemukan oleh Sarah yang memimpin tak kurang dari 300 anggota tim peneliti dan untuk itu mereka pantas diasosiasikan sebagai penemu vaksin tersebut. Penyebutan nama lain di luar nama Sarah dan tim, adalah suatu pelanggaran moral atas hak tersebut.

 

Di luar hak moral, ada juga hak ekonomi bagi mereka yang menjadi penemu paten tertentu. Hak ekonomi, sebagaimana memang dirumuskan dalam konsep hak kekayaan intelektual, berupa insentif, penghargaan yang pantas diterima oleh si penemu, sebagai ganti dari waktu dan pikiran yang telah dicurahkan untuk penemuan tersebut, dan lebih dari itu, insentif tadi juga diupayakan sebagai bentuk untuk mendorong penemuan-penemuan lain terus dihasilkan ke depan (Colston 1999).

 

Persis untuk masalah hak ekonomi inilah banyak yang kemudian menimbulkan persaingan, pertarungan, atau pun perebutan atas hak ini. Hak ekonomi yang bisa menghasilkan akumulasi kapital jadi sasaran dari pihak-pihak yang berkepentingan. Dalam kasus Sarah Gilbert di atas, dirinya memilih untuk menghilangkan (atau menunda) hak ekonomi dari temuannya dan ia memilih rela untuk tidak menerima uang dari hasil paten tersebut, karena pertimbangan kemanusiaan, namun hak moral dimana ia disebut sebagai penemu vaksin tersebut akan terus melekat pada dirinya.

 

HKI dan John Locke

 

Apa yang dilakukan oleh Sarah Gilbert ini mengembalikan kita pada esensi dari HKI yang salah satu basisnya adalah pada pemikiran John Locke, filsuf Inggris yang banyak bicara masalah hak individu, khususnya dalam bagian “On Property” pada buku Second Treatise of Government yang pertama kali terbit pada 1690. Dalam pandangan Locke yang mendapat pengaruh besar dari teori hukum kodrat, ada sejumlah syarat bahwa seseorang boleh mengaku kepemilikan dari apa yang ada di alam asalkan memenuhi sejumlah syarat tertentu.

 

Sebagai contoh ala Locke, seseorang boleh mengambil apel di hutan dan menjadikan miliknya. Namun seseorang boleh mengambil apel tersebut dengan sejumlah syarat tertentu: pertama, seseorang melakukan upaya kerja (labor) tertentu untuk mendapatkan apel tersebut (memanjat pohon, mematahkan ranting) atau ia mencampurkannya dengan hal lain (mixing metaphor) misalnya ketika mengambil sejumlah apel dan kemudian membuatnya jadi kue apel.

 

Kedua, seseorang boleh mengambil apel di hutan itu sejauh cukup untuk dirinya, tetapi tetap memberikan kesempatan kepada orang lain untuk mengambil apel tersebut. Ketiga, seseorang boleh mengambil apel secukup yang bisa dikonsumsi orang tersebut, namun jangan sampai mengambil apel kebanyakan sehingga kemudian busuk karena tidak dikonsumsi.

 

Pemikiran John Locke ini menginspirasi pemikiran soal hak kekayaan intelektual, walaupun tafsir atas pemikiran Locke ini bisa sangat beragam. Ada yang melihatnya sebagai bapak individualisme yang akan melahirkan pemikiran liberalisme terutama karena penekanan atas masalah kerja (labor) yang dihasilkan. Tetapi, ada juga yang melihat Locke dalam konteks hukum kodrat dimana pemikiran Locke sesungguhnya berasal dari pemikiran Locke yang religius, dimana ia memperhatikan apa yang dapat diklaim kepemilikan dari seseorang berbatasan dengan hak orang lain untuk dapat menggunakan bahan yang sama yang datang dari alam. Selain itu pertimbangan agar seseorang mengambil secukupnya agar tidak menjadikan barang tersebut rusak atau busuk karena tidak dikonsumsi juga menekankan agar orang tidak serakah mengambil sesuatu lebih dari cukup.

 

Industri berbasis HKI

 

Kita melihat ketika era modern, era revolusi industri, dan sekarang revolusi informasi serta revolusi digital terjadi konsep soal HKI menjadi makin penting dibicarakan dan juga dilihat sebagai salah satu alat akumulasi kapital. Banyak negara berlomba-lomba menghasilkan paten supaya industri menggunakan paten tersebut dan menghasilkan komoditas yang kemudian diperjualbelikan. Di satu sisi paten memang pantas diberikan kepada para penemu tersebut, dan diharapkan ini akan mendorong penemuan-penemuan lainnya. Kita pun melihat industri berbasis HKI menonjol di sejumlah negara dan menjadi penyumbang devisa untuk negara penghasilnya.

 

Namun juga kita melihat gejala pertarungan yang terjadi dalam kasus HKI terjadi. Dalam level global kita pernah mendengar gugatan dari pihak Apple kepada Samsung, gugatan Disney ke berbagai perusahaan yang memproduksi merchandise-nya secara tidak sah, dan lain-lain. Di Indonesia, di sejumlah media kita mendengar kabar pengaduan pihak tertentu terhadap pemalsuan produk yang dilakukan pihak lain.

 

Merambah ke dunia budaya tradisional, banyak tempat berlomba-lomba ingin mengakui kepemilikan dari budaya tertentu, mulai dari kain tradisional, makanan, musik tradisi, dan lain-lain. Banyak orang lupa bahwa dalam budaya tradisional, kepemilikan atas budaya membentang melewati batas-batas politik wilayah, dan juga usianya lebih tua dari wilayah politik tersebut. Ada tendensi HKI dijadikan jalan pintas menghasilkan pendapatan ekonomi, dan akhirnya produk-produk budaya itu pun jadi komoditas yang dipertarungkan klaim kepemilikannya.

 

Mengedepankan kemanusiaan

 

Kembali pada kasus Sarah Gilbert, dia telah memberikan contoh bahwa dia bukan orang yang gila dengan kepemilikan, terutama untuk motif mendapatkan keuntungan ekonomi dari vaksin yang ditemukannya. Ia malah menunjukkan kemuliaannya dengan mengratiskan paten vaksinnya sehingga harga vaksin tersebut lebih murah daripada vaksin lainnya. Pertimbangan kemanusiaan adalah batas kepemilikan kekayaan intelektual yang ia definisikan. Ini perbuatan yang sangat terpuji.

 

Hal ini juga menegaskan bahwa ada cukup banyak pencipta, penemu, penulis, dan penghasil karya lain yang tak mengedepankan hak ekonomi di atas hak moral atas ciptaannya tersebut. Ada cukup banyak penulis di luar yang membuka akses atas tulisan/karyanya dan tidak membuat karyanya menjadi eksklusif atau membutuhkan dana besar untuk orang hendak mengakses karyanya. Sarah Gilbert mungkin datang dari semangat yang sama, dan tindakan seperti ini perlu terus dicontohkan agar kepemilikan kekayaan intelektual tidak menjadi eksklusif, mahal, dan mengabaikan keselamatan banyak orang sebagaimana yang terjadi pada masa pandemi ini. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar