Rabu, 28 Juli 2021

 

Kebenaran Dahulu, Kebagusan Kemudian: Refleksi Kesenian saat Pandemi

Bambang Asrini Widjanarko ;  Esais, Pemerhati Masalah Isu Budaya, Sosial, dan Seni

SINDONEWS, 27 Juli 2021

 

 

                                                           

SEPERTI sering disebut pelukis Sudjojono, yang dianggap Bapak Seni Lukis Baru Indonesia, dengan tinjauan kritisnya tentang seniman, kesenian dan masyarakat tetap relevan sepanjang zaman. Apalagi kala pandemi, saat para pekerja seni dan sebagian besar seniman hampir “lumpuh total” sejak satu setengah tahun ini.

 

Lamat-lamat wejangan Sudjojono menampar keras wajah kita bersama, tatkala terjadinya polemik tentang seni rupa hanya beralas wacana dan ketrampilan membangun diskursus; membungkus ide-ide “abstraktif nan jauh dilangit”. Sudjojono membuka esai tenarnya, sungguh menyentak dengan “Kebenaran Nomor Satu, Baru Kebagusan” yang mendeklarasikan bahwa seni lukis baru tidak mempropagandakan kebagusan, akan tetapi mengkampanyekan kebenaran utuh pada tiap orang.

 

Kebenaran yang dinukil dari tulisan Sudjojono relasinya dengan fenomena saat ini bukanlah sebuah paradigma teoritik saja, atau taruhlah tinjauan “subject matter” semata dalam kajian estetika—tentang yang indah dan bagus, memaparkan representasi simbolik, tema-tema tertentu yang menggugah dan menampilkan wujud apa adanya sebagai sebuah pesan dan kompleksnya imej dan kode-kode visual di kanvas mengenai realitas.

 

Namun lebih luas, sejatinya kesenian ala Sudjojono saat ini yang paling masuk akal adalah manifestasi bersama dalam berkesadaran memahami dunia aktual secara komunal. Seni berkaca pada yang etik dan pragmatik, selain yang logik dan estetik.

 

Untuk sementara, kita layak menghindari perdebatan dunia Platonian klasik bahwa keindahan berada dalam dunia ide yang supersensible, yang sohor dikenal sebagai quasi-sensory, atau Imannuel Kant dengan filsafat transedentalnya yang melabuhkan sensasi keindahan pada kriteria kognisi dalam perspektif yang wantah saja.

 

Di era pandemi, “Kebenaran” dalam teks Sudjojono layak dibaca sebagai teks terbuka: bagaimana secara sistemik ekosistem seni kita mampu bertindak---yang dalam pandangan Kant juga “kebenaran seni dan suasana kebatinan” untuk saling dekap, berempati, berbenah diri sembari berurgensi mendukung para pekerja seni?

 

Ekosistem: Negosisasi dan Kuasa Simbolik

 

Bourdieu, cendekia dan sosiolog itu dengan sangat jelas mendefiniskan ekosistem yang sehat dan tidak timpang dalam kesenian bisa diterjemahkan sebagai bertemunya modal budaya, modal sosial, modal ekonomi serta modal simbolik di sebuah gelanggang yang setara.

 

Sebuah ruang dialektika dan lokasi yang didinamisasi realitas objektif sekaligus subjektif serta didukung oleh tiap elemen didalamnya. Secara mental, seperti: pemilik balai lelang, kolektor, kurator, seniman, art dealer, pemilik galeri, eksekutif di institusi seni, pemilik art fair, event organizer, kritikus, penulis-penulis, para artisan serta pekerja displayer dan pembuat buku seni dan juga pejabat pemerintah dan lain-lain dapat juga direlasikan dengan konsep lainnya, habitus.

 

Bourdieu menyebut bahwa mereka memiliki peran masing-masing secara kognitif eksis, menyetubuh dalam perilaku dan tindakan-tindakan individual. Tak pelak, seluruh elemen-elemen itu tentu terjadi negosiasi tak pernah berujung yang menampilkan disposisi, preposisi dan oposisi antara yang satu dan lainnya dalam sebuah habitus.

 

Realitas mental, yang kognitif itu bertemu dengan realitas obyektif, di gelanggang seni yang memang riil dan saling bersalin posisi. Kelas menengah di Indonesia yang belum begitu mandiri, belum bisa sepenuhnya bertanggung jawab dalam konteks filantropi, yakni: bertemunya modal simbolik, kultural dan ekonominya dalam satu elemen, sebagai misal para pengusaha, CEO dan komisioner sebuah korporat privat multinasional raksasa, sekaligus kolektor yang well informed dan well educated.

 

Mereka sebagian besar kurang mampu ---kecuali sebagian sangat kecil--- membangun istitusi-institusi seni berupa yayasan seni nirlaba yang berwibawa, kuat pun matang dan memberi pencerahan dengan tetap berkontribusi aktif dalam medan seni bahkan di masa pandemi, sebagai misal: Museum MACAN.

 

Maka sejujurnya dikatakan, ada ketimpangan-ketimpangan; hingga “dialog dan relasi pembagian kuasa tentang kesenian” yang majemuk antar elemen dalam gelanggang seni tersebut (diambil dari konsep ranah, field dari Buordieu) terjadi ketika distribusi nilai—nilai dan pluralnya modal antar elemen didalamnya menjadi minim dan kurang memberi manfaat lebih luas.

 

Cendikia dengan pendekatan multi kultural itu mengenalkan juga dengan sangat cerlang konsep tentang Doxa, yakni sebuah kuasa simbolik yang represif menghegemoni yang justru diterima di gelanggang seni secara wajar. Di masa silam, konsep itu bisa berupa dukungan-dukungan dari negara atas sebuah instusi seni yang diguyur dana besar pemerintah pusat atau lokal dan para ilmuwan seni terpilih yang berkuasa didalamnya.

 

Mereka mencipta program-program dan agenda-agenda kesenian tertentu. Doxa menjadi semacam ruang “ketaksadaran” untuk pemakluman dan memahami sebuah kondisi khusus, baik secara diskursus pun secara praksis.

 

Konsentrasi Doxa cenderung berpihak yang memberi peluang sejumlah elemen kecil dalam gelanggang seni tersebut meraih keuntungan, seperti pemberian privilege komunitas seni dan seniman-seniman serta pendukungnya yang dianggap dominan, serta menganggap posisi demikian adalah sahih dan bisa dibertanggungjawabkan secara menyeluruh.

 

Sebagai dicontohkan di atas, agenda-agenda program, misalnya sebuah event seni besar program Dewan Kesenian yang memaknai Doxa sebagai seperangkat kriteria, semacam tata-tertib dan aturan estetis, nilai-nilai tertentu, kesepakatan-kesepakatan dan wacana yang mengatur sedemikian rupa gelanggang seni seolah-olah itu adalah sesuatu yang wajar dan sesuai dengan fitrah akal sehat.

 

Stimulus dan Hibah serta Tujuh Kebijakan Barat

 

Maka yang disebut gerhana, dalam polemik seni rupa beberapa waktu ini di media-media online dan koran cetak idealnya bermuara pada konsepsi seni berparas etik dan pragmatik.

 

Bagaimana sejatinya hibah senilai Rp2,4 triliun yang akan digelontorkan pada akhir Juli 2021 dan di masa pandemi untuk sektor ekonomi kreatif, budaya dan seni pun stimulus-stimulus lainnya yang dijanjikan pemerintah tersebut seharusnya bisa dikontrol dan dijamin transparan serta tepat sasaran dalam tulisan-tulisan polemik di media massa?

 

Bagaimana juga Kemendikbud, Kemenparekraf, Kemenkeu, dan Kemenperin bisa saling terbuka dan bersinergi bertanggung jawab terhadap penggelontoran dana-dana tersebut? Konsep Doxa, kemudian mengemuka dengan catatan tentang seberapa adil, kompetensi dan kriteria bagi penerima hibah itu kelak?

 

Ingatan tentang kebijakan-kebijakan yang harus dilakukan Pemerintah di masa krisis ini, mau tidak mau tertaut pada seorang ahli kebijakan publik dan pakar geo-politik dan ilmuwan sosial sohor, Kishore Mahbubani. Buku karyanya, Asia Hemisfer Baru Dunia: Pergeseran Kekuatan Global ke Timur yang Tak Terelakkan (2008) terpatri dalam benak. Mahbubani menemukan konsep penemuan jati diri bangsa Asia, setelah 200 tahun dihegemoni oleh Barat pada abad 21 ini telah “terbebaskan” yang justru karena telah meniru Barat.

 

Sementara bangsa Barat (terutama oleh pemerintahnya masing-masing) telah menjauh dari keyakinan “prinsip-prinsip kebijaksanaan Barat sendiri”. Barat cenderung mengutamakan energi aktif untuk berkonflik di beberapa kawasan, menerapkan pasar bebas yang ambigu, seperti adanya proteksi produk-produk Barat tertentu.

 

Juga bagaimana Barat hari ini ternyata sistem demokratisasinya terinfeksi faham non meritokrasi, yang menerima nilai-nilai kekerabatan dan perkoncoan ketimbang kemampuan dan kemandirian nalar manusia pada sisi yang objektif.

 

Menurut Mabhubani bisa ditelaah dalam Tujuh Kebijakan Barat itu di dalam tujuh kriteria seperti: pasar bebas, meritokrasi, pragmatisme, iptek, budaya damai, pendidikan dan penegakan hukum. Yang dalam bukunya Mabhubani menyebutnya dengan istilah Asia dengan modal itu sedang “Berbaris Ke Arah Modernitas”.

 

Dari Tesis Mahbubani tersebut, tentunya perwakilan teritori Asia telah berhasil pulih dari pandemi, bahkan mencengangkan performanya yakni kebijakan publik ala China layak ditiru. Setidaknya dalam konteks penerima dan pengelolaan dana hibah yang tepat sasaran sesuai dengan prinsip-prinsip meritokrasi dan keadilan sosial.

 

Kondisi mengenaskan pekerja seni dan konstruksi lemah seluruh gelanggang seni di masa pandemi ini, kemudian sepertinya bagai ilustrasi imej di awal tulisan ini. Karya pelukis Awan Behartawan itu, yang meminjam konsep geometri fractal visual, yakni sebuah kondisi kompleks yang sebenarnya memiliki pola-pola teratur dan diulang-ulang. Dengan cara yang lebih hati-hati, kekompleksitasan tentu bisa didekati dan diurai dengan lebih sistemik dimulai dengan pembenahan bantuan hibah sesuai target sasaran. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar