Kebenaran
Dahulu, Kebagusan Kemudian: Refleksi Kesenian saat Pandemi Bambang Asrini Widjanarko ; Esais, Pemerhati Masalah Isu Budaya, Sosial,
dan Seni |
SINDONEWS, 27 Juli 2021
SEPERTI sering disebut
pelukis Sudjojono, yang dianggap Bapak Seni Lukis Baru Indonesia, dengan
tinjauan kritisnya tentang seniman, kesenian dan masyarakat tetap relevan
sepanjang zaman. Apalagi kala pandemi, saat para pekerja seni dan sebagian
besar seniman hampir “lumpuh total” sejak satu setengah tahun ini. Lamat-lamat wejangan
Sudjojono menampar keras wajah kita bersama, tatkala terjadinya polemik
tentang seni rupa hanya beralas wacana dan ketrampilan membangun diskursus;
membungkus ide-ide “abstraktif nan jauh dilangit”. Sudjojono membuka esai
tenarnya, sungguh menyentak dengan “Kebenaran Nomor Satu, Baru Kebagusan”
yang mendeklarasikan bahwa seni lukis baru tidak mempropagandakan kebagusan,
akan tetapi mengkampanyekan kebenaran utuh pada tiap orang. Kebenaran yang dinukil
dari tulisan Sudjojono relasinya dengan fenomena saat ini bukanlah sebuah
paradigma teoritik saja, atau taruhlah tinjauan “subject matter” semata dalam
kajian estetika—tentang yang indah dan bagus, memaparkan representasi
simbolik, tema-tema tertentu yang menggugah dan menampilkan wujud apa adanya
sebagai sebuah pesan dan kompleksnya imej dan kode-kode visual di kanvas
mengenai realitas. Namun lebih luas,
sejatinya kesenian ala Sudjojono saat ini yang paling masuk akal adalah
manifestasi bersama dalam berkesadaran memahami dunia aktual secara komunal.
Seni berkaca pada yang etik dan pragmatik, selain yang logik dan estetik. Untuk sementara, kita
layak menghindari perdebatan dunia Platonian klasik bahwa keindahan berada
dalam dunia ide yang supersensible, yang sohor dikenal sebagai quasi-sensory,
atau Imannuel Kant dengan filsafat transedentalnya yang melabuhkan sensasi
keindahan pada kriteria kognisi dalam perspektif yang wantah saja. Di era pandemi,
“Kebenaran” dalam teks Sudjojono layak dibaca sebagai teks terbuka: bagaimana
secara sistemik ekosistem seni kita mampu bertindak---yang dalam pandangan
Kant juga “kebenaran seni dan suasana kebatinan” untuk saling dekap,
berempati, berbenah diri sembari berurgensi mendukung para pekerja seni? Ekosistem:
Negosisasi dan Kuasa Simbolik Bourdieu, cendekia dan
sosiolog itu dengan sangat jelas mendefiniskan ekosistem yang sehat dan tidak
timpang dalam kesenian bisa diterjemahkan sebagai bertemunya modal budaya,
modal sosial, modal ekonomi serta modal simbolik di sebuah gelanggang yang
setara. Sebuah ruang dialektika
dan lokasi yang didinamisasi realitas objektif sekaligus subjektif serta
didukung oleh tiap elemen didalamnya. Secara mental, seperti: pemilik balai
lelang, kolektor, kurator, seniman, art dealer, pemilik galeri, eksekutif di
institusi seni, pemilik art fair, event organizer, kritikus, penulis-penulis,
para artisan serta pekerja displayer dan pembuat buku seni dan juga pejabat
pemerintah dan lain-lain dapat juga direlasikan dengan konsep lainnya,
habitus. Bourdieu menyebut bahwa
mereka memiliki peran masing-masing secara kognitif eksis, menyetubuh dalam
perilaku dan tindakan-tindakan individual. Tak pelak, seluruh elemen-elemen
itu tentu terjadi negosiasi tak pernah berujung yang menampilkan disposisi,
preposisi dan oposisi antara yang satu dan lainnya dalam sebuah habitus. Realitas mental, yang
kognitif itu bertemu dengan realitas obyektif, di gelanggang seni yang memang
riil dan saling bersalin posisi. Kelas menengah di Indonesia yang belum
begitu mandiri, belum bisa sepenuhnya bertanggung jawab dalam konteks
filantropi, yakni: bertemunya modal simbolik, kultural dan ekonominya dalam
satu elemen, sebagai misal para pengusaha, CEO dan komisioner sebuah korporat
privat multinasional raksasa, sekaligus kolektor yang well informed dan well
educated. Mereka sebagian besar
kurang mampu ---kecuali sebagian sangat kecil--- membangun istitusi-institusi
seni berupa yayasan seni nirlaba yang berwibawa, kuat pun matang dan memberi
pencerahan dengan tetap berkontribusi aktif dalam medan seni bahkan di masa
pandemi, sebagai misal: Museum MACAN. Maka sejujurnya dikatakan,
ada ketimpangan-ketimpangan; hingga “dialog dan relasi pembagian kuasa
tentang kesenian” yang majemuk antar elemen dalam gelanggang seni tersebut
(diambil dari konsep ranah, field dari Buordieu) terjadi ketika distribusi
nilai—nilai dan pluralnya modal antar elemen didalamnya menjadi minim dan
kurang memberi manfaat lebih luas. Cendikia dengan pendekatan
multi kultural itu mengenalkan juga dengan sangat cerlang konsep tentang
Doxa, yakni sebuah kuasa simbolik yang represif menghegemoni yang justru
diterima di gelanggang seni secara wajar. Di masa silam, konsep itu bisa
berupa dukungan-dukungan dari negara atas sebuah instusi seni yang diguyur
dana besar pemerintah pusat atau lokal dan para ilmuwan seni terpilih yang
berkuasa didalamnya. Mereka mencipta
program-program dan agenda-agenda kesenian tertentu. Doxa menjadi semacam
ruang “ketaksadaran” untuk pemakluman dan memahami sebuah kondisi khusus,
baik secara diskursus pun secara praksis. Konsentrasi Doxa cenderung
berpihak yang memberi peluang sejumlah elemen kecil dalam gelanggang seni
tersebut meraih keuntungan, seperti pemberian privilege komunitas seni dan
seniman-seniman serta pendukungnya yang dianggap dominan, serta menganggap
posisi demikian adalah sahih dan bisa dibertanggungjawabkan secara
menyeluruh. Sebagai dicontohkan di
atas, agenda-agenda program, misalnya sebuah event seni besar program Dewan
Kesenian yang memaknai Doxa sebagai seperangkat kriteria, semacam tata-tertib
dan aturan estetis, nilai-nilai tertentu, kesepakatan-kesepakatan dan wacana
yang mengatur sedemikian rupa gelanggang seni seolah-olah itu adalah sesuatu
yang wajar dan sesuai dengan fitrah akal sehat. Stimulus
dan Hibah serta Tujuh Kebijakan Barat Maka yang disebut gerhana,
dalam polemik seni rupa beberapa waktu ini di media-media online dan koran
cetak idealnya bermuara pada konsepsi seni berparas etik dan pragmatik. Bagaimana sejatinya hibah senilai
Rp2,4 triliun yang akan digelontorkan pada akhir Juli 2021 dan di masa
pandemi untuk sektor ekonomi kreatif, budaya dan seni pun stimulus-stimulus
lainnya yang dijanjikan pemerintah tersebut seharusnya bisa dikontrol dan
dijamin transparan serta tepat sasaran dalam tulisan-tulisan polemik di media
massa? Bagaimana juga
Kemendikbud, Kemenparekraf, Kemenkeu, dan Kemenperin bisa saling terbuka dan
bersinergi bertanggung jawab terhadap penggelontoran dana-dana tersebut?
Konsep Doxa, kemudian mengemuka dengan catatan tentang seberapa adil,
kompetensi dan kriteria bagi penerima hibah itu kelak? Ingatan tentang
kebijakan-kebijakan yang harus dilakukan Pemerintah di masa krisis ini, mau
tidak mau tertaut pada seorang ahli kebijakan publik dan pakar geo-politik
dan ilmuwan sosial sohor, Kishore Mahbubani. Buku karyanya, Asia Hemisfer
Baru Dunia: Pergeseran Kekuatan Global ke Timur yang Tak Terelakkan (2008)
terpatri dalam benak. Mahbubani menemukan konsep penemuan jati diri bangsa
Asia, setelah 200 tahun dihegemoni oleh Barat pada abad 21 ini telah
“terbebaskan” yang justru karena telah meniru Barat. Sementara bangsa Barat
(terutama oleh pemerintahnya masing-masing) telah menjauh dari keyakinan
“prinsip-prinsip kebijaksanaan Barat sendiri”. Barat cenderung mengutamakan
energi aktif untuk berkonflik di beberapa kawasan, menerapkan pasar bebas
yang ambigu, seperti adanya proteksi produk-produk Barat tertentu. Juga bagaimana Barat hari
ini ternyata sistem demokratisasinya terinfeksi faham non meritokrasi, yang
menerima nilai-nilai kekerabatan dan perkoncoan ketimbang kemampuan dan
kemandirian nalar manusia pada sisi yang objektif. Menurut Mabhubani bisa
ditelaah dalam Tujuh Kebijakan Barat itu di dalam tujuh kriteria seperti:
pasar bebas, meritokrasi, pragmatisme, iptek, budaya damai, pendidikan dan
penegakan hukum. Yang dalam bukunya Mabhubani menyebutnya dengan istilah Asia
dengan modal itu sedang “Berbaris Ke Arah Modernitas”. Dari Tesis Mahbubani
tersebut, tentunya perwakilan teritori Asia telah berhasil pulih dari
pandemi, bahkan mencengangkan performanya yakni kebijakan publik ala China
layak ditiru. Setidaknya dalam konteks penerima dan pengelolaan dana hibah
yang tepat sasaran sesuai dengan prinsip-prinsip meritokrasi dan keadilan
sosial. Kondisi mengenaskan
pekerja seni dan konstruksi lemah seluruh gelanggang seni di masa pandemi
ini, kemudian sepertinya bagai ilustrasi imej di awal tulisan ini. Karya
pelukis Awan Behartawan itu, yang meminjam konsep geometri fractal visual,
yakni sebuah kondisi kompleks yang sebenarnya memiliki pola-pola teratur dan
diulang-ulang. Dengan cara yang lebih hati-hati, kekompleksitasan tentu bisa
didekati dan diurai dengan lebih sistemik dimulai dengan pembenahan bantuan
hibah sesuai target sasaran. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar