Sabtu, 24 Juli 2021

 

Dilema Kekuasaan Kehakiman

Mukti Fajar ND ;  Ketua Komisi Yudisial RI, Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

KOMPAS, 19 Juli 2021

 

 

                                                           

Jeritan rasa ketidakadilan masyarakat nyaring terdengar, ketika hakim memberikan putusan pengurangan hukuman bagi Jaksa Pinangki Sirna Malasari.

 

Ini bukan yang pertama kali terjadi. Sudah puluhan kasus (korupsi) yang diberikan diskon oleh hakim. Di saat yang sama, harapan masyarakat kepada Komisi Yudisial juga semakin tinggi.

 

Komisi Yudisial dan rasa keadilan

 

Sebagai lembaga negara yang salah satu tugas pokoknya adalah melakukan pengawasan pada hakim, Komisi Yudisial dipertanyakan eksistensinya. Masihkah Komisi Yudisial mampu merespons dan berjuang membangun kepercayaaan publik pada lembaga peradilan? Mampukah Komisi Yudisial memberikan rasa keadilan yang menjadi tuntutan rakyat?

 

Persoalan ini menjadi tidak mudah dijawab karena beberapa hal. Pertama, hakim dalam mengambil keputusan dilindungi oleh doktrin kekuasaan kehakiman.

 

Doktrin tersebut yakni, bahwa kepada hakim diberikan kemerdekaan dan kemandirian yang tidak bisa diintervensi oleh siapapun dalam memutuskan suatu perkara, untuk menciptakan keadilan (Pasal 24 (1) Undang-Undang Dasar 1945). Sebuah dogma universal judge made law. Hakim memiliki independensi konstitusional, independensi fungsional, independensi personal, dan independensi praktis yang nyata.

 

Dalam Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman (dan beberapa undang-undang terkait), tidak cuma Komisi Yudisial, bahkan Mahkamah Agung sebagai lembaga induk para hakim pun juga tidak diperkenankan untuk memeriksa materi argumentasi putusan hakim.

 

Artinya, kekuasaan kehakiman adalah sesuatu yang sakral. Tak boleh disentuh (untouchable) oleh siapapun. Kekuasaan kehakiman menjadi ruang yang terkunci rapat, bahkan kadang gelap.

 

Independensi hakim

 

Secara filosofis hal ini dapat dibenarkan untuk menjaga kepastian hukum, agar tidak terjadi kekacauan hukum. Tentunya dengan asumsi bahwa setiap hakim adalah wakil Tuhan yang suci dan mulia dalam menjalankan tugasnya.

 

Kenyataannya, hakim adalah manusia yang hidupnya dipengaruhi oleh banyak kepentingan, keinginan dan lingkungan sekitarnya. Hakim tidak imun dan hidup di ruang hampa. Putusan hakim tidak hanya berurusan dengan logika norma dan moral, namun juga berurusan dengan masalah manusia dan segala aspek sosialnya.

 

Di sinilah titik persimpangan independensi seorang hakim dipertanyakan. Dilema sang pengadil.

 

Irah-irah putusan hakim “Demi Keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”, setidaknya memuat dua frasa.

 

"Demi Keadilan" yang putusannya menentukan nasib seseorang dan juga rasa keadilan masyarakat. Sedangkan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, mengarahkan moral hakim bahwa putusannya akan dipertanggungjawabkan di hadapan Sang Pencipta.

 

Namun, kekuasaan kehakiman yang terkunci tersebut bisa menjadi misteri. Benarkah hakim mengambil putusan sebagai orang suci Yang Mulia atau dipengaruhi oleh kepentingan yang melekat pada hidupnya?

 

Tentunya hal ini menarik untuk dikaji ulang dan menjadi diskursus secara teoretis maupun praktis oleh para pakar, masyarakat madani (civil society) dan lembaga negara sebagai pihak-pihak penentu kebijakan.

 

Kedua, pada Pasal 42 Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman disebutkan bahwa dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim, Komisi Yudisial dapat menganalisis putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap sebagai dasar rekomendasi untuk melakukan mutasi terhadap hakim.

 

Hal ini merupakan celah bagi Komisi Yudisial untuk melakukan pengawasan terhadap hakim melalui analisis putusannya. Apakah sesuai dengan logika hukum, aturan perundangan, teori dan fakta-fakta persidangan.

 

Tak mengubah putusan

 

Bahkan, jika ditemukan adanya pelanggaran terhadap kode etik di balik putusan tersebut, Pasal 43 Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman memberi kewenangan kepada Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung untuk melakukan pemeriksaan terhadap hakim dimaksud.

 

Akan tetapi, meskipun ditemukan adanya pelanggaran terhadap kode etik, hanya para hakimlah yang akan mendapatkan sanksi. Hal itu karena putusan yang sudah berkekuatan hukum tetap tidak akan bisa diubah.

 

Ini berarti para pelaku korupsi yang telah mendapatkan pengurangan hukuman, tetap dapat menikmati diskon putusan tersebut. Kembali dalam hal ini rasa keadilan masyarakat terguncang.

 

Jika kembali pada girah reformasi untuk menghapuskan korupsi dari negeri ini, harusnya diresapi oleh para hakim, bahwa harapan dan mimpi bangsa (nation dream) ini masuk ke dalam suasana kebatinan para hakim.

 

Ketika menyidangkan dan memutuskan kasus-kasus korupsi, ia sebagai Yang Mulia beratribut kekuasaan kehakiman mengemban beban moral bangsa: bertanggung jawab kepada Tuhan dan rasa keadilan masyarakat. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar