Rangkap
Jabatan dan Konflik Kepentingan Reza Syawawi ; Peneliti di Transparency International
Indonesia |
DETIKNEWS, 22 Juli 2021
Beberapa waktu yang lalu,
Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Indonesia (UI) menyampaikan
kritik bernada satir kepada Presiden Joko Widodo dengan sebutan "The
King of Lip Service". Tak berselang lama, pihak rektorat UI kemudian
memanggil pihak BEM dan menyebut bahwa perbuatan tersebut dinilai melanggar
hukum. Respons rektorat UI ini ditanggapi beragam oleh publik, salah satu
yang paling menonjol adalah soal posisi Rektor UI Prof. Ari Kuncoro (AK) yang
juga merangkap sebagai salah satu komisaris di Bank Rakyat Indonesia (BRI).
Posisi ini dianggap sebagian pihak sebagai cara bagi pemerintah untuk
"mengendalikan" setiap aktivitas yang dilakukan atas nama UI. Jika ditelisik ke
belakang, keterpilihan Prof AK dalam Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan
(RUPST) BRI pada Februari 2020 hanya berselang sekitar dua bulan sejak
diangkat sebagai Rekor UI pada 4 Desember 2019. Secara pribadi, saya dan
salah seorang teman bahkan juga pernah melaporkan Prof AK kepada Majelis Wali
Amanat (MWA) UI untuk menjalankan fungsi pengawasannya berdasarkan surat
tertanggal 12 Maret 2020 melalui salah satu anggota MWA utusan mahasiswa,
Zaki Zamzami. Namun hingga saat ini,
surat tersebut tak pernah direspons. Pada waktu itu memang sudah ada isu soal
perubahan terhadap statuta UI, apakah akan mempertegas larangan terhadap
rangkap jabatan atau justru menghilangkan ketentuan yang melarang praktik
rangkap jabatan oleh rektor. Peraturan Pemerintah (PP)
Nomor 75 Tahun 2021 tentang Statuta UI ternyata ditujukan untuk mempertegas
tafsir mengenai larangan rangkap jabatan oleh rektor/wakil rektor di
BUMN/BUMD hanya pada level direksi. Sebab sebelumnya dalam PP Nomor 68 Tahun
2013 larangan tersebut bersifat umum yakni pejabat pada BUMN/BUMD. Perubahan ini sebetulnya
justru membuat rancu karena dua hal; pertama, PP ini sebetulnya hanya
melegalisasi praktik rangkap jabatan sebagai komisaris BRI yang telah
terlebih dahulu dilakukan Rektor UI jauh sebelum statutanya diubah. Kedua,
terminologi "direksi" yang ditujukan untuk memperjelas jabatan
malah menimbulkan tafsir baru bahwa rektor/wakil rektor boleh menduduki
jabatan struktural di BUMN/BUMD selain direksi. Lebih jauh dari itu semua,
perubahan statuta UI ini menghilangkan pasal yang paling penting, yaitu soal
larangan rangkap jabatan pada jabatan lain yang memiliki pertentangan
kepentingan dengan UI (Pasal 35 huruf e PP 68 Tahun 2013). Dalam PP yang
baru, ketentuan tersebut dihapuskan. Menurut saya ini mengindikasikan
menurunnya standar etik di UI, khususnya dalam pengendalian konflik
kepentingan di level pimpinan universitas. Akar
Korupsi Transparency International
Indonesia (TII) menilai, selama ini problem korupsi, kolusi, dan nepotisme
yang begitu mengakar sebetulnya berangkat dari ketiadaan sistem pengendalian
konflik kepentingan. Bahkan sebagian memahami bahwa konflik kepentingan bukan
sebagai sebuah masalah. Akibatnya konflik kepentingan justru dianggap sebagai
kelaziman, padahal jika dirunut ke belakang problem korupsi sesungguhnya
selalu diawali situasi yang disebut dengan konflik kepentingan. Setelah mempelajari
situasi ini, pada 2017 TII mengeluarkan semacam Buku Panduan bagi Pencegahan
dan Penanganan Konflik Kepentingan di Perguruan Tinggi
(https://ti.or.id/buku/). Di dalam panduan tersebut pengaturan terkait
praktik rangkap jabatan menjadi salah satu objek utama yang perlu diatur. Bahkan
dalam pengaturan tersebut tidak hanya melarang praktik rangkap jabatan bagi
pimpinan perguruan tinggi tetapi juga ditujukan terhadap unsur pelaksana,
unsur penunjang, hingga satuan pengawas internal. Pelarangan ini tentu saja
dikaitkan dengan pelaksanaan fungsi dari setiap unsur yang sangat potensial
terjadinya konflik kepentingan. Secara formal, TII
sebetulnya juga telah menyerahkan usulan ini kepada pihak Kementerian yang
membawahi urusan pendidikan tinggi agar menjadi panduan bagi setiap perguruan
tinggi dalam mengelola konflik kepentingan di internalnya masing-masing.
Sayangnya pemerintah tidak menjadikan ini sebagai upaya memperbaiki tata
kelola perguruan tinggi, bahkan secara vulgar memberikan "perlakuan
khusus" bagi UI untuk menghilangkan larangan rangkap jabatan bagi
pimpinan universitas yang berpotensi menimbulkan konflik kepentingan. Pembelajaran Saya sebagai bagian dari
civitas akademika UI merasa bahwa penurunan standar etik ini akan menjadi
pembelajaran bagi kampus lain. Jika dibandingkan dengan PTN lain seperti
Universitas Gadjah Mada (UGM), pelarangan rangkap jabatan oleh rektor/wakil
rektor masih mengatur soal "jabatan lainnya yang dapat menimbulkan
pertentangan kepentingan dengan kepentingan UGM." (Pasal 38 huruf d PP
Nomor 67 Tahun 2013). Begitu pula dalam statuta Universitas Airlangga
(Unair), bahwa rektor/wakil rektor dilarang rangkap jabatan sebagai
"pejabat lainnya yang dapat menimbulkan pertentangan kepentingan dengan
UNAIR." (Pasal 31 huruf c PP Nomor 30 Tahun 2014). Hal yang sama juga
masih diterapkan oleh Universitas Diponegoro (Pasal 42 huruf d PP Nomor 52
Tahun 2015), Institut Teknologi Bandung (Pasal 27 ayat 7 huruf c PP Nomor 65
Tahun 2013, bahkan di Universitas Andalas (Pasal 29 huruf 2 Permendikbud
Nomor 47 Tahun 2013). Praktik yang terjadi di UI
sebelum adanya perubahan statuta juga terjadi di Universitas Hasanuddin
(Unhas), Makassar. Sekalipun dalam statuta secara gamblang disebut
"rektor dilarang merangkap jabatan badan usaha di dalam maupun dil uar
Unhas, dan/atau institusi lain yang dapat menimbulkan pertentangan
kepentingan dengan kepentingan Unhas." (Pasal 27 ayat 4 huruf d dan e PP
Nomor 53 Tahun 2015). Namun faktanya Rektor Unhas justru merangkap sebagai
salah satu komisaris di dalam perusahaan swasta (PT Vale Indonesia). Pelanggaran atas statuta
ini mengindikasikan lemahnya pengawasan yang dilakukan oleh internal
perguruan tinggi (MWA), termasuk fungsi pengawasan dan pembinaan yang
seharusnya dilakukan oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan
Teknologi. Dan secara hukum praktik rangkap jabatan ini sangat jelas
melanggar peraturan pemerintah yang mengatur tentang statuta PTN
masing-masing, sehingga sangat terbuka kemungkinan adanya gugatan hukum baik
terhadap jabatannya sebagai pimpinan PTN maupun dalam jabatannya sebagai
komisaris. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar