Minggu, 25 Juli 2021

 

Rangkap Jabatan dan Konflik Kepentingan

Reza Syawawi ;  Peneliti di Transparency International Indonesia

DETIKNEWS, 22 Juli 2021

 

 

                                                           

Beberapa waktu yang lalu, Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Indonesia (UI) menyampaikan kritik bernada satir kepada Presiden Joko Widodo dengan sebutan "The King of Lip Service". Tak berselang lama, pihak rektorat UI kemudian memanggil pihak BEM dan menyebut bahwa perbuatan tersebut dinilai melanggar hukum. Respons rektorat UI ini ditanggapi beragam oleh publik, salah satu yang paling menonjol adalah soal posisi Rektor UI Prof. Ari Kuncoro (AK) yang juga merangkap sebagai salah satu komisaris di Bank Rakyat Indonesia (BRI). Posisi ini dianggap sebagian pihak sebagai cara bagi pemerintah untuk "mengendalikan" setiap aktivitas yang dilakukan atas nama UI.

 

Jika ditelisik ke belakang, keterpilihan Prof AK dalam Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan (RUPST) BRI pada Februari 2020 hanya berselang sekitar dua bulan sejak diangkat sebagai Rekor UI pada 4 Desember 2019. Secara pribadi, saya dan salah seorang teman bahkan juga pernah melaporkan Prof AK kepada Majelis Wali Amanat (MWA) UI untuk menjalankan fungsi pengawasannya berdasarkan surat tertanggal 12 Maret 2020 melalui salah satu anggota MWA utusan mahasiswa, Zaki Zamzami.

 

Namun hingga saat ini, surat tersebut tak pernah direspons. Pada waktu itu memang sudah ada isu soal perubahan terhadap statuta UI, apakah akan mempertegas larangan terhadap rangkap jabatan atau justru menghilangkan ketentuan yang melarang praktik rangkap jabatan oleh rektor.

 

Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 75 Tahun 2021 tentang Statuta UI ternyata ditujukan untuk mempertegas tafsir mengenai larangan rangkap jabatan oleh rektor/wakil rektor di BUMN/BUMD hanya pada level direksi. Sebab sebelumnya dalam PP Nomor 68 Tahun 2013 larangan tersebut bersifat umum yakni pejabat pada BUMN/BUMD.

Perubahan ini sebetulnya justru membuat rancu karena dua hal; pertama, PP ini sebetulnya hanya melegalisasi praktik rangkap jabatan sebagai komisaris BRI yang telah terlebih dahulu dilakukan Rektor UI jauh sebelum statutanya diubah. Kedua, terminologi "direksi" yang ditujukan untuk memperjelas jabatan malah menimbulkan tafsir baru bahwa rektor/wakil rektor boleh menduduki jabatan struktural di BUMN/BUMD selain direksi.

 

Lebih jauh dari itu semua, perubahan statuta UI ini menghilangkan pasal yang paling penting, yaitu soal larangan rangkap jabatan pada jabatan lain yang memiliki pertentangan kepentingan dengan UI (Pasal 35 huruf e PP 68 Tahun 2013). Dalam PP yang baru, ketentuan tersebut dihapuskan. Menurut saya ini mengindikasikan menurunnya standar etik di UI, khususnya dalam pengendalian konflik kepentingan di level pimpinan universitas.

 

Akar Korupsi

 

Transparency International Indonesia (TII) menilai, selama ini problem korupsi, kolusi, dan nepotisme yang begitu mengakar sebetulnya berangkat dari ketiadaan sistem pengendalian konflik kepentingan. Bahkan sebagian memahami bahwa konflik kepentingan bukan sebagai sebuah masalah. Akibatnya konflik kepentingan justru dianggap sebagai kelaziman, padahal jika dirunut ke belakang problem korupsi sesungguhnya selalu diawali situasi yang disebut dengan konflik kepentingan.

 

Setelah mempelajari situasi ini, pada 2017 TII mengeluarkan semacam Buku Panduan bagi Pencegahan dan Penanganan Konflik Kepentingan di Perguruan Tinggi (https://ti.or.id/buku/). Di dalam panduan tersebut pengaturan terkait praktik rangkap jabatan menjadi salah satu objek utama yang perlu diatur. Bahkan dalam pengaturan tersebut tidak hanya melarang praktik rangkap jabatan bagi pimpinan perguruan tinggi tetapi juga ditujukan terhadap unsur pelaksana, unsur penunjang, hingga satuan pengawas internal. Pelarangan ini tentu saja dikaitkan dengan pelaksanaan fungsi dari setiap unsur yang sangat potensial terjadinya konflik kepentingan.

 

Secara formal, TII sebetulnya juga telah menyerahkan usulan ini kepada pihak Kementerian yang membawahi urusan pendidikan tinggi agar menjadi panduan bagi setiap perguruan tinggi dalam mengelola konflik kepentingan di internalnya masing-masing. Sayangnya pemerintah tidak menjadikan ini sebagai upaya memperbaiki tata kelola perguruan tinggi, bahkan secara vulgar memberikan "perlakuan khusus" bagi UI untuk menghilangkan larangan rangkap jabatan bagi pimpinan universitas yang berpotensi menimbulkan konflik kepentingan.

 

Pembelajaran

 

Saya sebagai bagian dari civitas akademika UI merasa bahwa penurunan standar etik ini akan menjadi pembelajaran bagi kampus lain. Jika dibandingkan dengan PTN lain seperti Universitas Gadjah Mada (UGM), pelarangan rangkap jabatan oleh rektor/wakil rektor masih mengatur soal "jabatan lainnya yang dapat menimbulkan pertentangan kepentingan dengan kepentingan UGM." (Pasal 38 huruf d PP Nomor 67 Tahun 2013). Begitu pula dalam statuta Universitas Airlangga (Unair), bahwa rektor/wakil rektor dilarang rangkap jabatan sebagai "pejabat lainnya yang dapat menimbulkan pertentangan kepentingan dengan UNAIR." (Pasal 31 huruf c PP Nomor 30 Tahun 2014). Hal yang sama juga masih diterapkan oleh Universitas Diponegoro (Pasal 42 huruf d PP Nomor 52 Tahun 2015), Institut Teknologi Bandung (Pasal 27 ayat 7 huruf c PP Nomor 65 Tahun 2013, bahkan di Universitas Andalas (Pasal 29 huruf 2 Permendikbud Nomor 47 Tahun 2013).

 

Praktik yang terjadi di UI sebelum adanya perubahan statuta juga terjadi di Universitas Hasanuddin (Unhas), Makassar. Sekalipun dalam statuta secara gamblang disebut "rektor dilarang merangkap jabatan badan usaha di dalam maupun dil uar Unhas, dan/atau institusi lain yang dapat menimbulkan pertentangan kepentingan dengan kepentingan Unhas." (Pasal 27 ayat 4 huruf d dan e PP Nomor 53 Tahun 2015). Namun faktanya Rektor Unhas justru merangkap sebagai salah satu komisaris di dalam perusahaan swasta (PT Vale Indonesia).

 

Pelanggaran atas statuta ini mengindikasikan lemahnya pengawasan yang dilakukan oleh internal perguruan tinggi (MWA), termasuk fungsi pengawasan dan pembinaan yang seharusnya dilakukan oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi. Dan secara hukum praktik rangkap jabatan ini sangat jelas melanggar peraturan pemerintah yang mengatur tentang statuta PTN masing-masing, sehingga sangat terbuka kemungkinan adanya gugatan hukum baik terhadap jabatannya sebagai pimpinan PTN maupun dalam jabatannya sebagai komisaris. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar