Sabtu, 24 Juli 2021

 

Menggenjot Pedal Vaksinasi

Iqbal Mochtar ;  Pemerhati Masalah Kesehatan; Dokter dan Doktor Bidang Kedokteran dan Kesehatan

KOMPAS, 22 Juli 2021

 

 

                                                           

Indonesia sedang tidak ”baik-baik saja”. Perkembangan pandemi Covid-19 makin mencemaskan. Dalam beberapa hari terakhir, jumlah kasus terus meroket: melebihi 50.000 kasus.

 

Figur ini tidak pernah terjadi sebelumnya. Pada puncak Januari-Februari lalu, jumlah kasus baru sekitar 14.000 kasus. Saat ini juga, positive rate nasional berkisar 15-28 persen. Di beberapa daerah, positive rate harian sempat melebihi 50 persen. Artinya, dari 100 orang yang dites, yang positif lebih dari 50 orang. Ini sangat tinggi dan menunjukkan tingkat penyebaran virus yang masif.

 

Banyak rumah sakit dijubeli pasien, bahkan sampai di koridor dan tenda-tenda buatan. Sebuah laporan menyebutkan, tingkat hunian (bed occupancy rate/BOR) sejumlah rumah sakit telah mencapai 100 persen. Sudah penuh. Saat bersamaan, setidaknya 30 dokter dan puluhan tenaga kesehatan (nakes) lain gugur dalam beberapa minggu terakhir.

 

Klop sudah. Indonesia masuk fase kritis. Saat menghadapi fenomena begini, sejumlah negara mengambil langkah tegas, yaitu lockdown. Namun, Pemerintah Indonesia memilih strategi lain. Mereka hanya mengimplementasikan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) darurat. Alasannya, pertimbangan ekonomi.

 

Sejumlah ahli mengkritik penanganan pemerintah. Katanya tidak tepat dan bahkan gagal. Mereka beropini bahwa dalam kondisi kritis, PPKM bukan hanya tidak adekuat, tetapi juga tidak dapat diimplementasikan secara efektif.

 

Fenomena yoyo

 

Hingga sejauh ini, penatalaksanaan yang dianggap efektif bagi pandemi Covid-19 hanya ada dua jenis, yaitu protokol kesehatan dan vaksinasi. Penatalaksanaan lain belum terbukti secara empiris. Dari kedua penatalaksanaan ini, protokol kesehatan lebih bersifat temporer. Artinya, apabila pelaksanaannya dilakukan secara ketat dan baik, jumlah kasus dan kematian akan menurun.

 

Namun, ketika protokol kesehatan dilonggarkan, jumlah kasus dan kematian akan meningkat lagi. Ini menjadi alasan mengapa Inggris dan sejumlah negara Eropa lainnya pada waktu lalu terpaksa melakukan lockdown berulang-ulang. Karena kasus dan kematiannya naik-turun sesuai tingkat implementasi protokol kesehatan. Seperti yoyo. Fenomena yoyo.

 

Fenomena yoyo ini akan terus berlangsung hingga tercipta suatu kondisi stabil (steady state condition) yang disebut kekebalan komunal (herd immunity). Herd immunity tercapai apabila 70 persen masyarakat telah memperoleh antibodi, baik lewat vaksinasi maupun karena telah pernah terinfeksi Covid-19.

 

Apabila 70 persen komunitas telah memperoleh antibodi, proses transmisi virus akan melambat karena penyebaran virus terhambat oleh orang-orang yang telah memiliki proteksi terhadap virus. Kasarnya, virus di-contain atau diisolasi.

 

Dalam kenyataannya, konsep herd immunity ini bukan sebatas teori. Konsep ini telah diimplementasikan di sejumlah negara. Saat ini, setidaknya tujuh negara telah menghentikan kebijaksanaan penggunaan masker, baik secara penuh maupun parsial. Di Amerika saat ini, orang dapat berjalan ke mana-mana tanpa masker.

 

Saat Piala Eropa di Eropa, masyarakat memenuhi stadion sepak bola dan hampir semuanya tanpa masker. Kebijakan melepas masker ini telah dipertimbangkan masak-masak dan disetujui ahli kesehatan mereka. Alasan utamanya, mereka telah memvaksinasi sebagian besar penduduknya atau telah mencapai herd immunity.

 

Dan tentu saja pertimbangan ini didasarkan bukti klinis dan epidemiologis yang jelas, bukan berdasar isu media sosial atau analisis pihak tak kompeten.

 

Isu cakupan vaksinasi

 

Per 17 Juli, sebanyak 41,3 juta penduduk Indonesia telah mendapat satu dosis vaksin dan 16,2 juta penduduk telah mendapat dua dosis. Ini berarti, 15 persen penduduk telah mendapat dosis pertama dan 6 persen mendapat dosis lengkap.

 

Ada tiga isu terkait figur ini. Pertama, cakupan ini belum memuaskan, terutama apabila mempertimbangkan kondisi kritis yang terjadi saat ini. Apalagi, program ini telah berada pada bulan keenam.

 

Terkait dosis lengkap vaksin, cakupan Indonesia ini sedikit lebih baik daripada cakupan Filipina dan Thailand, tetapi jauh lebih rendah dari cakupan vaksinasi Malaysia (13 persen), Singapura (44 persen), dan cakupan tingkat dunia (13 persen). Apabila cakupan Indonesia tetap seperti ini, diperlukan lebih dari lima tahun untuk mencapai herd immunity. Presiden Jokowi sendiri geram karena ternyata banyak stok vaksin yang belum terpakai.

 

Kedua, terjadi disparitas cakupan. Sejumlah provinsi di Indonesia yang memiliki kasus kumulatif besar, cakupan vaksinasinya justru rendah. Sebaliknya, provinsi dengan kasus kumulatif rendah, cakupan vaksinasinya besar. Jawa Barat memiliki kasus kumulatif terbesar sesudah DKI, tetapi cakupan vaksinasi pertamanya pada penduduk masih 12,2 persen.

 

Jawa Tengah pun demikian, cakupan vaksinasi dosis pertama penduduknya masih 14,5 persen. Bandingkan dengan Gorontalo yang kasus kumulatifnya cukup rendah, tetapi cakupan vaksinasinya pada sasaran prioritas sudah cukup besar, yaitu 20 persen. Disparitas ini menjadi kendala percepatan herd immunity. Seharusnya daerah dengan kasus kumulatif besar mencapai cakupan vaksinasi yang besar.

 

Ketiga, stok vaksin. Per 1 Juli, pemerintah memiliki 3 juta dosis vaksin Sinovac bentuk jadi, 105,5 juta vaksin Sinovac bentuk bulk, 8,3 juta vaksin AstraZeneca bentuk jadi, dan 2 juta vaksin Sinopharm bentuk jadi. Total stok 116 juta dosis.

 

Selain itu, terdapat tambahan vaksin dalam minggu-minggu terakhir ini yang membuat jumlah stok vaksin yang tersedia 137 juta. Dosis ini cukup untuk target beberapa bulan. Namun, apabila mempertimbangkan perlunya percepatan vaksin dan pencapaian herd immunity, stok ini belum cukup.

 

Untuk mencapai herd immunity, vaksin harus diberikan kepada 70 persen atau 182 juta penduduk. Artinya, total dosis vaksin yang dibutuhkan sekitar 400 juta dosis, termasuk wastage dose. Pemerintah harus berupaya mencari stok ini.

 

Genjot vaksinasi.

 

Pemerintah tidak punya pilihan lain kecuali menggenjot pelaksanaan vaksinasi. Tanpa cakupan vaksinasi yang luas, fenomena yoyo pandemi akan terus berlangsung dan kondisi kritis seperti ini dapat memberat dan bahkan berulang.

 

Pemerintah perlu memperhatikan tiga hal. Pertama, prioritas vaksin jangan hanya diberikan pada kelompok tertentu, seperti kelompok lansia, petugas publik, dan tenaga kesehatan. Perlu diperluas segera dengan memasukkan prioritas wilayah.

 

Program vaksinasi harus digenjot dan dipercepat pada daerah-daerah berisiko tinggi, yaitu daerah yang memiliki kasus kumulatif dan positive rate yang tinggi. Pada daerah-daerah berisiko tinggi, masyarakat yang berminat vaksinasi harus diberikan kemudahan walaupun mereka bukan warga lansia, petugas publik, atau tenaga kesehatan.

 

Prosedurnya pun dipermudah, tidak perlu diperberat. Perlu dibuka tenda-tenda walk-in di mana orang yang berminat vaksinasi dapat singgah, mengisi formulir sederhana, dan langsung mendapat vaksinasi.

 

Perlu dibuka pos vaksinasi di bandara, stasiun, dan pelabuhan. Apabila perlu, dilakukan vaksinasi door-to-door dengan pendekatan humanis. Intinya, harus dicapai cakupan vaksinasi yang besar atau herd immunity sesegera mungkin pada daerah-daerah risiko tinggi, terutama DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur.

 

Cakupan di sini adalah cakupan pada seluruh masyarakat dan bukan hanya cakupan kelompok lansia, petugas publik, dan petugas kesehatan. Pengalaman di negara lain menunjukkan bahwa semakin tinggi cakupan vaksinasi, semakin rendah kejadian kasus baru dan kematian. Dan efek proteksi vaksinasi terhadap komunitas akan lebih besar apabila vaksinasi diberikan pada daerah berisiko tinggi.

 

Kedua, pemerintah perlu menerapkan insentif dan disinsentif untuk program vaksinasi. Mereka yang telah mendapatkan vaksinasi perlu diberikan sertifikat vaksin yang dapat digunakan untuk kemudahan kegiatan. Dengan sertifikat ini, mereka diperbolehkan masuk ke perkantoran dan institusi pemerintah serta melakukan perjalanan darat, laut, dan udara. Tanpa sertifikat, akses dibatasi.

 

Alasan ini rasional karena petugas perkantoran, institusi, dan masyarakat perlu dilindungi dari transmisi penyakit. Tahapan selanjutnya adalah menjadikan sertifikat vaksin sebagai kartu akses (access card) untuk masuk bank, hotel, mal, dan tempat-tempat wisata.

 

Tidak diperbolehkan memasuki fasilitas umum apabila belum menjalani vaksinasi. Kemudahan kegiatan ini menjadi insentif bagi yang telah melakukan vaksin dan menjadi disinsentif bagi yang tidak melakukan. Strategi ini bermanfaat tidak hanya dalam meningkatkan cakupan vaksinasi, tetapi juga menekan penyebaran paham antivaksin yang masih marak di masyarakat.

 

Namun, opsi ini baru dapat dilakukan apabila pemerintah telah memiliki stok vaksin yang cukup. Jangan sampai terjadi masyarakat ditolak masuk bank karena tak melakukan vaksinasi, sementara penyebabnya adalah ketidakadaan stok vaksin.

 

Saat ini, pemerintah sibuk mempersiapkan rumah sakit sejalan melonjaknya kasus Covid-19 yang membutuhkan perawatan. Upaya ini penting karena terkait tindakan kuratif, yaitu penyelamatan dan penyembuhan orang sakit. Proporsi orang yang membutuhkan perawatan berkisar 10-20 persen dari penderita Covid-19.

 

Saat bersamaan, pemerintah menggiatkan upaya mendeteksi orang terinfeksi dengan metode test dan trace. Upaya ini juga penting karena menyangkut diagnosis orang terinfeksi atau sakit. Namun, kedua kegiatan ini jangan sampai menomorduakan program vaksinasi. Karena fungsi vaksinasi Covid-19 bukan hanya pencegahan infeksi pada orang masih sehat, melainkan juga meminimalkan keluhan dan komplikasi pada orang terinfeksi pascavaksinasi.

 

Artinya, cakupannya lebih luas, yaitu preventif dan kuratif. Dan jumlah masyarakat yang membutuhkan upaya ini jelas sangat banyak. Berkali-kali lipat dari orang yang sakit dan butuh perawatan. Prioritas program vaksinasi ini mungkin sejalan dengan prinsip utilitarian: the greatest good for the greatest number.. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar