Sabtu, 24 Juli 2021

 

Pandemi, Saatnya Melepas Topeng

Budi Widianarko ;  Guru Besar Program Doktor Ilmu Lingkungan, Unika Soegijapranata Semarang

KOMPAS, 19 Juli 2021

 

 

                                                           

”In every crisis, doubt or confusion, take the higher path-the path of compassion, courage, understanding and love.” Amit Ray

 

Dalam Catatan Politik & Hukum-nya, Budiman Tanuredjo (Kompas, 10/7/2021) menyerukan semua pihak duduk bersama untuk menemukan solusi menanggulangi dampak pandemi Covid-19. Budiman mengajak para pihak meninggalkan dulu segala perbedaan dan sepenuhnya mencurahkan segenap daya dan upaya untuk melawan Covid-19 sebagai musuh bersama.

 

Pertikaian yang hanya demi mengukuhkan bahwa gagasan ”kita” lebih baik dari gagasan ”mereka” sudah selayaknya dihindari. ”Di saat krisis, keputusan bukan antara yang baik dan buruk, melainkan yang kurang buruk dan yang buruk,” seru Budiman.

 

Catatan Budiman mewakili kegetiran dan kecemasan sebagian besar kita ketika menyaksikan keriuhan yang berlangsung di panggung media, baik yang arus-utama maupun yang baru. Di tengah serangan SARS CoV-2 yang masif, perdebatan, bahkan pertikaian, antartokoh dan unsur masyarakat seperti tiada henti dan tidak mengarah pada solusi bersama. Semua pihak bersikukuh menjaga ”marwah” pendapatnya—seolah dunia hanya menyisakan kebenaran tunggal.

 

Luluh lantak sudah keyakinan pada kekuatan pikiran bersama, mind sharing, yang pernah dielu-elukan sebagai jalan menuju kebenaran yang utuh-lengkap-mendalam. Alih-alih kolaborasi pemikiran, yang terjadi adalah ”perang” pendapat dan sikap yang diumbar bebas di berbagai media—terutama media sosial.

 

Akan tergerakkah para pihak yang sedang sengit mempertikaikan gagasan mereka oleh seruan Budiman dan seruan-seruan lain yang senada? Mungkin kita harus rela menerima apa yang dinyatakan oleh John F Kennedy: ”In a time of domestic crisis, men of goodwill and generosity should be able to unite regardless of party or politics”. Yang akan tergerak hanyalah mereka yang berkehendak baik dan punya kemurahan hati saja.

 

Dengan lebih gamblang, Paus Fransiskus dalam bukunya Let-Us Dream (2020), bahkan berujar bahwa di masa krisis kita akan mendapati keduanya-(orang) baik dan buruk: orang akan menunjukkan jati diri mereka. Sebagian orang terjun melayani mereka yang memerlukan pertolongan, dan sebagian lagi justru mengambil keuntungan dari kesulitan orang lain. Dalam hal ini, keuntungan yang diraup bukan hanya dalam bentuk uang, tetapi juga pengaruh dan kekuasaan.

 

Sulit terwujudnya kebersamaan demi menemukan solusi atas krisis adalah suatu wujud pelarian diri dari kenyataan. Paus Fransiskus (2020) menyebut ada tiga penyebab putusnya hubungan kita dengan realitas dan kegagalan kita dalam menangkap pesan keilahian tentang pentingnya menyayangi sesama kala terjadi krisis kemanusiaan. Tiga penyebab itu adalah narsisisme (narcissism), keputusasaan (discouragement), dan pesimisme (pessimism).

 

Narsisisme hanya membawa kita pada bayangan cermin saat berkaca. Semuanya berpusat pada diri kita, sampai pada titik kita kagum dan tenggelam dalam citra kita sendiri. Berita hanya baik jika itu baik bagi kita. Ketika berita buruk muncul itu karena kita adalah korban utamanya. Keputusasaan mendorong kita untuk mengeluh dan ”nyinyir” tentang segala keadaan—karena kita gagal melihat apa yang ada di sekitar kita dan apa yang ditawarkan orang lain.

 

Dalam ungkapan Paus Fransiskus, keputusasaan membawa kita pada kesedihan dalam kehidupan spiritual. Bagaikan digerogoti kuman dari dalam, kita akhirnya menutup diri dan gagal melihat apapun yang di luar diri kita. Pesimisme bagaikan pintu yang kita tutup rapat-rapat—menafikan kemungkinan munculnya hal baru yang baik di depan pintu esok hari.

 

Lepas topeng

 

Ketiga penghalang itu telah menjadi topeng yang kita kenakan. Saat mengenakan topeng ini sebagian orang memeragakan ketidakpedulian (indifference). Tidak peduli sedang berlangsung krisis kemanusiaan dan tetap saja sebagian dari kita berjuang penuh semangat untuk memenangi pertikaian pendapat demi kekuasaan.

 

Sebenarnya krisis, keraguan dan kebingungan punya sisi baik. Dalam ungkapan Amit Ray, di awal tulisan ini - setiap krisis akan membawa kita ke lintasan yang lebih tinggi—yaitu jalan welas asih, asa, saling-pengertian, dan kasih sayang. Krisis kemanusiaan oleh Covid-19 ini benar-benar terjadi dan telah memakan korban sesama kita—insan berdarah-daging yang punya nama dan wajah.

 

Dalam pengalaman pribadi kita masing-masing, serangan Covid-19 bahkan sudah semakin merangsek masuk dalam lingkaran kerabat dan keluarga kita. Kita tidak bisa lagi bersikeras untuk tetap bertopeng. Gambar suram nan mengerikan telah terpampang di depan mata. Korban Covid 19 yang begitu banyak mestinya sudah cukup menggerakkan hati kita untuk rela melepaskan topeng.

 

Ketimpangan lingkungan

 

Saat topeng terlepas, kita bisa melihat dan merasakan Covid-19 tidak hadir sendiri. Ia beriringan dengan krisis-krisis lain yang masih terabaikan selama ini. Paus Fransikus menyatakan Covid telah menyingkap tabir krisis lain yang diakibatkan oleh yaitu ”virus ketidakpedulian” (virus of indifference). Krisis itu terabaikan terus karena kita semua menganggap belum ada solusinya—dan memilih membebaskan beban perasaan kita dengan melupakannya.

 

Salah satu krisis itu adalah ketimpangan lingkungan. Kondisi lingkungan hunian yang timpang tentu memunculkan risiko keparahan infeksi Covid-19 yang berbeda. Bayangkan bagaimana warga harus menjalankan protokol kesehatan di permukiman yang dikepung sampah kota—seperti Kampung ”Bengek”, Penjaringan, Jakarta Utara—misalnya (Kompas, 6/9/2019). Padahal permukiman serupa tidak terlalu sulit ditemukan di kota-kota lain negeri ini.

 

Kepadatan hunian, sanitasi lingkungan yang buruk, kelangkaan air bersih dan mutu serta keamanan pangan yang rendah tentu memudahkan terjadinya infeksi – bukan hanya karena imunitas yang rendah tetapi juga higienitas yang parah. Keadaan itu diperparah dengan semakin membanjirnya sampah medis, seperti masker bekas, yang tidak semuanya mampu ditangani dengan baik. Belum ada kota yang mampu memastikan bahwa seratus persen sampah rumah tangga berlabuh di tempat pembuangan akhir sampah.

 

Bahkan untuk sampah yang tercecer (mismanaged waste) ini, Indonesia adalah pemegang rekor tertinggi kedua di dunia—setelah China (Jambeck dkk., 2015). Akibatnya ceceran sampah kota masuk ke saluran air dan akhirnya berlabuh di pantai. Para penghuni permukiman padat dan kumuh di sekitar pantai harus bergaul dengan ceceran sampah ini. Padahal sejak masa pra-Covid mereka sudah kewalahan hidup di atas sampah—termasuk sampah ”baru” berupa popok sekali pakai - yang semakin banyak mengapung di badan air.

 

Mari sudahi pertikaian—lepaskan topeng kita masing-masing—agar kita lepas dari rabun jatidiri (existential myopia). Covid-19 telah mencelikkan mata kita bahwa masih banyak tantangan kemanusiaan yang memerlukan kepedulian kita daripada sekadar pertikaian di lintasan yang rendah—”sekadar”demi keakuan dan kekuasaan. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar