Minggu, 25 Juli 2021

 

Belajar Peduli dari Masyarakat Lokal

Agustinus GR Dasion ;  Doktor Sosiologi Lulusan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta; Peneliti Masyarakat Lokal NTT

KOMPAS, 25 Juli 2021

 

 

                                                           

Fenomena panic buying susu Bear Brand yang terjadi beberapa waktu yang lalu menunjukkan lunturnya sikap peduli dan tanggung jawab sosial masyarakat Indonesia. Etos hidup masyarakat yang peduli dengan orang lain dan tidak egois kini sudah mulai pudar. Orang pada akhirnya hanya berpikir tentang diri dan keluarganya sendiri, tanpa memikirkan orang lain.

 

Orang mungkin saja berkata bahwa kehidupan orang lain bukan menjadi tanggung jawab saya. Tidak hanya itu, fenomena banyaknya masyarakat yang masih melanggar protokol kesehatan, seperti berkumpul dan tidak memakai masker, menunjukkan kurangnya sikap peduli terhadap kehidupan bersama.

 

Harus diakui bahwa pandemi Covid-19 telah mengubah perilaku manusia, hampir di seluruh sisi kehidupan. F Budi Hardiman (2020) dalam tulisannya, Pandemi Covid: Penyingkapan Eksistensial, menjelaskan bahwa begitu menginfeksi tubuh manusia, virus ini juga merambat ke dunia sosial dan mengubah perilaku manusia.

 

Karena itu, Covid-19 bukan lagi urusan medis, karena organisme ini ”menginfeksi” realitas jurnalistis, sosiologis, psikologis, filosofis, dan bahkan teologis. Seluruh praktik hidup manusia berubah, termasuk dari yang peduli menjadi tidak lagi peduli.

 

Namun, di tengah gambaran lunturnya sikap peduli masyarakat, kita masih disuguhkan dengan realitas masyarakat lokal yang hingga kini masih mempraktikkan sikap peduli terhadap orang lain. Masyarakat Lamalera di Kabupaten Lembata, NTT, misalnya, tetap mempertahankan cara hidup berbagi dengan orang lain walaupun di tengah situasi pandemi yang memungkinkan orang untuk lebih mementingkan kehidupan sendiri dan keluarganya.

 

Masyarakat Lamalera tetap melaksanakan tradisi berbagi makanan (food sharing) yang disebut befene. Tradisi befene adalah membagi hasil tangkapan ikan untuk para tetangga, para janda dan yatim piatu. Jika memikirkan diri sendiri, seharusnya para nelayan dapat menjual semua hasil tangkapan. Namun, hal itu tidak mereka lakukan dan memilih untuk berbagi.

 

Melakukan praktik befene bukanlah sebuah keharusan. Praktik befene tidak lain adalah sebuah tanggung jawab moral atas kehidupan bersama para nelayan di Lamalera. Befene menjelaskan bahwa orang bisa saja tidak ingin berbagi karena itu merupakan hak pribadi. Namun, pada akhirnya orang memilih untuk berbagi karena memiliki tanggung jawab moral atas kehidupan sesama. Mereka harus berbagi karena mungkin di hari yang sama, orang lain tidak beruntung dan mendapatkan hasil seperti yang didapat.

 

Selain itu, sikap peduli dilakukan dengan menaati protokol kesehatan walaupun berbagai aktivitas masyarakat lokal tidak dapat dilakukan tanpa adanya pertemuan fisik secara langsung. Penutupan pasar barter Lamalera pada Februari 2020 karena pandemi Covid-19 misalnya, menjadi pukulan yang telak bagi kehidupan ekonomi masyarakat lokal. Namun, masyarakat memilih untuk tetap di rumah dan tidak melakukan transaksi barter walaupun berdampak sangat besar pada ekonomi masyarakat lokal. Kisah dari Lamalera ini sebenarnya mewakili berbagai kisah sikap peduli masyarakat lokal di seluruh pelosok Indonesia, yang dipraktikkan dalam berbagai sistem hidup lokal.

 

Dari hak menuju kewajiban

 

Secara sederhana, peduli (coera atau care) dapat dimengerti sebagai sikap memberi perhatian kepada orang lain. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KKBI), kata ’peduli’ berarti ’mengindahkan’, ’memperhatikan’, ’menghiraukan’. Sikap peduli juga dimengerti sebagai merasa khawatir akan keadaan hidup orang lain.

 

Sikap peduli tumbuh karena merasa bahwa orang lain merupakan bagian dari dirinya sendiri. Sikap peduli merupakan gambaran tanggung jawab moral bahwa seseorang memiliki andil bagi keberadaan dan kelangsungan hidup orang lain. Sikap peduli bersifat produktif dan bukan hanya ungkapan emosi semata.

 

Artinya, sikap peduli tidak hanya berhenti pada rasa perihatin dan rasa iba terhadap keberadaan orang lain. Rasa iba atau perihatin hanya sebagai dasar untuk melakukan sebuah aksi nyata. Dengan demikian, rasa peduli menuntut sebuah keharusan melakukan aksi riil demi perubahan hidup orang lain.

 

Sikap peduli harus digeser dari konsep hak menuju konsep kewajiban. Artinya bahwa peduli tidak lagi ada dalam ruang kebebasan memilih. Sikap peduli adalah sebuah kewajiban moral untuk memberi diri hidup bersama orang lain seperti apa yang dilakukan masyarakat lokal di atas. Ketika kita melihat orang lain, kita dituntut untuk berbuat sesuatu demi kebaikan mereka.

 

Meminjam konsep tanggung jawab moral Levinas, peduli adalah berjumpa dengan Yang Tak Berhingga. ”Pertemuan dengan wajah orang lain itu merobohkan egoisme saya,” kata Levinas. Demikian juga yang dipraktikkan masyarakat lokal, seperti masyarakat Lamalera, misalnya. Ketika nelayan melihat sesamanya, ia tergerak untuk segera membagi hasil tangkapannya agar orang lain pun menikmati apa yang ia dapatkan.

 

Memperjuangkan sikap peduli bukanlah sebuah hal yang mudah di tengah situasi pandemi yang menuntut setiap orang untuk menyelamatkan diri dan keluarganya terlebih dahulu. Pandemi Covid-19 telah membuat masyarakat cenderung egois. Namun, kisah dari masyarakat lokal harus dapat menjadi sebuah catatan kemanusiaan untuk bisa membangun kembali hidup bersama dengan penuh tanggung jawab.

 

Di situasi pandemi yang tidak menentu, sikap peduli menjadi sebuah prasyarat dalam membangun kehidupan bersama secara lebih baik. Kita harus belajar untuk bisa bertahan secara bersama-sama seperti yang dipraktikkan masyarakat lokal. Jika kita sulit untuk berbagi bersama orang lain dalam sebuah aksi nyata, paling kurang kita tetap mengikuti protokol kesehatan demi kehidupan bersama. Ini harus tetap menjadi catatan demi kehidupan bersama di masa pandemi Covid-19. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar