Masalah
Rektor UI Belum Selesai Meski Tak Lagi Rangkap Jabatan Felix Nathaniel ; Jurnalis Tirto |
TIRTO.ID, 29 Juli 2021
Seorang pria muda
mendatangi pria lain yang lebih tua darinya. Ia penasaran mengapa orang tua
itu ingin bekerja bersama “bajingan-bajingan minyak, calo-calo modal asing,
dan pejabat-pejabat yang korup dan sloganistis.” Pria tua itu tidak naik
pitam, bahkan untuk sekadar menyampaikan keberatan. Dia justru mengakui
tudingan itu, tapi merasa tak punya banyak pilihan. “Terjun ke dalam berusaha
(dan belum tentu berhasil) memperbaikinya atau tinggal di luar sambil
menantikan aparat tadi ambruk. Saya memilih yang pertama dengan segala
konsekuensinya,” kata pria tua itu. Cerita di atas benar-benar
terjadi puluhan tahun lalu, tepatnya pada 1967. Pria muda itu adalah Soe Hok
Gie, mahasiswa Sejarah Universitas Indonesia (UI) yang jadi role model banyak
generasi muda bahkan hingga saat ini; sementara si orang tua adalah Rektor
Sumantri Brodjonegoro. Ketika didatangi Gie, Sumantri baru saja menerima
jabatan sebagai Menteri Pertambangan di pemerintahan Soeharto. Kisah ini Gie ceritakan
dalam artikel “Pelacuran Intelektual” yang terbit di Sinar Harapan 21 April
1969. Artikel tersebut kembali diterbitkan dalam kumpulan tulisan yang
dibukukan dengan judul Zaman Peralihan (2005). Kita tak tahu kejadian lengkap
pertemuan tersebut karena Gie memang tidak mengisahkan terlalu detail,
termasuk dalam catatan harian yang kelak dibukukan, Catatan Seorang
Demonstran. Gie sebenarnya mengerti
tindakan rektornya yang memilih rangkap jabatan (Sumantri menjabat Rektor UI
sejak 1964 hingga 1973). Dia mengaku paham bahwa ada orang-orang yang
menggunakan nilai absolut dan relatif dalam membuat keputusan, dan Sumantri
salah satunya. Lagi pula menurut Gie UI di bawah Sumantri setidaknya bukan
kampus yang mengekang para mahasiswa. Dia tidak begitu saja
mengecap Sumantri sebagai “pelacur intelektual.” Itu dia kembalikan ke sidang
pembaca. “Apakah kepada mereka akan kita berikan gelar 'pelacur
intelektual'?” tanyanya. Tahun berlalu dan kejadian
serupa terulang di masa sekarang. Rektor UI saat ini, Ari Kuncoro, memang
tidak menjabat menteri, tapi Wakil Komisaris Utama Bank BRI sejak Februari
2020. Perannya 'sekadar' supervisi, bukan membuat kebijakan. Rangkap jabatan
ini melanggar statuta--semacam 'konstitusi'--UI, yang lantas diubah, diduga
sebagai praktik politik balas budi. Jika Gie masih hidup,
apakah dia akan melabeli Ari Kuncoro, atau justru juga memberikan permakluman
sebagaimana terhadap Sumantri? Yang jelas, posisi Ari Kuncoro telah memicu
protes banyak mahasiswa dan khalayak. Mengundurkan
Diri, tapi Masalah Belum Selesai Ketika protes membesar,
pemerintah mencoba menyelesaikan masalah dengan menerbitkan Peraturan
Pemerintah (PP) Nomor 75 Tahun 2021 tentang Statuta UI sebagai pengganti PP
68/2013. Dalam peraturan lama,
rektor dan wakil rektor jelas-jelas dilarang merangkap jabatan sebagai
pejabat pada badan usaha milik negara/daerah maupun swasta. 'Jabatan' berarti
semua posisi, yang berarti juga komisaris. Peraturan baru yang
semestinya menyelesaikan masalah justru memberikan landasan legal rangkap
jabatan. Aturan baru tersebut berbunyi: Rektor dan wakil rektor, sekretaris
universitas, dan kepala badan dilarang merangkap sebagai sebagai direksi pada
badan usaha milik negara/daerah maupun swasta. Apa yang dilarang oleh
peraturan baru hanya jabatan direksi, bukan komisaris. Premis bahwa ketika
seseorang melanggar peraturan maka yang bersangkutan harus dihukum tak
berlaku bagi Ari Kuncoro. Tak heran dia menjadi lelucon di media sosial.
Lelucon tersebut intinya menyatakan bahwa jika Ari Kuncoro keliru, bukan dia
yang harus membenahi diri, namun peraturan dan semua hal terkait yang harus
beradaptasi, betapa pun konyolnya itu semua. Ejekan itu terus bergulir
hingga akhirnya dua hari kemudian Ari Kuncoro memutuskan mengundurkan diri
dari BRI. Kendati demikian, pangkal kasus ini, statuta UI, belum berubah.
Rangkap jabatan masih menjadi persoalan yang potensial terjadi. Presiden Joko Widodo
pernah mengatakan bahwa rangkap jabatan itu tidak efisien. “Kerja di satu
tempat aja belum tentu bener, kok,” kata Jokowi. Videonya beredar luas
setelah kasus UI meski konteksnya sama sekali bukan itu. Jabatan
Politis Argumen yang kerap muncul
ketika seseorang diangkat untuk menempati jabatan tertentu--dikenal sebagai
politik balas budi--biasanya adalah, “Kalau mereka mampu, kenapa tidak
[diberikan kesempatan]?” Ini menunjukkan bahwa penyelenggara negara melihat
keahlian, bukan kontribusi individu tersebut terhadap pemerintah. Ari Kuncoro
sendiri sudah kenyang pengalaman di bank-bank nasional. Dia sebelumnya
menjabat Komisaris Utama BNI (2017-2020). Rekam jejak ini menunjukkan Ari
Kuncoro memang punya kemampuan. Masalahnya kembali ke
rangkap jabatan tadi yang selain memecah konsentrasi juga memicu konflik
kepentingan. Dengan menduduki jabatan Rektor UI sekaligus komisaris bank
BUMN, Ari Kuncoro dituding menjadi kaki tangan pemerintah untuk mengontrol
mahasiswa. Hal ini terlihat ketika Rektorat UI meminta unggahan Jokowi
sebagai King of Lip Service dari BEM UI diturunkan beberapa waktu lalu. BEM
UI mengatakan demikian karena menilai tak ada konsistensi antara perkataan
dengan tindakan atau kebijakan. Dalam konteks yang lebih
luas, pemerintah pernah secara terang-terangan meminta para rektor mencegah
protes para mahasiswa. Tahun 2019, ketika demonstrasi menolak revisi UU KPK
merebak, Menristekdikti Mohammad Nasir meminta rektor untuk mengajak peserta
didik tak turun ke jalan dan jika mau protes sebaiknya dialog saja. Presiden juga mengundang
Forum Rektor Indonesia (FRI) untuk meminta hal serupa. Demi situasi yang
kondusif, mahasiswa dianjurkan mendesak perubahan UU KPK melalui jalur MK.
Dosen, anggota forum akademisi, dan mahasiswa menilai ini adalah upaya
pembungkaman melalui struktur kuasa di dalam kampus. Para rektor mungkin puas
dengan berdialog dan bertemu presiden, tapi, mengutip Gie dalam Catatan
Seorang Demonstran (2011, cet. 10), mahasiswa yang kritis punya cara pandang
berbeda. “Setiap aku keluar dari Istana, aku sedih dan kecewa; sedangkan
orang lain bangga jika bisa berjabatan tangan dengan Bung Karno.” Sikap para pemimpin kampus
itu, dalam derajat tertentu, bertentangan dengan apa yang pernah dilakukan
Rektor UI periode 1974–1982, Mahar Mardjono. Ia dianggap pandai memosisikan
diri di antara mahasiswa yang tak puas dan pemerintah. Suatu ketika, seperti
diceritakan Historia, Mahar mencoba membebaskan para mahasiswa yang ditahan
dalam demonstrasi besar yang konteks besarnya kelak disebut sebagai
Malapetaka 15 Januari (Malari) 1974, bahkan dengan menghubungi para jenderal
terkait. “Siapa di belakang itu
semua?” tanya Pangkopkamtib Sudomo yang menangkapi para mahasiswa, termasuk
Hariman Siregar, Ketua Dewan Mahasiswa UI. “Saya tidak tahu apa-apa.
Pak Domo, kan, lebih tahu dari saya. Jangan tanya saya,” balas Mahar. Bahkan tanpa rangkap
jabatan pun jabatan rektor dianggap sulit jauh dari perkara politik karena
faktor mekanisme pemilihan. Rektor UI dipilih oleh Majelis Wali Amanat (MWA)
UI. Dari 17 orang MWA, satu di antaranya adalah Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan Nadiem Makarim. Sisanya banyak yang merupakan orang-orang yang
pernah atau masih menjabat di pemerintahan. Ketua MWA UI adalah Saleh
Husin, Menteri Perindustrian 2014-2016. Sekretaris MWA UI adalah Wiku
Adisasmito yang ditunjuk menjadi Juru Bicara Satgas Penanganan Covid-19.
Wakil dosen, dua di antaranya, pernah atau masih menjadi menteri Jokowi:
Bambang Brodjonegoro (Merinstekdikti) dan Sri Mulyani Indrawati (Menteri
Keuangan). Dari unsur wakil masyarakat ada Erick Thohir yang tidak lain
Menteri BUMN. Ada pula dua wakil masyarakat yang berstatus pengusaha,
kelompok yang diuntungkan oleh pemerintah berkat UU Cipta Kerja. Dengan mengambil contoh
kasus bagaimana rektor mengundang militer untuk mengadang aksi mahasiswa,
Darmaningtyas, dalam Pendidikan yang Memiskinkan (2004), menyatakan bahwa
rektor “sebagai jabatan politis tidak lagi menjadi pengendali tunggal
kampus.” Mereka “hanya merupakan bagian kecil dari mesin kekuasaan yang
digerakkan oleh penguasa.” ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar