Minggu, 25 Juli 2021

 

Menjadi Rumah bagi Anak-anak Yatim Korban Pandemi

Neli Triana ;  Wartawan Kompas, Penulis kolom “Catatan Urban”

KOMPAS, 24 Juli 2021

 

 

                                                           

Resah hati membaca hasil riset The Lancet yang baru saja dipublikasikan. Jurnal independen yang setiap pekan memublikasikan hasil riset medis tersebut memaparkan, sejak 1 Maret 2020 hingga 30 April 2021, secara global diperkirakan ada 1.562.000 anak kehilangan setidaknya satu orangtua yang meninggal karena Covid-19.

 

Laura B Rawlings dan Susan Hillis, dua anggota tim periset yang hasil kerjanya diunggah di The Lancet, menyatakan, bahkan sampai akhir Juni 2021, diperkirakan ada sekitar 2 juta anak di bawah usia 18 tahun yang kehilangan ayah, ibu, dan/atau kakek nenek pengasuh mereka karena Covid-19. Mereka menambahkan, rata-rata pada setiap kematian dua orang dewasa, akan ada satu anak-anak yang terdampak.

 

”Ini adalah warisan tragis pandemi Covid-19. Namun, sampai sekarang, isu ini masih tidak terlihat,” tulis Rawlings dan Hillis dalam artikelnya di World Bank Blogs, 20 Juli lalu. Warisan yang sama sekali tidak diinginkan dan sayangnya masih dapat bertambah jumlahnya seiring laju penularan yang tetap mengganas belakangan ini.

 

Kedua peneliti itu tergabung dalam tim yang beranggotakan para akademisi dari Harvard University, Imperial College London, Oxford University, University College London, dan the University of Cape Town serta praktisi dari the US Centers for Disease Control and Prevention (CDC), USAID, Bank Dunia, dan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), juga kelompok masyarakat sipil, seperti Maestral International dan World Without Orphans. Mereka meneliti anak-anak korban pandemi di 21 negara penyumbang 70 persen kasus Covid-19 di dunia.

 

Indonesia memang bukan menjadi bagian dari negara sasaran penelitian tim Rawlings dan Hillis. Namun, bukan berarti tidak ada anak-anak yang menjadi korban pandemi di sini.

 

Sampai Jumat (23/7/2021) yang bertepatan dengan peringatan Hari Anak Nasional, tercatat hampir 570.000 kasus aktif di Indonesia dengan akumulasi lebih dari 3 juta orang terpapar Covid-19 selama pandemi. Ada 1.566 tambahan kasus kematian pada hari itu yang berarti total ada 80.598 kematian karena terinfeksi SARS-CoV-2. Ikatan Dokter Anak Indonesia, seperti dikutip dari Kompas.id, menyebutkan, kasus kematian anak akibat Covid-19 di Indonesia mencapai 12,5 persen atau 1 dari 8 kematian menimpa anak usia 0-18 tahun.

 

Dengan perkiraan kematian anak-anak sekitar 10.000 kasus, maka mengacu persentase itu, ada lebih dari 70.000 kasus kematian orang dewasa di negeri ini. Menggunakan dasar perhitungan tim Rawlings dan Hillis, setidaknya ada 35.000 anak di Indonesia terdampak akibat kematian orang-orang dewasa itu.

 

Dari pemberitaan di Kompas.com, Kamis (23/7/2021), misalnya, dikabarkan tentang Vino (10) yang kini sebatang kara setelah orangtuanya meninggal karena Covid-19. Vino yang juga positif korona kini harus isolasi mandiri sendirian di rumahnya di Kutai Barat, Kalimantan Timur. Sebelumnya, pemberitaan serupa dari berbagai media massa telah muncul di beberapa daerah lain.

 

Peringatan dini

 

Rentannya anak-anak Nusantara, baik karena terpapar langsung oleh virus korona jenis baru dengan varian-variannya maupun terdampak efek samping wabah global ini, sejak tahun lalu sudah didengungkan banyak lembaga riset. United Nations Children’s Fund (Unicef) secara khusus membuat pernyataan berjudul ”Covid-19 dan Anak-Anak di Indonesia, Agenda Tindakan untuk Mengatasi Tantangan Sosial Ekonomi” pada 11 Mei 2020.

 

Laporan tersebut muncul hanya berselang sekitar dua bulan setelah kasus aktif Covid-19 pertama yang ditemukan di Depok, Jawa Barat, 2 Maret 2020. Pernyataan Unicef menyajikan gambaran dampak sosio-ekonomi terhadap anak-anak di Indonesia yang ditimbulkan pandemi dan berbagai upaya yang disarankan mengantisipasinya. Secara khusus, dampak kepada anak-anak meliputi kemiskinan, pembelajaran, pemenuhan gizi, serta pengasuhan dan keamanan.

 

Unicef, mengutip Bank Dunia, menyatakan bahwa pada 2019 saja baru 52 juta dari sekitar 270 juta penduduk Indonesia yang bisa dianggap memiliki pendapatan aman atau memadai. Saat Covid-19 menerjang, satu demi satu pekerjaan dilumpuhkan dan tingkat kemiskinan pun meningkat.

 

Pada April 2020, ketika pembatasan mobilitas warga tahap pertama diterapkan, angka pengangguran melonjak, terutama di kawasan perkotaan. Unicef merujuk survei daring J-PAL Asia Tenggara pada 6-8 April tahun lalu yang menyatakan, 55 persen laki-laki dan 57 persen perempuan yang sebelumnya bekerja serentak kehilangan mata pencariannya.

 

Unicef menekankan, sebelum pandemi, lebih dari separuh anak-anak negeri ini sudah kekurangan di sedikitnya dua aspek kesejahteraan anak, di antaranya akses pada makanan dan gizi, kesehatan, pendidikan, perumahan, air dan sanitasi, serta perlindungan anak. Setelah pagebluk yang berkepanjangan dan lonjakan angka pengangguran, masalah ini berpotensi memburuk.

 

Dari sisi keamanan dan pengasuhan di dalam keluarga, anak-anak kini kian terancam. Pada 2018, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak-anak merilis data 60 persen anak usia 13-17 tahun pernah mengalami kekerasan psikis, fisik, dan seksual selama hidupnya.

 

Unicef memaparkan, ketika orangtua atau orang dewasa pengasuh anak-anak dalam keluarga terdampak Covid-19, baik karena penghasilannya terusik, sakit, maupun meninggal, dapat menggiring satu keluarga masuk dalam situasi berbeda yang bisa berbuntut kekerasan pada anak.

 

Potensi kekerasan pada anak itu termasuk penelantaran anak. Penelantaran bisa terjadi, antara lain, karena kesulitan mengasuh anak ketika orangtua atau pengasuh utama tidak berpenghasilan, juga jika tiba-tiba menjadi orangtua tunggal. Bisa pula akibat anak tiba-tiba harus berpindah pengasuhan karena orangtua meninggal dan belum tentu sanak keluarga ataupun lembaga yang menerimanya mampu mengurusnya dengan baik.

 

Estimasi Unicef berdasarkan Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2019, sekitar 8,2 juta anak dirawat pengasuh lanjut usia sehingga berisiko lebih tinggi kehilangan pengasuh akibat korona. Jumlah anak-anak yang dirawat kakek-nenek mereka cukup tinggi, terutama di Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat.

 

Selain itu, 7,6 juta anak tinggal di rumah tangga yang dikepalai perempuan dan 150.000 rumah tangga yang dikepalai anak muda di bawah usia 20 tahun. Anak-anak itu lebih rentan mengalami kekerasan, pelecehan, dan kemiskinan. Rumah tangga tersebut kini memiliki probabilitas lebih tinggi untuk jatuh lebih miskin, yang berarti pengasuh anak-anak mengalami beban sosial dan ekonomi makin berat.

 

Siapkan antisipasi

 

Baik Unicef, Bank Dunia, maupun terkini dari tim Rawlings-Hillis menyatakan, setiap negara dan di level daerah, termasuk kota-kota tempat yang paling banyak dihuni anak-anak di masa kini, patut serius menyikapi isu anak-anak terdampak pandemi ini. Jika tidak segera ada tindakan khusus, pandemi dapat beralih menjadi krisis pemenuhan hak anak dengan dampak jangka panjang. Cita-cita luhur setiap bangsa, termasuk Indonesia, untuk mewujudkan kesejahteraan bagi semua warganya, bisa jadi urung tercapai.

 

Ketiga pihak itu pun mendorong program perlindungan sosial yang sudah ada untuk rumah tangga berpendapatan rendah dan kelompok-kelompok rentan (orang-orang lanjut usia dan penyandang disabilitas) diperluas lagi cakupan serta besaran tunjangannya. Di Indonesia, dengan perkiraan kasar untuk kebutuhan sehari-hari setiap orang minimal Rp 25.000, maka setiap rumah tangga dengan empat anggota butuh bantuan setidaknya Rp 3 juta per bulan. Ini belum termasuk kebutuhan terkait kegiatan belajar formal dan fasilitas kesehatan.

 

Peran pemerintah daerah krusial karena setiap programnya akan bersentuhan langsung dengan warga yang membutuhkan. Untuk itu, pemda wajib memiliki visi jangka panjang pada sistem perlindungan sosial dengan perencanaan dan penganggaran yang lebih baik serta responsif selama krisis. Selain adanya sistem yang baik dan dapat diterapkan serta dioperasikan secara berkelanjutan, dukungan pendanaan yang memadai juga amat penting.

 

Data anak ataupun rumah tangga rentan yang valid dan berkala dimutakhirkan menjadi kunci program dapat terealisasi tepat sasaran. Perhitungan pendanaan pun dapat lebih pasti dilakukan sehingga makin menutup celah potensi disalahgunakan.

 

Memang, tangan pemerintah pusat dan daerah kurang panjang dalam mengatasi masalah anak-anak, terlebih di masa pandemi yang memicu berbagai masalah berat di luar isu kesehatan. Terkait hal ini, pemerintah selalu bisa memanggil dan merangkul warganya, korporasi, serta lembaga-lembaga independen dari dalam ataupun luar negeri untuk bersama-sama bergerak.

 

Selama ini, sudah ada banyak lembaga pemerintah dan swasta, juga inisiatif akar rumput, yang fokus melindungi anak, baik di bidang pendidikan, kesehatan, pencegahan kekerasan seksual, dan lainnya.

 

Kini, waktunya kembali membunyikan sirene merapatkan barisan, memperbarui strategi dengan memperhitungkan perkembangan di era korona, demi menyelamatkan anak-anak dan masa depannya. Pastikan ketersediaan rumah yang menerima anak-anak dengan hangat dan melindungi hak-hak mereka yang tak lain adalah masa depan kita sendiri. Masa depan bangsa dan dunia.

 

Selamat Hari Anak Nasional. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar