Menjadi
Rumah bagi Anak-anak Yatim Korban Pandemi Neli Triana ; Wartawan Kompas, Penulis kolom “Catatan
Urban” |
KOMPAS, 24 Juli 2021
Resah
hati membaca hasil riset The Lancet yang baru saja dipublikasikan. Jurnal
independen yang setiap pekan memublikasikan hasil riset medis tersebut
memaparkan, sejak 1 Maret 2020 hingga 30 April 2021, secara global
diperkirakan ada 1.562.000 anak kehilangan setidaknya satu orangtua yang
meninggal karena Covid-19. Laura
B Rawlings dan Susan Hillis, dua anggota tim periset yang hasil kerjanya
diunggah di The Lancet, menyatakan, bahkan sampai akhir Juni 2021,
diperkirakan ada sekitar 2 juta anak di bawah usia 18 tahun yang kehilangan
ayah, ibu, dan/atau kakek nenek pengasuh mereka karena Covid-19. Mereka
menambahkan, rata-rata pada setiap kematian dua orang dewasa, akan ada satu
anak-anak yang terdampak. ”Ini
adalah warisan tragis pandemi Covid-19. Namun, sampai sekarang, isu ini masih
tidak terlihat,” tulis Rawlings dan Hillis dalam artikelnya di World Bank
Blogs, 20 Juli lalu. Warisan yang sama sekali tidak diinginkan dan sayangnya
masih dapat bertambah jumlahnya seiring laju penularan yang tetap mengganas
belakangan ini. Kedua
peneliti itu tergabung dalam tim yang beranggotakan para akademisi dari
Harvard University, Imperial College London, Oxford University, University
College London, dan the University of Cape Town serta praktisi dari the US
Centers for Disease Control and Prevention (CDC), USAID, Bank Dunia, dan
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), juga kelompok masyarakat sipil, seperti
Maestral International dan World Without Orphans. Mereka meneliti anak-anak
korban pandemi di 21 negara penyumbang 70 persen kasus Covid-19 di dunia. Indonesia
memang bukan menjadi bagian dari negara sasaran penelitian tim Rawlings dan
Hillis. Namun, bukan berarti tidak ada anak-anak yang menjadi korban pandemi
di sini. Sampai
Jumat (23/7/2021) yang bertepatan dengan peringatan Hari Anak Nasional,
tercatat hampir 570.000 kasus aktif di Indonesia dengan akumulasi lebih dari
3 juta orang terpapar Covid-19 selama pandemi. Ada 1.566 tambahan kasus
kematian pada hari itu yang berarti total ada 80.598 kematian karena
terinfeksi SARS-CoV-2. Ikatan Dokter Anak Indonesia, seperti dikutip dari
Kompas.id, menyebutkan, kasus kematian anak akibat Covid-19 di Indonesia
mencapai 12,5 persen atau 1 dari 8 kematian menimpa anak usia 0-18 tahun. Dengan
perkiraan kematian anak-anak sekitar 10.000 kasus, maka mengacu persentase
itu, ada lebih dari 70.000 kasus kematian orang dewasa di negeri ini.
Menggunakan dasar perhitungan tim Rawlings dan Hillis, setidaknya ada 35.000
anak di Indonesia terdampak akibat kematian orang-orang dewasa itu. Dari
pemberitaan di Kompas.com, Kamis (23/7/2021), misalnya, dikabarkan tentang
Vino (10) yang kini sebatang kara setelah orangtuanya meninggal karena
Covid-19. Vino yang juga positif korona kini harus isolasi mandiri sendirian
di rumahnya di Kutai Barat, Kalimantan Timur. Sebelumnya, pemberitaan serupa
dari berbagai media massa telah muncul di beberapa daerah lain. Peringatan dini Rentannya
anak-anak Nusantara, baik karena terpapar langsung oleh virus korona jenis
baru dengan varian-variannya maupun terdampak efek samping wabah global ini,
sejak tahun lalu sudah didengungkan banyak lembaga riset. United Nations
Children’s Fund (Unicef) secara khusus membuat pernyataan berjudul ”Covid-19
dan Anak-Anak di Indonesia, Agenda Tindakan untuk Mengatasi Tantangan Sosial
Ekonomi” pada 11 Mei 2020. Laporan
tersebut muncul hanya berselang sekitar dua bulan setelah kasus aktif
Covid-19 pertama yang ditemukan di Depok, Jawa Barat, 2 Maret 2020.
Pernyataan Unicef menyajikan gambaran dampak sosio-ekonomi terhadap anak-anak
di Indonesia yang ditimbulkan pandemi dan berbagai upaya yang disarankan
mengantisipasinya. Secara khusus, dampak kepada anak-anak meliputi
kemiskinan, pembelajaran, pemenuhan gizi, serta pengasuhan dan keamanan. Unicef,
mengutip Bank Dunia, menyatakan bahwa pada 2019 saja baru 52 juta dari sekitar
270 juta penduduk Indonesia yang bisa dianggap memiliki pendapatan aman atau
memadai. Saat Covid-19 menerjang, satu demi satu pekerjaan dilumpuhkan dan
tingkat kemiskinan pun meningkat. Pada
April 2020, ketika pembatasan mobilitas warga tahap pertama diterapkan, angka
pengangguran melonjak, terutama di kawasan perkotaan. Unicef merujuk survei
daring J-PAL Asia Tenggara pada 6-8 April tahun lalu yang menyatakan, 55
persen laki-laki dan 57 persen perempuan yang sebelumnya bekerja serentak
kehilangan mata pencariannya. Unicef
menekankan, sebelum pandemi, lebih dari separuh anak-anak negeri ini sudah
kekurangan di sedikitnya dua aspek kesejahteraan anak, di antaranya akses
pada makanan dan gizi, kesehatan, pendidikan, perumahan, air dan sanitasi,
serta perlindungan anak. Setelah pagebluk yang berkepanjangan dan lonjakan
angka pengangguran, masalah ini berpotensi memburuk. Dari
sisi keamanan dan pengasuhan di dalam keluarga, anak-anak kini kian terancam.
Pada 2018, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak-anak merilis data 60
persen anak usia 13-17 tahun pernah mengalami kekerasan psikis, fisik, dan
seksual selama hidupnya. Unicef
memaparkan, ketika orangtua atau orang dewasa pengasuh anak-anak dalam
keluarga terdampak Covid-19, baik karena penghasilannya terusik, sakit,
maupun meninggal, dapat menggiring satu keluarga masuk dalam situasi berbeda
yang bisa berbuntut kekerasan pada anak. Potensi
kekerasan pada anak itu termasuk penelantaran anak. Penelantaran bisa
terjadi, antara lain, karena kesulitan mengasuh anak ketika orangtua atau
pengasuh utama tidak berpenghasilan, juga jika tiba-tiba menjadi orangtua
tunggal. Bisa pula akibat anak tiba-tiba harus berpindah pengasuhan karena
orangtua meninggal dan belum tentu sanak keluarga ataupun lembaga yang menerimanya
mampu mengurusnya dengan baik. Estimasi
Unicef berdasarkan Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2019, sekitar 8,2
juta anak dirawat pengasuh lanjut usia sehingga berisiko lebih tinggi
kehilangan pengasuh akibat korona. Jumlah anak-anak yang dirawat kakek-nenek
mereka cukup tinggi, terutama di Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat. Selain
itu, 7,6 juta anak tinggal di rumah tangga yang dikepalai perempuan dan
150.000 rumah tangga yang dikepalai anak muda di bawah usia 20 tahun.
Anak-anak itu lebih rentan mengalami kekerasan, pelecehan, dan kemiskinan.
Rumah tangga tersebut kini memiliki probabilitas lebih tinggi untuk jatuh
lebih miskin, yang berarti pengasuh anak-anak mengalami beban sosial dan
ekonomi makin berat. Siapkan antisipasi Baik
Unicef, Bank Dunia, maupun terkini dari tim Rawlings-Hillis menyatakan,
setiap negara dan di level daerah, termasuk kota-kota tempat yang paling
banyak dihuni anak-anak di masa kini, patut serius menyikapi isu anak-anak
terdampak pandemi ini. Jika tidak segera ada tindakan khusus, pandemi dapat
beralih menjadi krisis pemenuhan hak anak dengan dampak jangka panjang.
Cita-cita luhur setiap bangsa, termasuk Indonesia, untuk mewujudkan
kesejahteraan bagi semua warganya, bisa jadi urung tercapai. Ketiga
pihak itu pun mendorong program perlindungan sosial yang sudah ada untuk
rumah tangga berpendapatan rendah dan kelompok-kelompok rentan (orang-orang
lanjut usia dan penyandang disabilitas) diperluas lagi cakupan serta besaran
tunjangannya. Di Indonesia, dengan perkiraan kasar untuk kebutuhan
sehari-hari setiap orang minimal Rp 25.000, maka setiap rumah tangga dengan
empat anggota butuh bantuan setidaknya Rp 3 juta per bulan. Ini belum
termasuk kebutuhan terkait kegiatan belajar formal dan fasilitas kesehatan. Peran
pemerintah daerah krusial karena setiap programnya akan bersentuhan langsung
dengan warga yang membutuhkan. Untuk itu, pemda wajib memiliki visi jangka
panjang pada sistem perlindungan sosial dengan perencanaan dan penganggaran
yang lebih baik serta responsif selama krisis. Selain adanya sistem yang baik
dan dapat diterapkan serta dioperasikan secara berkelanjutan, dukungan
pendanaan yang memadai juga amat penting. Data
anak ataupun rumah tangga rentan yang valid dan berkala dimutakhirkan menjadi
kunci program dapat terealisasi tepat sasaran. Perhitungan pendanaan pun
dapat lebih pasti dilakukan sehingga makin menutup celah potensi
disalahgunakan. Memang,
tangan pemerintah pusat dan daerah kurang panjang dalam mengatasi masalah
anak-anak, terlebih di masa pandemi yang memicu berbagai masalah berat di
luar isu kesehatan. Terkait hal ini, pemerintah selalu bisa memanggil dan
merangkul warganya, korporasi, serta lembaga-lembaga independen dari dalam
ataupun luar negeri untuk bersama-sama bergerak. Selama
ini, sudah ada banyak lembaga pemerintah dan swasta, juga inisiatif akar
rumput, yang fokus melindungi anak, baik di bidang pendidikan, kesehatan,
pencegahan kekerasan seksual, dan lainnya. Kini,
waktunya kembali membunyikan sirene merapatkan barisan, memperbarui strategi
dengan memperhitungkan perkembangan di era korona, demi menyelamatkan
anak-anak dan masa depannya. Pastikan ketersediaan rumah yang menerima
anak-anak dengan hangat dan melindungi hak-hak mereka yang tak lain adalah
masa depan kita sendiri. Masa depan bangsa dan dunia. Selamat
Hari Anak Nasional. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar