Minggu, 25 Juli 2021

 

Dirjenbud Depdikbud Dag-dig-dug

Budiman Tanuredjo ;  Wartawan Senior Kompas

KOMPAS, 24 Juli 2021

 

 

                                                           

Judul itu saya ambil dari harian Kompas, 1 Februari 1984, ditulis wartawan Kompas Rudy Badil. Badil menulis kunjungan Direktur Jenderal Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Prof Dr Haryati Soebadio ke Banten. Ada pertunjukan debus di sana. Haryati cemas dan khawatir melihat debus. Secara  demonstratif, Badil membuat judul full akronim.

 

Daniel Dhakidae dalam buku Cendekiawan dan Kekuasaan (2003) menulis, cara  Badil menulis judul  full akronim sebagai bentuk resistensi komikal melawan membanjirnya akronim yang diproduksi Orde Baru. Judul Badil memamerkan seluruh gegap gempita perpaduan bunyi yang membawa efek dahsyat onomatopeik yang secara tepat mendeskripsikan debus Banten.

 

Judul itu tentu membingungkan pembaca karena mengacaukan semua konvensi. Masa pandemi Covid-19 juga memproduksi akronim dan singkatan. Singkatan terbaru yang diperkenalkan adalah PPKM (pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat) level 1-4. PPKM berlevel ini menggantikan PPKM darurat. PPKM darurat menggantikan PPKM mikro. PPKM mikro menggantikan PSBB (pembatasan sosial berskala besar). Ada juga 3M, kemudian menjadi 6M. Ada juga 3T (testing, tracing, dan treatment).

 

Kebijakan dalam bentuk akronim dan singkatan berganti, tapi kasus positif terus meninggi. Data menunjukkan, tingkat penularan kian cepat. Untuk 1 juta kasus positif pertama (2 Maret 2020-26 Januari 2021) butuh 331 hari. Kemudian, butuh 147 hari lagi untuk menembus 2 juta. Dan, butuh 31 hari untuk menyentuh 3 juta kasus positif.

 

Kebijakan dengan akronim dan singkatan tidak otomatis langsung dipahami pelaksana di lapangan, apalagi rakyat. Akibatnya, muncul oversimplifikasi, ”hanya menjalankan tugas”, untuk menutup lapak kaki lima. Juga tidak terlalu mudah memahami PPKM berlevel dengan segala kriteria yang cukup rumit. Situasi kedaruratan Covid-19 sejalan dengan PPKM darurat, tetapi kebijakan itu diganti dengan PPKM berlevel.

 

Kebijakan dengan akronim baru terasa memukau. Namun, jangan-jangan substansinya hanya dipahami pejabat pembuat. Pejabat ditempatkan sebagai sumber kebijakan, sumber pengetahuan. Sayangnya, pembuat kebijakan jarang muncul menjelaskan kepada publik menyosialisasikan teks dan konteks kebijakan PPKM berlevel. Akibatnya, penafsiran berkembang liar. Meminjam istilah Sutan Takdir Alisjahbana yang dikutip Dhaniel Dhakidae, mengibaratkan bahasa Indonesia dalam puisi seperti ”kegirangan sahut-menyahut kicauan burung-burung di hutan”. Begitu merdu didengar, diperdebatkan, tapi tidak ada yang tahu apa maksudnya.

 

Dalam praktiknya, penyampai pesan kadang terlalu berimprovisasi. Lihat saja kesemrawutan komunikasi menjelang berakhirnya PPKM darurat pada 3-20 Juli 2021. Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy mengatakan, PPKM darurat diperpanjang hingga akhir Juli 2021. Bahkan, ditambahi ilustrasi soal status ”darurat militer” meski tidak di-declare pemerintah.

 

Keesokan harinya, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Pandjaitan mengatakan, perpanjangan PPKM darurat baru ditentukan Presiden Jokowi dua-tiga hari ke depan. Dan, tepat 20 Juli 2021, saat berakhirnya PPKM darurat, Presiden Jokowi mengumumkan PPKM diperpanjang hingga 25 Juli dan jika ada penurunan tingkat penularan, 26 Juli 2021 akan ada pengenduran. Pesan-pesan yang disampaikan boleh jadi tidak salah, tapi tidak utuh.

 

Kebingungan baru berpotensi kembali terjadi. Wakil Presiden Ma’ruf Amin dalam arahannya kepada kepala daerah, antara lain, mengatakan, ”Soal penggunaan antigen dan PCR (polymerase chain reaction). Kalau saya amati, antigen itu positivity rate-nya rendah. Jangan terlalu banyak antigen.”

 

Komentar warganet beragam karena kurang jelasnya maksud Wapres Amin. Apakah yang dimaksud Wapres Amin tidak perlu lagi menggunakan tes usap atau swab antigen tapi langsung menggunakan tes PCR. Harga PCR masih mahal dan memakan waktu beberapa hari. Ada juga kisruh soal data vaksin dan kecepatan vaksinasi di sejumlah daerah.

 

Presiden Jokowi menyadari kelemahan komunikasi yang ada. ”Jangan sampai masyarakat frustrasi gara-gara kesalahan kita dalam komunikasi, kesalahan kita dalam menjalankan policy,” kata Presiden Jokowi, 17 Juli 2021.

 

Pernyataan Presiden Jokowi benar. Komunikasi menjadi salah satu faktor penentu keberhasilan penanganan pandemi. Di negeri ini, ada kesan, jika ada kasus besar dan menjadi agenda publik, semua pejabat menghindar untuk menjelaskan dan membiarkan publik menafsirkan sendiri. Sebaliknya, dalam kasus lain, semua pejabat berbicara, semua juru bicara berbicara, semua humas bicara, para komentator bicara dalam bahasa sendiri-sendiri. Akibatnya, kebingungan terjadi.

 

Selain pengendalian pandemi di hulu dan hilir, dengan segala derivasi permasalahannya, saatnya ada juru bicara pemerintah tunggal yang memimpin tim komunikasi. Juru bicara yang kredibel dan jujur, dipercaya publik karena otoritasnya, menguasai data dan permasalahan, punya empati terhadap derita warga, serta punya rekam jejak ”tidak pernah berbohong”. Juru bicara yang  jujur menyampaikan fakta, mengingatkan adanya kegentingan, tapi juga menawarkan harapan dan menegaskan bahwa negara hadir.

 

Informasi kredibel pemerintah itu penting untuk menanggapi terjadinya ledakan informasi (information explotion) yang bisa mengakibatkan kecemasan (information anxiety). Komunikasi pemerintah harus dilandasi pemahaman realitas empirik psikologi masyarakat yang berada pada posisi kejengkelan sosial (social resentment) terhadap kebijakan pandemi dan pola komunikasi tak berempati. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar