Minggu, 25 Juli 2021

 

Pemimpin di Masa Krisis Pandemi Covid-19

Adjie Suradji ;  Alumnus Fakultas Sains Universitas Karachi, Pakistan

KOMPAS, 25 Juli 2021

 

 

                                                           

Covid-19, realitasnya telah memorak-porandakan kehidupan masyarakat dunia—termasuk masyarakat Indonesia. Segala aspek kehidupan, mulai sektor pendidikan, pariwisata, politik, sosial, budaya, hingga ekonomi dan bahkan demokrasi harus beradaptasi dengan konsep kebiasaan dan tatanan baru (new normal).

 

Pandemi Covid-19 adalah ujian bagi pemimpin. Pemimpin berkualitas diharap bisa tampil. Kualitas memiliki ciri utama; kemampuan berinovasi, memiliki kreativitas tinggi, dan kemampuan menghadapi krisis (ability to deal with crisis).

 

Kemampuan menghadapi krisis bisa diartikan sebagai kemampuan seorang pemimpin dalam merespons kondisi lingkungan yang dinamis dengan melibatkan seluruh unsur dalam organisasinya untuk beradaptasi dan juga berkolaborasi guna menghadapi krisis yang terjadi (Crisis Leadership: The Art of Adapting to Extreme Event; Joseph W Pfeifer, 2013).

 

Kepemimpinan progresif

 

Menjadi pemimpin di masa krisis (Covid-19) tak cukup hanya mengandalkan kredibilitas, integritas, dan prasyarat norma-norma kepemimpinan yang cenderung hanya menciptakan kenyamanan tempat kerja yang penuh nilai semata.

 

Diperlukan karakteristik progresif yang terekspresikan dalam lima ciri. Pertama, keteladanan, bukan pamer kekayaan dan kegemaran mempertontonkan kepiawian merangkai narasi politik. Kedua, selalu melibatkan orang yang dipimpinnya menjadi bagian dari pencapaian visi, misi, tujuan, dan sasaran.

 

Ketiga, berkonsep out of the box thinking atau kemampuan berpikir tajam, kritis, dan kreatif, atau mampu menciptakan gagasan baru di luar kebiasaan yang ada. Keempat, mampu menciptakan harmonisasi lingkungan sosial berdasar kolaborasi dan akuntabilitas yang melahirkan inovasi, dan improvisasi. Kelima, terbuka, peka terhadap lingkungan (empati), informatif, kreatif, dan menghargai kompetensi dalam penciptaan lapangan kerja.

 

Jika didasarkan pada lima ciri tersebut, dikaitkan dengan model seleksi kepemimpinan yang masih terjebak sistem demokrasi padat modal dan mobokrasi, pemimpin yang memiliki karakteristik progresif di Indonesia jumlahnya bisa dihitung dengan jari.

 

Beberapa penanda di antaranya banyaknya pemimpin yang harus mengakhiri masa jabatannya secara tak terhormat karena menjadi pesakitan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan gagap ketika dihadapkan pada situasi krisis. Citra buruk yang melahirkan krisis kepercayaan rakyat.

 

Dalam kehidupan berpolitik, kepercayaan rakyat adalah mutlak. Jika asas tersebut bisa diandalkan maka ke depan, bangsa Indonesia harus merestrukturisasi iklim perpolitikan yang tak sehat ini. Iklim perpolitikan demokrasi padat modal atau dalam budaya plutokrasi tak hanya melahirkan konsep pemerintahan homogen, tetapi juga eksisnya pemimpin yang tak kredibel, tak bisa dipercaya atau cacat (moral).

 

Dan, hanya pemimpin progresif, peka akan perubahan yang bisa membawa atau membangun kembali kepercayaan (rakyat).

 

Membangun (kembali) kepercayaan

 

Membangun (kembali) kepercayaan (rakyat) tak mudah. Ada hal penting yang harus dilakukan para pemimpin (progresif) untuk membangun kepercayaan di masa krisis ini, yaitu improvisasi dan inovasi tindakan.

 

Artinya, (pemimpin) tak terpaku pada rutinitas, prosedur birokrat yang berbelit, dan penanganan masalah secara klasik. Karena yang diperlukan adalah tindakan, antisipasi pencegahan reaksi berlebihan, dan konsep kebijakan dalam rangka menghadapi tantangan ke depan.

 

Dalam krisis yang penuh ketidakpastian akan selalu muncul masalah baru yang tak sesuai dengan struktur command and control dan pola top-down.

 

Seperti, siapa yang menyangka akan muncul masalah korupsi dana bantuan sosial (bansos)? Terjadi lonjakan kasus Covid-19? Stok oksigen kritis? Perlunya rumah sakit darurat? Banyak tenaga kesehatan yang meninggal? Hingga lahan pemakaman penuh karena tingkat kematian yang tinggi?

 

Masalah-masalah baru ini membutuhkan respons cepat dan tepat berdasar prioritas dalam batasan efektifitas kerja. Masalah (baru), terutama yang bersifat insidental (emergency), cara penyelesaiannya pun tak bisa harus lewat prosedur birokrat yang berbelit. Selain itu, perlindungan terhadap pekerja medis (protection of medical workers), stabilisasi rantai pasokan obat/vaksin (supplychain stabilization), interaksi dengan penderita (interaction with patiens), hingga perhitungan dana yang diperlukan (calculation of the required funds) harus pula diperhatikan.

 

Di masa krisis, pemimpin progresif harus bisa beradaptasi dengan cepat, memahami situasi dan cara penanganannya secara rasionalitas, prioritas dan mampu melakukan eksekusi, walau di bawah tekanan. Karena, salah satu karakter pemimpin progresif adalah sikap tenang (deliberate calm) atau kemampuan melepaskan diri dari kecemasan, sebagai dasar menciptakan kejernihan berpikir untuk mengendalikan situasi.

 

Terjadinya lonjakan kasus Covid-19 belakangan ini cukup mengkhawatirkan. Meskipun hal sama juga terjadi di negara lain, tetapi itu tak bisa digunakan sebagai alasan kaitannya dengan profesionalitas kerja dalam menangani pandemi Covid-19.

 

Kegaduhan yang terjadi dalam masyarakat menyusul penerapan dan perpanjangan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) darurat adalah manusiawi oleh sebab itu perlu disikapi secara arif dan bijak. Sosialisasi tentang penerapan protokol kesehatan (prokes) dan vaksinasi harus lebih dipropagandakan secara masif, terlebih pemerintah telah mengamankan stok vaksin sebanyak 480 juta dosis.

 

Jika kegaduhan masih terjadi, itu lebih disebabkan oleh iklim politik tak sehat. Sebab, Indonesia saat ini tengah dikelola oleh tiga komunitas elite politik yang berbeda.

 

Pertama: komunitas elite politik nasionalis, yang terus berjuang agar Indonesia menjadi negara merdeka dalam arti seutuhnya; merdeka yang mewadahi empat dimensi; fisik, mental, sosial emosional, dan spiritual.

 

Kedua, komunitas elite politik oportunis, yang memburu syahwat kekuasaan dan libido duniawi dengan mengatas namakan rakyat, bangsa, dan negara, lewat topeng demokrasi.

 

Ketiga, komunitas elite politik radikal, yang mengidap virus ”eskapisme” beragama akut karena ambisinya yang ingin menjadikan Indonesia sebagai negara teokrasi—bukan demokrasi.

 

Jika belakangan ini banyak orang tampil elegan, piawai mempertontonkan pidatonya dari atas menara gading, mencela dan mengkritik kinerja pemerintah, adalah hal wajar. Namun, momentum tersebut sekaligus bisa dijadikan penanda hal yang membedakan, antara tipologi (pemimpin) progresif dengan orang yang hanya merasa bisa menjadi pemimpin. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar