Pemimpin
di Masa Krisis Pandemi Covid-19 Adjie Suradji ; Alumnus Fakultas Sains Universitas Karachi,
Pakistan |
KOMPAS, 25 Juli 2021
Covid-19,
realitasnya telah memorak-porandakan kehidupan masyarakat dunia—termasuk
masyarakat Indonesia. Segala aspek kehidupan, mulai sektor pendidikan,
pariwisata, politik, sosial, budaya, hingga ekonomi dan bahkan demokrasi
harus beradaptasi dengan konsep kebiasaan dan tatanan baru (new normal). Pandemi
Covid-19 adalah ujian bagi pemimpin. Pemimpin berkualitas diharap bisa
tampil. Kualitas memiliki ciri utama; kemampuan berinovasi, memiliki
kreativitas tinggi, dan kemampuan menghadapi krisis (ability to deal with
crisis). Kemampuan
menghadapi krisis bisa diartikan sebagai kemampuan seorang pemimpin dalam
merespons kondisi lingkungan yang dinamis dengan melibatkan seluruh unsur
dalam organisasinya untuk beradaptasi dan juga berkolaborasi guna menghadapi
krisis yang terjadi (Crisis Leadership: The Art of Adapting to Extreme Event;
Joseph W Pfeifer, 2013). Kepemimpinan progresif Menjadi
pemimpin di masa krisis (Covid-19) tak cukup hanya mengandalkan kredibilitas,
integritas, dan prasyarat norma-norma kepemimpinan yang cenderung hanya
menciptakan kenyamanan tempat kerja yang penuh nilai semata. Diperlukan
karakteristik progresif yang terekspresikan dalam lima ciri. Pertama,
keteladanan, bukan pamer kekayaan dan kegemaran mempertontonkan kepiawian
merangkai narasi politik. Kedua, selalu melibatkan orang yang dipimpinnya
menjadi bagian dari pencapaian visi, misi, tujuan, dan sasaran. Ketiga,
berkonsep out of the box thinking atau kemampuan berpikir tajam, kritis, dan
kreatif, atau mampu menciptakan gagasan baru di luar kebiasaan yang ada.
Keempat, mampu menciptakan harmonisasi lingkungan sosial berdasar kolaborasi
dan akuntabilitas yang melahirkan inovasi, dan improvisasi. Kelima, terbuka,
peka terhadap lingkungan (empati), informatif, kreatif, dan menghargai
kompetensi dalam penciptaan lapangan kerja. Jika
didasarkan pada lima ciri tersebut, dikaitkan dengan model seleksi
kepemimpinan yang masih terjebak sistem demokrasi padat modal dan mobokrasi,
pemimpin yang memiliki karakteristik progresif di Indonesia jumlahnya bisa
dihitung dengan jari. Beberapa
penanda di antaranya banyaknya pemimpin yang harus mengakhiri masa jabatannya
secara tak terhormat karena menjadi pesakitan Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) dan gagap ketika dihadapkan pada situasi krisis. Citra buruk yang
melahirkan krisis kepercayaan rakyat. Dalam
kehidupan berpolitik, kepercayaan rakyat adalah mutlak. Jika asas tersebut
bisa diandalkan maka ke depan, bangsa Indonesia harus merestrukturisasi iklim
perpolitikan yang tak sehat ini. Iklim perpolitikan demokrasi padat modal
atau dalam budaya plutokrasi tak hanya melahirkan konsep pemerintahan
homogen, tetapi juga eksisnya pemimpin yang tak kredibel, tak bisa dipercaya
atau cacat (moral). Dan,
hanya pemimpin progresif, peka akan perubahan yang bisa membawa atau
membangun kembali kepercayaan (rakyat). Membangun (kembali) kepercayaan Membangun
(kembali) kepercayaan (rakyat) tak mudah. Ada hal penting yang harus
dilakukan para pemimpin (progresif) untuk membangun kepercayaan di masa
krisis ini, yaitu improvisasi dan inovasi tindakan. Artinya,
(pemimpin) tak terpaku pada rutinitas, prosedur birokrat yang berbelit, dan
penanganan masalah secara klasik. Karena yang diperlukan adalah tindakan,
antisipasi pencegahan reaksi berlebihan, dan konsep kebijakan dalam rangka
menghadapi tantangan ke depan. Dalam
krisis yang penuh ketidakpastian akan selalu muncul masalah baru yang tak
sesuai dengan struktur command and control dan pola top-down. Seperti,
siapa yang menyangka akan muncul masalah korupsi dana bantuan sosial
(bansos)? Terjadi lonjakan kasus Covid-19? Stok oksigen kritis? Perlunya
rumah sakit darurat? Banyak tenaga kesehatan yang meninggal? Hingga lahan
pemakaman penuh karena tingkat kematian yang tinggi? Masalah-masalah
baru ini membutuhkan respons cepat dan tepat berdasar prioritas dalam batasan
efektifitas kerja. Masalah (baru), terutama yang bersifat insidental
(emergency), cara penyelesaiannya pun tak bisa harus lewat prosedur birokrat
yang berbelit. Selain itu, perlindungan terhadap pekerja medis (protection of
medical workers), stabilisasi rantai pasokan obat/vaksin (supplychain
stabilization), interaksi dengan penderita (interaction with patiens), hingga
perhitungan dana yang diperlukan (calculation of the required funds) harus
pula diperhatikan. Di
masa krisis, pemimpin progresif harus bisa beradaptasi dengan cepat, memahami
situasi dan cara penanganannya secara rasionalitas, prioritas dan mampu
melakukan eksekusi, walau di bawah tekanan. Karena, salah satu karakter
pemimpin progresif adalah sikap tenang (deliberate calm) atau kemampuan
melepaskan diri dari kecemasan, sebagai dasar menciptakan kejernihan berpikir
untuk mengendalikan situasi. Terjadinya
lonjakan kasus Covid-19 belakangan ini cukup mengkhawatirkan. Meskipun hal
sama juga terjadi di negara lain, tetapi itu tak bisa digunakan sebagai
alasan kaitannya dengan profesionalitas kerja dalam menangani pandemi
Covid-19. Kegaduhan
yang terjadi dalam masyarakat menyusul penerapan dan perpanjangan
pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) darurat adalah manusiawi
oleh sebab itu perlu disikapi secara arif dan bijak. Sosialisasi tentang
penerapan protokol kesehatan (prokes) dan vaksinasi harus lebih
dipropagandakan secara masif, terlebih pemerintah telah mengamankan stok
vaksin sebanyak 480 juta dosis. Jika
kegaduhan masih terjadi, itu lebih disebabkan oleh iklim politik tak sehat.
Sebab, Indonesia saat ini tengah dikelola oleh tiga komunitas elite politik
yang berbeda. Pertama:
komunitas elite politik nasionalis, yang terus berjuang agar Indonesia
menjadi negara merdeka dalam arti seutuhnya; merdeka yang mewadahi empat
dimensi; fisik, mental, sosial emosional, dan spiritual. Kedua,
komunitas elite politik oportunis, yang memburu syahwat kekuasaan dan libido
duniawi dengan mengatas namakan rakyat, bangsa, dan negara, lewat topeng
demokrasi. Ketiga,
komunitas elite politik radikal, yang mengidap virus ”eskapisme” beragama
akut karena ambisinya yang ingin menjadikan Indonesia sebagai negara
teokrasi—bukan demokrasi. Jika
belakangan ini banyak orang tampil elegan, piawai mempertontonkan pidatonya
dari atas menara gading, mencela dan mengkritik kinerja pemerintah, adalah
hal wajar. Namun, momentum tersebut sekaligus bisa dijadikan penanda hal yang
membedakan, antara tipologi (pemimpin) progresif dengan orang yang hanya
merasa bisa menjadi pemimpin. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar