Teladan
KH Muhammad Syamsul Arifin Istikamah Menjaga Bangsa Hasibullah Satrawi ; Alumni Al-Azhar, Kairo, Mesir; Pengamat
Politik Timur Tengah dan Dunia Islam |
KOMPAS, 29 Juli 2021
Kiai
Muhammad Syamsul Arifin. Demikian nama lengkap salah satu ulama sepuh asal
Madura yang meninggal pada 1 Juli lalu. Kiai Muhammad, demikian kami para
santri biasa memanggilnya, merupakan Pengasuh Pondok Pesantren Darul Ulum
Banyuanyar, Pamekasan, Madura. Selain sebagai pengasuh pondok pesantren, Kiai
Muhammad juga merupakan Wakil Ketua Majelis Syariah di salah satu partai
politik. Bagi
para santri dan sebagian masyarakat, Kiai Muhammad tak ubahnya sumur kebaikan
dan kebajikan yang senantiasa mengalir dan terus terbarukan (banyu, anyar).
Para santri dan sebagian masyarakat senantiasa menimba ilmu keislaman,
perjuangan kenegaraan, dan teladan kehidupan dari Kiai Muhammad. Ada
beberapa pesan dan keteladanan dari Kiai Muhammad yang senantiasa ditekankan
kepada para santri atau pun masyarakat yang menemuinya. Pertama, sikap
istikamah. Secara sederhana, istikamah bisa dimaknai sebagai mulazamatul
khair (menekuni kebaikan). Sikap istikamah tidak hanya diujarkan oleh Kiai
Muhammad, melainkan juga dicontohkan hampir dalam semua lini kehidupan
beliau. Dalam
kapasitasnya sebagai pengasuh, contohnya, Kiai Muhammad hampir tidak pernah
meninggalkan jadwal mengajar kitab kuning setelah salat fardhu, seperti
setelah shalat dhuhur, setelah shalat ashar dan setelah shalat maghrib.
Walaupun pada waktu yang hampir bersamaan ada acara lain di luar pondok,
tetapi Kiai Muhammad tetap mengutamakan dan mengupayakan agar bisa mulang
(mengajar kitab) di waktu-waktu yang ada. Hingga para santri tetap
mendapatkan pencerahan dari beliau. Berdasarkan
pengalaman penulis belajar di Pondok Pesantren Darul Ulum Banyuanyar (tahun
1990-an), Kiai Muhammad acap melakukan salat sunnah di tempat yang tetap
(tidak berubah-berubah), baik sunnah qabliyah ataupun sunnah ba’diyah. Hal
ini bisa dipahami bahwa Kiai Muhammad memberlakukan prinsip istikamah tidak
hanya dalam hal-hal prinsip (mabda’iy), melainkan juga dalam hal-hal yang
bersifat makaniy (tempat) dan zamany (waktu). Kedua,
berpolitik sebagai upaya untuk memperjuangkan kebaikan agama, bangsa, dan
negara. Sebagaimana disampaikan di atas, Kiai Muhammad aktif di salah satu
partai politik. Bahkan dahulu (waktu penulis di pondok), beliau juga datang
ke acara-acara kampanye yang diadakan oleh partai. Namun demikian, kesibukan
beliau dalam dunia politik tidak sampai mengorbankan jadwal-jadwal mengajar. Hal
tak kalah penting adalah Kiai Muhammad tidak menggunakan posisinya di dalam
partai politik untuk hal-hal yang bersifat pragmatis ataupun kepentingan
pribadi (jabatan, kekayaan, dan lainnya), melainkan untuk perjuangan yang
bersifat dakwah. Dalam
konteks seperti ini, perjuangan politik Kiai Muhammad sangat unik. Di satu
sisi, Kiai Muhammad tidak menjauhkan diri atau ‘uzlah dari partai politik
laiknya orang-orang yang anti terhadap politik atau pun kekuasaan. Tetapi di
sisi lain, Kiai Muhammad tidak terpengaruh ke dalam pragmatisme politik yang
cenderung koruptif, kolusif, dan manipulatif. Dengan
kata lain, selama ini telah banyak orang atau pun tokoh yang memilih untuk
menjauhkan diri dari dunia politik atau pun kekuasaan. Sebagaimana lebih
banyak lagi orang atau pun tokoh yang memilih untuk terjun ke dalam politik
atau pun kekuasaan. Tetapi sangat sedikit orang atau pun tokoh yang memilih
terjun ke dunia politik dengan tetap berpegang teguh pada prinsip-prinsip
politik adiluhung yang belakangan mulai menjadi makhluk langka, seperti
politik kerakyatan dan keumatan yang menjadikan kemaslahatan publik sebagai
poros sekaligus tujuan gerakan. Inilah jalan sunyi politik yang dipilih dan
dilalui oleh Kiai Muhammad Syamsul Arifin hampir sepanjang hayatnya. Apa
yang dikatakan oleh Jamal Al-Banna, adik kandung Hasan al-Banna, tidak
terbukti dalam konteks pengalaman dan pilihan politik Kiai Muhammad, yaitu
bahwa kekuasaan tak ubahnya api menyala (narun hamiyah) yang dapat membakar
(si)apa pun yang menyentuhnya secara langsung (Al-Islam Dinun wa Ummah wa
Laysa Dinan wa Dawlah, 2003: 129). Pun
demikian, pengalaman dan pilihan politik Kiai Muhammad tidak menimbulkan efek
traumatis seperti yang dilukiskan Muhammad Abduh dalam pernyataannya yang
sangat tersohor dengan mengutip salah satu Ayat Al-Quran (Qs. As-Saffat:
63-68) terkait makanan orang-orang ahli neraka yang dianalogikan dengan
politik; politik tak ubahnya pohon yang tumbuh di dasar neraka, mayangnya
seperti kepala-kepala syaitan dan seterusnya. Saking dalamnya trauma yang
dialaminya, Abduh sampai berlindung dari semua huruf yang dapat dirangkai
menjadi sebuah politik (siyasah) atau kalimat yang terdiri dari kata siyasah
(kekuasaan). Menariknya
adalah, pilihan politik Kiai Muhammad juga tidak terlepas dari nilai utama
yang sangat ditekankan oleh beliau, yaitu sikap istikamah. Sebagaimana
dimaklumi, partai politik yang diikuti telah menjadi pilihan politik para
pendahulu beliau, termasuk guru sekaligus bapak mertua beliau yang sangat
terkenal perjuangannya di Madura dalam melawan para penjajah (KH Abdul Hamid
Baqir). Maka sebagai generasi penerus, Kiai Muhammad tetap istikamah dengan
pilihan partainya yang juga merupakan pilihan para pendahulunya. Ketiga,
sikap sabar. Kiai Muhammad dikenal sebagai sosok yang sabar. Sebagai contoh,
selama beberapa tahun penulis belajar di Pondok Darul Ulum Banyuanyar, belum
pernah sekalipun menyaksikan Kiai Muhammad marah karena menghadapi persoalan
tertentu, bahkan persoalan yang sangat besar sekalipun. Hal terbesar yang
biasanya terjadi ketika ada hal-hal yang kurang berkenan adalah Kiai Muhammad
menjadi sakit. Kesabaran
nyaris sempurna seperti menjadi keteladanan Kiai Muhammad tentu bukan sekadar
sikap bawaan. Karena sebagai bawaan, semua orang memiliki kadar kesabaran.
Sebagaimana semua orang juga memiliki kadar emosi. Dengan
adanya ekspresi kesabaran yang terus menerus seperti dilakukan oleh Kiai
Muhammad, maka hampir bisa dipastikan hal ini lahir dari ilmu pengetahuan
yang sangat mendalam. Sebuah pengetahuan yang tak hanya bersandar pada
upaya-upaya manusia semata (belajar), melainkan pengetahuan yang bersumber
pada Dzat Maha Tahu sebagai pemberian dan anugerah-Nya. Di kalangan pesantren
ilmu ini dikenal dengan istilah ladunniy atau dalam dunia tasawuf dikenal
dengan istilah kasyf. Pengetahuan
inilah yang pada akhirnya membuat Kiai Muhammad mampu melakukan hal-hal besar
secara nyaris sempurna, seperti kesabaran yang hampir tak pernah diselingi
dengan sikap marah atau sikap istikamah yang hampir tak pernah diselingi
dengan rasa lelah atau sikap inkonsisten lainnya. Bangsa
ini sangat membutuhkan tiga keteladanan dari Kiai Muhammad sebagaimana di
atas, khususnya dalam menghadapi pandemi seperti sekarang. Betapa banyak
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang jauh dari keistikamahan sebagai
kematangan pilihan, sikap, maupun kebijakan. Hingga terjadi perombakan suatu
kebijakan dari satu pejabat/pemerintah ke pejabat/pemerintah yang lain. Pun
demikian dalam dunia politik. Sejauh ini dunia politik masih jauh dari
cita-cita luhurnya; menjadikan kepentingan bangsa dan kemaslahatan publik di
atas segalanya. Sebaliknya kerja-kerja politik acap dibajak oleh kepentingan
pribadi maupun golongan. Politik pun acap menjadi media untuk “mengambil
semua” daripada memberi untuk semua. Bahkan pada masa pandemi seperti
sekarang, kepentingan yang bersifat politis atau ambisi yang bersifat pribadi
dan golongan tak jarang mengalahkan hajat dan kepentingan masyarakat luas
untuk terbebas dari wabah yang ada. Pada
akhirnya, kesabaran Pak Kiai Muhammad menjadi teladan yang sangat penting
pada masa seperti sekarang. Kondisi berat dan serba terbatas akibat Covid-19
harus dipikul bersama-sama, daripada justru menimbulkan sikap saling
menyalahkan dan terlebih lagi saling tak peduli. Melalui kesabaran dan
kesadaran, masyarakat bisa bersama-sama menghadapi pandemi yang ada dengan
protokol kesehatan sembari saling membantu dalam menghadapi dampak-dampak
yang ditimbulkan oleh Covid-19. Terima
kasih Kiai Muhammad atas semua keteladananmu. Semoga semua amal kebaikan
Ajunan (bahasa Madura, sapaan kehormatan) diterima Allah Swt. Semoga semua
keteladanannya menjadi “air pembaruan dan kebijaksaan” bagi kita semua.
Selamat jalan Kiai Muhammad, Kiai Istikamah dalam menjaga bangsa. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar