Sabtu, 24 Juli 2021

 

Kegaduhan Rangkap Jabatan

Tajuk Kompas ;  Dewan Redaksi Kompas

KOMPAS, 23 Juli 2021

 

 

                                                           

Sejak Selasa (20/7/2021), publik di negeri ini gaduh gegara perubahan Statuta Universitas Indonesia. Rektor UI yang semula tak boleh rangkap jabatan, kini diizinkan.

 

Statuta UI yang melarang rektor merangkap jabatan, termasuk di badan usaha milik negara (BUMN), semula dikukuhkan dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 68 Tahun 2013. Namun, pada 2 Juli 2021, Presiden Joko Widodo menerbitkan PP Nomor 75 Tahun 2021 yang menggantikan PP sebelumnya sehingga Rektor dan Wakil Rektor UI bisa menduduki jabatan di BUMN. Prof Dr Ari Kuncoro yang menjabat Rektor UI sejak Desember 2019 dilegalkan untuk menjadi Wakil Komisaris Utama PT Bank Rakyat Indonesia (BRI) Tbk.

 

Sebelum menjabat rektor, Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis UI ini pada 2017 menduduki jabatan Komisaris Utama PT Bank Negara Indonesia (BNI) Tbk. Pada Februari 2020, ia pun menjabat komisaris di BRI. Ombudsman Republik Indonesia (ORI) mengingatkan Rektor UI saat itu melanggar Statuta UI dengan merangkap jabatan. (Kompas.id, 1/7/2021)

 

Langkah pemerintah mengubah PP Statuta UI, setelah ada peringatan dari ORI dan khalayak, memunculkan kegaduhan di masyarakat. Pemerintah dinilai mencari jalan pintas sehingga kepentingannya secara hukum bisa dibenarkan, seperti yang pernah pula terjadi dalam beberapa kasus pengisian pejabat.  Rangkap jabatan pimpinan perguruan tinggi negeri (PTN) di BUMN pun disoroti akan membahayakan kebebasan akademik dan secara administrasi merepotkan pemerintah.

 

Lepas dari berbagai kepentingan dan kemungkinan di UI, kita mengapresiasi kebesaran hati Ari Kuncoro yang pada Rabu (21/7/2021) menyerahkan surat pengunduran diri sebagai Wakil Komisaris Utama BRI. Sehari kemudian, pengunduran dirinya itu diumumkan pula secara terbuka di PT Bursa Efek Indonesia (BEI) (Kompas.id, 22/7/2021). Ini menjadi langkah yang bijak.

 

Selama masa pemerintahan Presiden Jokowi, masalah rangkap jabatan oleh pejabat publik ini bukan kali ini saja terjadi dan menimbulkan kegaduhan di masyarakat. Catatan Kompas menunjukkan, tahun 2015 terjadi polemik mengenai pejabat negara yang merangkap jabatan di partai politik, yang tak sejalan dengan kebijakan kepala negara. Namun, pejabat negara yang merangkap jabatan di partai itu masih saja terjadi. Rangkap jabatan di BUMN juga disoroti oleh ORI pada 2017, sebagai praktik yang sarat konflik kepentingan dan berpotensi kolutif.

 

ORI mencatat ada 222 komisaris di 144 unit usaha milik pemerintah yang merangkap jabatan sebagai pelaksana pelayanan publik atau aparatur sipil negara (ASN). Jumlah itu sekitar 41 persen dari 541 komisaris di semua unit usaha pemerintah. Lembaga Administrasi Negara (LAN) mencatat, dari 117 komisaris yang didata, 93 adalah pejabat kementerian, 12 dari perguruan tinggi, 8 dari lembaga pemerintah, 5 dari TNI, 5 dari pemerintah daerah, 1 dari Polri, dan 1 dari kejaksaan. (Kompas, 7/6/2017)

 

Rangkap jabatan itu diyakini kini masih ada. Padahal, Undang-Undang (UU) Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, UU Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN, serta UU Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat mengatur larangan perangkapan jabatan itu. Inilah saat bagi pemerintah untuk menata kembali aparaturnya sehingga tak terjadi perangkapan jabatan lagi. Tak perlu ada kegaduhan yang tak perlu, apalagi saat perhatian kita tercurah untuk menangani pandemi Covid-19 ini. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar