Mengakhiri
Kesombongan dan Prasangka Xavier Quentin Pranata ; Pelukis Kehidupan di Kanvas Jiwa |
DETIKNEWS, 30 Juli 2021
Saat kuliah English
Literature oleh Barbara Hopwood, dosen kami, saya dianjurkan untuk membaca
novel Pride and Prejudice karya Jane Austin. Novel klasik yang sudah dicetak
lebih dari 20 juta eksemplar dan masuk "most-loved books" ini belum
lama ini diputar di Netflix. Novel yang terbit pada 1813 ini tetap apik dan
ciamik diikuti di zaman sekarang. Bukankah kisah cinta senantiasa up to date? Antara
Kesombongan dan Prasangka Kisahnya sebenarnya hanya
seputar kehidupan orang-orang kaya di Inggris pada tahun 1800-an. Keluarga
kaya dengan lima anak gadis ini mencari menantu kaya agar keturunan mereka
bisa sejahtera. Di sinilah konflik terjadi. Elizabeth Bennet, putra kedua
keluarga Bennet, tokoh sentral dalam novel ini dikenal sebagai gadis yang
bukan saja menarik penampilannya melainkan juga jenaka dan cerdas. Dia ketemu
lawan yang tangguh dalam diri Fitzwilliam Darcy pengusaha kaya pemilik
perkebunan yang sangat luas dengan penghasilan selangit. Elizabeth, tokoh
protagonis, awalnya alergi terhadap Darcy karena sikapnya yang angkuh.
Meskipun demikian, setelah mengenalnya lebih jauh, ternyata Darcy tidak
seperti yang dia duga. Keangkuhannya bisa jadi dipengaruhi oleh
penghasilannya yang jika dihitung uang sekarang membuat orang tercengang.
Para pelayannya bahkan menganggap tuannya sebagai orang yang baik hati dan
sopan. Kisahnya berakhir dengan happy ending. Kelima gadis itu mendapatkan
jodoh masing-masing. Meskipun Jane Austin hanya
ingin menggambarkan kehidupan masyarakat Inggris pada zaman itu, khususnya
orang-orang kaya yang bisa saja terkesan snob dan "semau gue", tampaknya
kisah ini juga bisa kita pakai untuk belajar saling memahami sesama anak
bangsa. Bukankah saat ini kesombongan dan prasangka terus-menerus diumbar di
media sosial sehingga terjadi riak kecil sampai benturan keras yang jika
tidak segera diatasi membuat perahu Indonesia bukan saja bocor, melainkan
tenggelam? Failed nation, kata Ibas, bisa terjadi jika kita sendiri yang
menggenapinya dengan terus-menerus membuat kegaduhan. Kesombongan Orang-orang yang hidup
serba berkecukupan seringkali tanpa sadar menyakiti hati orang lain baik
lewat ucapan, sikap maupun tindakan. Di sebuah sekolah internasional, seusai
liburan, para murid kelas atas itu dengan enteng berkata, "Rasanya bosan
pergi ke Eropa melulu. Itu sebabnya kemarin saya minta Papa untuk berlibur ke
Maldives." Teman-temannya yang sesama
anak orang kaya memakluminya, bahkan menambahkan, "Saya juga bosan ke
Amerika. Papa selalu mengajak kami ke sana sih. Tahun ini saya minta berlibur
ke Islandia." Apa yang mereka tidak ketahui bahwa di kelasnya ada
anak-anak orang biasa yang bisa masuk ke sekolah elit itu karena beasiswa.
Jangankan keluar negeri, untuk mencukupi makan mereka sehari-hari saja
ortunya harus membanting tulang. Snobisme semacam itu yang
tanpa sadar --atau dengan kesadaran penuh untuk konten YouTube-nya--
memamerkan pola hidup mewah di media sosialnya. Mungkin karena terlalu sibuk
dengan dunia glamour-nya sehingga lupa bahwa masih banyak saudaranya yang
terpaksa harus menutup lapaknya karena PPKM darurat. Work from home bagi
mereka yang punya tabungan berjibun dan penghasilan tetap setiap bulan masih
bisa ditanggung, namun bagaimana mereka yang kerja hari ini untuk makan hari
ini atau istilah kerennya "from
hand to mouth"? Saya baca di media
mainstream seorang pemilik warung kopi menyegel tempat usahanya sendiri
dengan tulisan seperti ini: "Kami bukan kriminal Kami hanya menjual
kopi. Tapi karena peraturan yang selalu menyudutkan kami bahkan berpatroli
setiap hari dan akhirnya tempat ini kami segel sendiri..." Pengumuman
selanjutnya ditulis dengan huruf besar dengan tinta merah: "SEMOGA
KARYAWAN KAMI TIDAK MENJADI KRIMINAL SETELAH DIRUMAHKAN." Ada dua poin yang terbaca
jelas. Pertama, mereka merasa keberatan kalau warung kopinya ditutup. Kedua,
ada semacam peringatan bahwa orang yang lapar bisa melakukan apa pun,
termasuk tindakan kriminal. Saya setuju dengan apa yang dikatakan oleh
Christine Lee, MD, seorang gastroenterologist:
"There is a physiological reason why some people get angry when they're
hungry." Hal inilah yang seharusnya
sudah menjadi pertimbangan yang matang bagi para pembuat peraturan agar
pelaksanaannya di lapangan bisa fleksibel dengan pendekatan yang humanis.
Polisi memborong nasi jinggo sebelum meminta pedagang untuk menutup warugnya
di Gianyar, Bali patut diapresiasi ketimbang menyemprotkan air ke warung
makan dan warung kopi. Kesombongan lain yang
patut disayangkan adalah penghinaan lewat media sosial. Misalnya,
mengolok-olok netizen yang dianggap tidak bisa berbahasa asing, bahkan
diminta belajar dari anak kecil. Cuitan semacam ini jelas membuat warganet
marah dan justru mengungkit kembali bahwa yang bersangkutan juga bukan orang
yang tanpa cela. Bisa jadi karena kejengkelan mereka tidak hanya menjadi
hater bagi yang bersangkutan, melainkan menyasar ke orang-orang terdekatnya
baik garis lurus ke atas --ortu-- maupun garis lurus ke bawah --anaknya. Jane Austin dalam Pride
and Prejudice menulis dengan sangat apiknya: "For what do we live, but to make sport for our neighbors, and
laugh at them in our turn?" Apa sih untungnya memamerkan Ferrari,
Maserati dan Lamborghini di garasi sementara 'tetangga' susah mencari sesuap
nasi di warung sendiri? Prasangka Kata ini sungguh
berbahaya. Tanpa sadar, atau dengan kesadaran penuh, bisa jadi kita seperti
yang diungkapkan Jane Austin, "I have not the pleasure of understanding
you." Senang tidak senang, suka tidak suka, mau tidak mau, "no man
is an island," ujar John Done, sebagai makhluk sosial kita perlu
berusaha memahami orang lain. Bukankah Stephen R. Covey pun menganjurkan kita
untuk "seek first to understand, then to be understood"? Alangkah konyolnya kita
jika berharap, bahkan memaksakan kehendak, agar 'kamu' memahami 'aku' tanpa
mencoba memahami 'kamu' lebih dulu ketimbang menuntut 'kamu memahami aku'.
Pemahaman bersama membuat polarisasi antara 'kamu' dan 'aku' bertransformasi
menjadi 'kita'. Pemerintahan Jokowi, sejak
awal pandemi, terkesan menutup-nutupi wabah Covid-19 dan bahayanya. Alasannya
sangat masuk akal, yaitu agar rakyat tidak panik dan melakukan hal yang
justru merugikan. Misalnya saja, panic buying, sehingga terjadi mark up
gila-gilaan untuk produk obat, vitamin, dan tabung oksigen. Karena
barang-barang yang dicari --misalnya saja masker pada awal pandemi-- langka,
atau bahkan habis, ada orang-orang yang justru menimbun untuk menaikkan harga
jualnya. Ada lagi yang
'memanfaatkan' kepanikan sekaligus ketidaktahuan masyarakat terhadap produk
sehingga ada spekulan yang menyebarkan kabar yang half truth, sehingga Bear
Brand pun diborong orang. Seorang netizen menanggapi rush terhadap "susu
beruang" ini dengan membuat meme yang lucu: "Jadi khasiat susu ini
membunuh si virus, caranya adalah dengan membuat virus tersebut bingung, ini
susu sapi, mereknya beruang iklannya naga, karena bingung virusnya stres lalu
imun si virus turun jadinya itu virus bisa dikalahkan oleh antibodi...gini
toh cara kerjanya." Saya percaya ulah iseng
warganet itu justru yang bisa meningkatkan imun kita. Anak saya yang terbiasa
minum susu merek ini pun ikut tergelak saat melihat meme ini. Bukannya hati
yang gembira adalah obat yang mujarab? Kembali ke kesan bahwa
pemerintah menutup-nutupi kasus ini. Alasannya, sekali lagi, jika warga
panik, Indonesia bisa mengalami masa paceklik. Sebaliknya, saat pemerintah
melakukan PSBB sampai PPKM darurat --istilah yang gonta-ganti berkali-kali--
yang tujuannya jelas untuk menghambat penyebaran virus, banyak orang yang
menentang. Dasarnya apa? Bisa jadi karena memang terdampak keras usahanya.
Bisa juga karena prasangka. Apalagi saat diumumkan bahwa tempat ibadah harus
ditutup selama PPKM darurat. Pemerintah dianggap menekan umat beragama. Sudah
Saatnya Meruntuhkan Kesombongan dan Menghilangkan Prasangka Caranya? Bersama-sama
melakukan tobat nasional. Bukan yang satu diminta tobat, sedangkan yang lain tetap
kumat. Teguran Nabi Yesaya ini perlu kita renungkan: "Dengan bertobat
dan tinggal diam kamu akan diselamatkan, dalam tinggal tenang dan percaya
terletak kekuatanmu." Pertama, bertobat dari
kesombongan. Mari sama-sama merendahkan diri dengan duduk bersama mencari
solusi. Bukankah sinergi jauh lebih elok ketimbang adu gengsi? Negara lain
yang bahu membahu antara legislatif, eksekutif dan yudikatif plus rakyat
sudah lebih dulu bangkit. Mereka yang sudah beradu cepat melakukan tamasya di
ruang angkasa, masak kita masih terus saja berkutat di kolam angsa? Kedua, bertobat dari
prasangka. Banyak hal yang kita yakini benar ternyata tidak seperti itu.
Ingat apa yang Goebbels katakan, "Kebohongan yang diulang-ulang akan
diterima sebagai kebenaran." Mari sudahi narasi basi yang membuat mati
nurani. Ketiga, tinggal diam dan
tinggal tenang. Orang yang grusa-grusu seringkali justru membuat kekisruhan.
Orang yang cepat marah justru jadi orang yang kalah. "Angry people are not always wise," ujar Jane Austin
dalam Pride and Prudice. Bukankah 'anger' (amarah) yang diumbar justru
menjadi 'danger' (bahaya) yang
bukan saja mencelakakan orang lain, tetapi juga diri sendiri. Mari belajar untuk merasa
puas dengan apa yang kita miliki. Seperti kata Jane Austin, "I must learn to be content with
being happier than I deserve." ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar