Sabtu, 24 Juli 2021

 

Mengonversi Kurban di Tengah Pandemi

Robikin Emhas ;  Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama

KOMPAS, 19 Juli 2021

 

 

                                                           

Dua pekan lalu, hampir berbarengan dengan keputusan pemerintah mengetatkan pembatasan aktivitas masyarakat menyusul peningkatan kasus penularan Covid-19 di Jawa dan Bali, masyarakat dikejutkan dengan kabar kelangkaan oksigen medis.

 

Sejumlah rumah sakit melaporkan kekurangan pasokan oksigen medis sehingga mengancam keselamatan pasien yang sedang dirawat. Setelah diusut, menurut laporan aparat, permintaan memang meningkat seiring lonjakan kasus infeksi, tetapi sebetulnya pasokan normal.

 

Masalahnya, ternyata, ditemukan banyak warga membeli oksigen medis untuk disimpan di rumah sehingga menyebabkan kelangkaan dan harganya menjadi mahal. Padahal, berdasarkan penyelidikan polisi, mereka yang membeli oksigen medis itu tidak semuanya sedang sakit atau membutuhkan. Panic buying, begitu istilahnya.

 

Dugaannya, orang-orang menjadi panik menyusul kebijakan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) darurat. Mereka merasa perlu, atau bahkan wajib, menyiagakan oksigen medis di rumah untuk jaga-jaga.

 

Peristiwa semacam itu kerap terjadi. Lumrahnya berhubungan dengan bahan pangan. Namun, terutama dalam situasi serba sulit dan tidak pasti akibat pandemi Covid-19, semua komoditas bisa mendadak langka. Coba ingat-ingat lagi peristiwa kelangkaan masker, cairan atau sabun antiseptik, obat tertentu untuk terapi pasien Covid-19, dan lainnya.

 

Kohesi dan kooperasi

 

Betul, setiap orang wajib waspada dan menjaga kesehatan. Anjuran bahwa lebih baik mencegah daripada mengobati tetap berlaku. Namun, mencari aman sendiri-sendiri, alih-alih saling membantu dan menolong, tidak akan mengubah keadaan.

 

Pandemi ini bukan musibah perorangan atau bencana di satu-dua daerah, melainkan berskala global dan melibatkan masyarakat dunia. ”Tidak ada ... yang aman, sampai kita semua aman,” kata Direktur Jenderal Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Tedros Adhanom Ghebreyesus setahun silam.

 

Darurat kesehatan terbesar sejak awal abad ke-20 ini harus menjadi momentum untuk bersatu dalam persatuan nasional dan solidaritas global. Dalam istilah yang lebih sederhana dan gamblang, masyarakat harus bekerja sama dan kompak, bahkan dituntut kerelaan berkorban untuk menumbuhkan solidaritas.

 

Masalahnya hanyalah, apa yang dapat mendorong orang untuk bekerja sama?

 

Pertimbangkanlah satu hasil studi ahli antropologi Richard Sosis, sebagaimana dikutip dari Jonathan Haidt dalam The Righteous Mind, yang mengkaji ratusan komune di Amerika Serikat pada abad ke-19 dan mengklasifikasikannya ke dalam dua kategori: komune religius dan komune sekuler.

 

Riset Sosis, ringkasnya, menemukan, komune yang religius lebih mungkin bertahan dibandingkan dengan komune yang sekuler. Dengan kata lain, agama, atau kepercayaan religius, dapat membuat kelompok lebih kohesif dan kooperatif.

 

Komune-komune hanya bisa bertahan, dan sukses, selama bisa mengikat kelompok menjadi satu dan menekan kepentingan pribadi. Kuncinya, menurut Richard, ternyata adalah jumlah pengorbanan mahal yang dituntut setiap komune dari anggota-anggotanya.

 

Berdasarkan hasil studi itu, Haidt menyimpulkan, praktik ritual yang diremehkan dan dianggap tidak efisien serta tak rasional ternyata merupakan solusi bagi salah satu masalah terberat yang dihadapi manusia: kerja sama. Kepercayaan-kepercayaan yang dinilai tak rasional malah dapat membantu kelompok atau masyarakat berfungsi secara lebih rasional.

 

Kurban dan keegoisan

 

Kisah tentang pengorbanan Nabi Ibrahim yang menaati perintah Allah untuk menyembelih putranya, Ismail, tetapi kemudian Allah mengganti si anak semata wayang dengan seekor domba, menjadi sungguh relevan untuk direnungkan kembali. Nilai pentingnya terutama ketika umat manusia sedang menghadapi kesulitan akibat pandemi dan memerlukan solidaritas dan kerja sama.

 

Kita cenderung memaknai penyembelihan hewan kurban setiap Idul Adha sebagai sebatas ritual. Ya, sesekali dengan sisipan pemaknaan bahwa kurban merupakan manifestasi ketaatan pada perintah Allah. Itu tak salah. Namun, mengapa tak sekalian mengonversi ritual itu sebagai sarana untuk mengeratkan kohesi sosial dan meningkatkan kooperasi sebagaimana riset Richard Sosis.

 

Ibadah kurban sebagai wahana untuk mendekatkan diri kepada Allah (taqarub ilallah), berdimensi spiritual-transendental, sudah cukup jelas. Bagaimana mengonversi ibadah itu sebagai instrumen untuk menciptakan kedekatan antarmanusia (taqarub ilannas), dimensi sosial-humanis, dalam situasi sekarang?

 

Pertama-tama, mesti dipahami, ketika Allah mengganti Ismail dengan seekor domba, itu berarti Allah memerintahkan untuk menyelamatkan manusia dari perilaku dan sifat yang tidak menghargai manusia dan kemanusiaan. Perilaku dan sifat seperti itu kerap mewujud dalam sikap menzalimi orang lain, menghalalkan segala cara, dan mementingkan diri atau cari aman sendiri.

 

Kedua, ritual penyembelihan hewan kurban, menurut Hujjatul Islam Imam al-Ghazali, menyimbolkan penyembelihan sifat kehewanan manusia. Seperti telah dipelajari dengan baik oleh para ilmuwan, manusia adalah juara dunia dalam hal kerja sama di luar lingkup hubungan darah, berbeda dengan hewan yang dapat bekerja sama hanya dengan yang berkerabat.

 

Namun, sesekali tetap muncul sifat hewani dalam bentuk keegoisan yang hanya mementingkan diri, kelompok, ataupun golongan. Karena itu, kurban sebagai semacam langkah menonaktifkan perilaku hewani hendaklah menguatkan kepekaan dan tanggung jawab sosial demi terciptanya solidaritas dan kerja sama.

 

Dengan menyisihkan sebagian harta untuk berkurban, diharapkan tumbuh rasa kebersamaan di masyarakat. Dan, yang lebih utama dari itu adalah menekan kepentingan pribadi, mengingat, di masa pandemi Covid-19, ”tidak ada yang aman sampai kita semua aman”.

 

Keluarga kita tak akan aman selagi masih ada tetangga yang kesulitan akibat beragam pembatasan. Satu daerah yang sebulan lalu tampak mampu mengendalikan tingkat kejangkitan bisa mendadak terancam kolaps dan memerlukan bantuan daerah lain. Negara kaya tidak bisa egois mengamankan pasokan vaksin hanya untuk rakyatnya, sementara negara lain kekurangan.

 

Belum dapat diprediksi dengan pasti kapan pandemi ini akan berakhir. Namun, kita yakin, dengan bekerja sama dan saling membantu dengan tanpa memandang latar belakang agama, suku, ras, warna kulit ataupun golongan, kita akan selamat dan dapat keluar dari krisis ini. Bersediakah kita? ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar