Sabtu, 24 Juli 2021

 

Perang Pandemi Kita

F Budi Hardiman ;  Pengajar Filsafat di Universitas Pelita Harapan

KOMPAS, 21 Juli 2021

 

 

                                                           

Satu setengah tahun perang pandemi menghantui kita. Alih-alih berakhir, kasus infeksi mengalami eskalasi yang sangat dramatis di bulan Juli 2021 ini. Saat ini episentrum pandemi adalah Indonesia. Hampir tiap hari lebih dari 50.000 orang menjadi korban. Berita kematian beredar bertubi-tubi di media sosial. Infeksi terjadi di depan mata pada orangtua, anak, kerabat, sahabat.

 

Sulit disangkal, SARS-Cov-2 telah bermanuver lebih gesit dan lebih lihai daripada para ilmuwan. Virus ini seakan telah menjelma menjadi malaikat pencabut nyawa yang tiap hari menanen populasi kita. Makin tak jelas apakah ada solusi untuk penyakit ini atau bagian nasib buta. Perang pandemi seharusnya bisa lebih sederhana daripada perang-perang lain. Kita tidak sedang melawan sesama kita, melainkan sedang memerangi musuh bersama, yakni virus.

 

Tetapi mengapa perang melawan Covid-19 ini, meski tiap hari didengungkan lewat berbagai media, menjadi jauh lebih rumit daripada yang seharusnya? Penyebab utamanya terdapat pada sesuatu yang hakiki pada manusia: komunikasi.

 

Dalam situasi ekstrem sekarang ini komunikasi tak bisa biasa-biasa saja. Bela rasa harus dipimpin kecerdasan agar tetap melindungi diri dan orang lain. Sentuhan komunikatif harus dilakukan dengan menjaga jarak. Menyentuh dengan jarak membutuhkan kemampuan abstraksi yang menimbulkan empati.

 

Hal itu tidak mudah. Kita telah terbiasa menyentuh dengan menghapus jarak dan berabstraksi tanpa empati.

 

Komunikasi tidak lazim di dalam perang pandemi ini butuh self-mastery. Banyak yang belum memiliki hal itu. Karenanya protokol kesehatan dirasa membebani dan bukan melindungi. Dalam perang pandemi bermasker, menjaga jarak, dan tidak berkumpul merupakan keutamaan warga negara dan bagian dari bela negara.

 

"Behaviorisme" pandemi

 

Manajemen perang pandemi kita tidak khas. Di seluruh dunia Covid-19 diatasi dengan formula: protokol kesehatan dan vaksinasi. Sains tahu perilaku virus ini. Tiap hari jumlah infeksi, kesembuhan, dan kematian dikalkulasi secara statistik. Publik pun tahu hasil pertempuran harian. Kita rugi jika jumlah kesembuhan lebih kecil daripada jumlah kematian. Kita menang kalau jumlah kasus turun. Hasil itu sebagian besar terkait perilaku populasi kita. Perilaku disiplin diganjar kemenangan. Perilaku indisiplin dihukum dengan kekalahan. Behaviorisme pandemi berlaku di sini.

 

Dari pola itu solusi teknis diketahui. Jika kalah dalam pertempuran, pemerintah akan melakukan lockdown. Jika menang, publik diganjar dengan relaksasi. Semua bisa dijelaskan secara kurang lebih obyektif dan terukur. Bangsa-bangsa yang berdisiplin dan bersedia belajar dari mekanisme itu mulai menikmati hasil manajemen pandemi mereka. Sekarang mereka berani buka masker. Tapi itu memberi harapan bahwa pandemi bisa dimenangi. Behaviorisme pandemi tentu bukan segalanya, tetapi lumayan dapat menjadi tuntunan perilaku rasional.

 

Tentu behaviorisme memiliki keterbatasan yang perlu dikenali. Perilaku anjing, seperti dalam percobaan Pavlov, mengikuti pola stimulus-respons. Manusia berbeda. Sistem ganjaran dan hukuman tak serta-merta merangsang atau memotivasinya. Dia makhluk bebas yang berkesadaran dan membaca simbol. Untuk termotivasi atau tidak, dibutuhkan komunikasi. Dari sinilah segala kerumitan datang dan membuat perang pandemi kita tak sederhana.

 

Di negeri kita ini masih banyak orang yang tak patuh dan sulit sepakat. SARS-Cov-2 adalah fakta obyektif, kira-kira sama seperti hukum gravitasi, tetapi orang kita melihatnya berbeda-beda. Celakanya, masing-masing merasa benar sendiri. Ada yang yakin virus itu bikinan elite global. Yang lain bilang, protokol kesehatan hanya akal-akalan pemerintah untuk mengontrol agama.

 

Di tengah kekacauan persepsi itu yang lain lagi malah mengambil keuntungan politis untuk menjatuhkan pemerintahan. Ditambah hoaks yang berseliweran di media-media sosial, target perang makin kabur. Perang pun menjadi tidak tunggal, melainkan majemuk.

 

Orang kita memang berjuang, tetapi untuk perang mereka masing-masing. Mereka menganggap perang pandemi bukan perjuangan mereka, melainkan tugas pemerintah. Pemerintahan mana yang bisa memikul tugas itu sendirian?

 

Mereka yang terdampak oleh kebijakan PPKM Darurat —dari bisnis kecil sampai besar— menghadapi tiga kekuatan besar, yaitu: aparat keamanan, mata pencarian, dan infeksi virus.

 

Mereka yang masih bisa menikmati WFH bisa fokus pada pencegahan infeksi. Namun ketiganya kerap serentak mengoyak hidup orang kecil. Masih banyak yang belum tahu atau menolak untuk tahu bahwa Covid-19 itu nyata adanya. Ini serius.

 

Yang mereka tahu, aparat bengis. Mereka bilang ‘aman’ yang berarti ‘tidak ada petugas yang mencegat’. Itulah tragedi komunikasi kita. Intensi negara untuk memproteksi rakyatnya gagal dikomunikasikan kepada mereka.

 

Menyamakan persepsi

 

Tentu behaviorisme adalah pendekatan paling mudah bagi pemerintah karena dianggap obyektif dan terukur. Bagi kelompok rasional yang biasa berdisiplin tinggi pendekatan itu juga relatif mudah dipatuhi. Penuhnya rumah-rumah sakit, peningkatan permintaan oksigen, penguburan massal sudah cukup untuk mengendalikan perilaku mereka.

 

Tapi hal-hal itu tak cukup menakutkan bagi mereka yang sehari-hari menghadapi kesulitan hidup lebih besar. Jumlah mereka sangat besar di negeri kita. Bagi mereka berkumpul, terinfeksi, dan mati demi memenuhi kewajiban ibadah atau menghidupi keluarga adalah lebih bermakna daripada sehat dengan berdiam di dalam rumah. Agaknya mereka kurang sadar bahwa kita sedang berperang.

 

Orang kita suka berjuang dan siap mengorbankan diri. Konflik Israel dan Palestina, misalnya, bisa memprovokasi untuk minta dikirim ke sana. Ada dentuman rudal, bau mesiu, kucuran darah, pekikan perang, dan semua itu memuaskan bayangan heroisme klasik orang kita. Apalagi jika berlangsung di luar negeri. Tapi perang di depan mata tak tampak. Seluruh lanskap perang klasik tak ditemukan dalam perang pandemi, maka perang itu dianggap tak nyata.

 

Video atau foto tentang puluhan ribu pasien sesak napas akibat kehabisan oksigen dan ribuan jenazah yang dikubur dengan protokol Covid-19 belum cukup meyakinkan bahwa ini perang nyata. Sulit menghubungkan pemandangan kelabu itu dengan kategori perjuangan dan pengorbanan.

 

Pembingkaian peristiwa yang berseliweran di media-media sosial membuat perang pandemi menjadi semacam gosip artis yang dinikmati sambil rebahan. Tak mengherankan, behaviorisme pandemi yang sebetulnya sederhana itu tak juga dimengerti. Masalahnya bukan karena orang kita tak pintar. Orang kita justru sangat pintar memaknai perjuangan dan pengorbanan mereka masing-masing sampai sulit sepakat tentang target perang kita saat ini. Jadi, masalahnya adalah sikap keras kepala.

 

Belum ada persepsi yang sama tentang bahaya SARS-Cov-2. Akibatnya, juga tak ada persepsi yang sama tentang perjuangan dan pengorbanan terkait bahaya virus itu. “Tak ada yang dalam pikiran yang sebelumnya tidak dalam persepsi,” kata Thomas Aquinas. Jika persepsi saja tak sama, bagaimana bisa ada pikiran sama? Tanpa pikiran yang sama, bisakah kita bertindak bersama?

 

Sudah satu setengah tahun perang ini berlangsung, tetapi masih sangat banyak yang belum menyadari kita sedang berperang. Perang ini terlalu abstrak buat mereka. Padahal mereka selalu membutuhkan yang konkret. Mungkin pandemi baru dipersepsi sebagai perang sungguhan, saat tubuh orang dekat atau tubuh sendiri terkena. Hal itu memang konkret, tapi tidak semestinya terjadi. Eskalasi dramatis kasus infeksi bulan ini saja seharusnya sudah cukup untuk menyamakan persepsi kita dalam perjuangan dan pengorbanan melawan virus ini.

 

Jika tak bisa meminjamkan ruang untuk isolasi mandiri, menyumbang oksigen untuk mereka yang sesak napas, memberi sembako untuk yang lapar, sekurangnya mematuhi protokol kesehatan. Saat ini itulah cara nyata non-ilusioner dari perjuangan dan pengorbanan untuk membantu sesama dan menang dalam perang pandemi kita. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar