Modal
Geopolitik Kita Christianto Wibisono ; Pengamat Ekonomi |
KOMPAS, 23 Juli 2021 (2
Desember 2011)
Senin,
21 November 2011, Kishore Mahbubani dalam peluncuran buku terjemahan Indonesia,
Asia Hemisfer Baru Dunia, menyatakan, Indonesia sebagai pemimpin ASEAN sukses
menempatkan diri sebagai mediator, honest broker, dan centre of gravity dalam
percaturan geopolitik pascahegemoni adidaya AS (Pax Americana). Berita
Kompas (22 November 2011) halaman 2 mempertanyakan mengapa kinerja Presiden
terbenam dalam hiruk-pikuk politik domestik. Menyaksikan tampilan SBY di
berbagai forum KTT G-20 di Cannes, KTT APEC di Honolulu, dan KTT East Asia di
Bali, diselingi pembukaan SEA Games, merangsang saya untuk membahas anomali
itu. Mengapa SBY seolah menjadi asing di negerinya sendiri? Berhasil
berdiplomasi di mandala global, tetapi tercitra sebagai tidak memberi hasil
dalam politik domestik! Politik Rivalitas Dalam
rivalitas petahana versus oposisi, apa saja yang dilakukan petahana tak akan
dihargai secara lugas oleh oposisi yang picik, licik, dan tidak menghayati
adagium ”my loyalty to my party ends when my loyalty to my country begins”.
Ketika PM Ali Sastroamidjojo dari PNI memprakarsai dan sukses menyelenggarakan
KTT Asia Afrika di Bandung (1955), partai oposisi Masyumi menyatakan acara
itu sebagai pemborosan keuangan negara. Seandainya Bung Karno dan PM Ali
takut kepada Masyumi dan tak berani menyelenggarakan KTT Asia Afrika, tak
akan pernah ada KTT tersebut. Juga tak ada Semangat Dasasila Bandung yang
jadi pedoman perjuangan kemerdekaan bangsa- bangsa Asia Afrika serta cikal
bakal Gerakan Nonblok. Elite
kita selalu hafal fakta deskriptif RI dengan 17.000 lebih pulau dan posisi
silang antara dua benua dan dua samudra. Namun, mereka gagal
mengapitalisasikan, mengoptimalkan, dan memanfaatkan faktor given and natural
tersebut. Ataukah mereka paham, tetapi tak rela mengakui terobosan
kapitalisasi dan maksimalisasi modal geopolitik oleh petahana. Oleh
karena itu, prestasi, kinerja, dan capaian petahana tidak dihargai apa
adanya. Politik luar negeri dan politik dalam negeri seolah tidak berkaitan
sehingga kita tidak bisa menikmati posisi dan transformasi geopolitik yang
oleh bangsa dan negara lain dimanfaatkan secara optimal. Dalam
sejarah Republik Indonesia, kita selalu jadi ”korban” Perang Dingin antara
kekuatan adidaya secara konyol dan mubazir. Ketika kita berhasil mencapai
sesuatu, terkadang malah terjadi bunuh diri politik oleh lawan politik
ataupun musuh dalam selimut, pertikaian sesama mitra koalisi, sesama partai,
atau konflik internal Angkatan Darat. Bung
Karno berhasil memperoleh Irian Barat melalui diplomasi, diiringi tekanan
militer dengan utang 2,4 miliar dollar AS dari Rusia untuk armada Angkatan
Laut dan skuadron Angkatan Udara yang terkuat di belahan bumi selatan.
Presiden Kennedy jadi mediator mengutus adiknya, Jaksa Agung AS Robert
Kennedy, dan berhasil meyakinkan Belanda untuk menyerahkan Irian lewat
transisi UN Temporary Executive Administration (UNTEA) hingga 1963. Akan
tetapi, hasil jerih payah itu—serta tekad membangun ekonomi yang merosot
dengan konsep Deklarasi Ekonomi yang disusun teknokrat PSI—lenyap ditelan
gemuruh konfrontasi dengan Malaysia. Alasan utama Bung Karno adalah menciptakan
musuh bersama ancaman dari luar untuk menutupi konflik TNI versus PKI.
Terbukti TNI tidak loyal melaksanakan konfrontasi yang memang tidak
bermanfaat dan sangat merugikan dan mengisolasi RI dalam diplomasi
internasional. RI
jadi negara pertama dan terakhir, dan satu-satunya, yang ngambek keluar dari
PBB walaupun cuma 18 bulan (Januari 1965-September 1966). Bung Karno ingin
membuat PBB tandingan bernama Conefo (Conference of the New Emerging Forces),
dan Gedung MPR/DPR sekarang ini dirancang menandingi Gedung PBB di New York. Perang
saudara selalu lebih dahsyat dari perang antarbangsa dan korban pembantaian
PKI tahun 1965 lebih besar daripada korban rakyat pribumi oleh penjajahan
kolonial Belanda, bahkan lebih besar daripada Perang Vietnam menurut Bertrand
Russell. Semua itu, ironisnya, dilakukan secara gratisan, tanpa disuruh atau
diadu domba oleh CIA atau KGB. Semua dilakukan dengan spontan, sukarela, dan
memprihatinkan. Untuk
membendung komunisme di Asia, AS mengalami Perang Korea dan Perang Vietnam yang
menelan biaya miliaran dollar dan puluhan ribu nyawa pasukan AS. Untuk itu
semua AS kemudian hanya memenuhi sepertiga porsi arus pinjaman IGGI maupun
investasi yang dibagi dengan Eropa dan Jepang. Bradley Simpson menulis dalam
Economists with Guns tentang transaksi berat sebelah itu, yang patut
dipelajari agar tidak terulang lagi. Sekarang
SBY melanglang buana untuk mengikuti KTT G-20, ASEAN, APEC, East Asia Summit,
Asem (Asian and European Meeting) dengan postur tegak tapi malu-malu dalam
transaksi geopolitik quid pro quo. Untuk perang teror, AS sudah menghabiskan
1 triliun dollar dan tetap tidak mengeliminasi akar masalah, yaitu konflik
Israel-Palestina yang dijadikan alibi perang teror. Akar masalah ini bisa
dipecahkan justru karena profil Indonesia sebagai negara demokrasi yang
Muslim-nya terbesar. Perlu Langkah Bijak Quid
pro quo-nya tentu harus lebih positif dan produktif dibanding ketika Bung
Karno sukses ”mengadu domba” Kennedy versus Khruschev dalam kampanye Irian
Barat. Indonesia bisa sukses jadi mediator Timur Tengah dengan dividen setara
skuadron F-16 sebagai mitra strategis pengawalan geopolitik Asia Tenggara.
Indonesia juga bisa memanfaatkan arus investasi China, Jepang, dan Korea
untuk membangun jaringan infrastruktur maritim dan shinkansen Jawa-Sumatera. Bali
sudah menjadi rendezvous Obama-Wen Jiabao, G-2 yang sedang berpanco dominasi
Asia Tenggara. Tapi kita tentu harus berdamai dengan diri sendiri terlebih
dahulu. Dalam upaya memanfaatkan ini, kita juga tak bisa dogmatik, tapi harus
bisa eklektik memberdayakan diplomasi secara efektif. Sayang bila modal
geopolitik kita mubazir karena kegenitan elite berwatak tak sportif
menghargai kinerja petahana. Akibatnya, SBY kikuk dan tidak berani
memanfaatkan flexible credit line (FCL) IMF dan Menkeu Sri Mulyani pada April
2009 terpaksa menjual obligasi dengan bunga lintah darat 12,5 persen atau
lima kali lipat FCL IMF. Sebagai
anggota G-20, Meksiko dengan cerdas memanfaatkan FCL senilai 40 miliar dollar
AS. SBY-Sri Mulyani tidak berani memanfaatkan FCL seperti Meksiko karena
takut pemakzulan oposisi. Peringatan
Kompas bahwa kinerja politik luar negeri dan domestik SBY seolah tak
kompatibel harus dijadikan acuan mawas diri presiden maupun parlemen. Hal ini
tak lain agar Indonesia dapat mengapitalisasikan dan mengaktualkan modal
geopolitiknya yang luar biasa secara bijak dan cerdas seperti pantauan
Kishore Mahbubani. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar