Sabtu, 24 Juli 2021

 

Modal Geopolitik Kita

Christianto Wibisono ;  Pengamat Ekonomi

KOMPAS, 23 Juli 2021 (2 Desember 2011)

 

 

                                                           

Senin, 21 November 2011, Kishore Mahbubani dalam peluncuran buku terjemahan Indonesia, Asia Hemisfer Baru Dunia, menyatakan, Indonesia sebagai pemimpin ASEAN sukses menempatkan diri sebagai mediator, honest broker, dan centre of gravity dalam percaturan geopolitik pascahegemoni adidaya AS (Pax Americana).

Berita Kompas (22 November 2011) halaman 2 mempertanyakan mengapa kinerja Presiden terbenam dalam hiruk-pikuk politik domestik. Menyaksikan tampilan SBY di berbagai forum KTT G-20 di Cannes, KTT APEC di Honolulu, dan KTT East Asia di Bali, diselingi pembukaan SEA Games, merangsang saya untuk membahas anomali itu. Mengapa SBY seolah menjadi asing di negerinya sendiri? Berhasil berdiplomasi di mandala global, tetapi tercitra sebagai tidak memberi hasil dalam politik domestik!

Politik Rivalitas

Dalam rivalitas petahana versus oposisi, apa saja yang dilakukan petahana tak akan dihargai secara lugas oleh oposisi yang picik, licik, dan tidak menghayati adagium ”my loyalty to my party ends when my loyalty to my country begins”. Ketika PM Ali Sastroamidjojo dari PNI memprakarsai dan sukses menyelenggarakan KTT Asia Afrika di Bandung (1955), partai oposisi Masyumi menyatakan acara itu sebagai pemborosan keuangan negara. Seandainya Bung Karno dan PM Ali takut kepada Masyumi dan tak berani menyelenggarakan KTT Asia Afrika, tak akan pernah ada KTT tersebut. Juga tak ada Semangat Dasasila Bandung yang jadi pedoman perjuangan kemerdekaan bangsa- bangsa Asia Afrika serta cikal bakal Gerakan Nonblok.

Elite kita selalu hafal fakta deskriptif RI dengan 17.000 lebih pulau dan posisi silang antara dua benua dan dua samudra. Namun, mereka gagal mengapitalisasikan, mengoptimalkan, dan memanfaatkan faktor given and natural tersebut. Ataukah mereka paham, tetapi tak rela mengakui terobosan kapitalisasi dan maksimalisasi modal geopolitik oleh petahana.

Oleh karena itu, prestasi, kinerja, dan capaian petahana tidak dihargai apa adanya. Politik luar negeri dan politik dalam negeri seolah tidak berkaitan sehingga kita tidak bisa menikmati posisi dan transformasi geopolitik yang oleh bangsa dan negara lain dimanfaatkan secara optimal.

Dalam sejarah Republik Indonesia, kita selalu jadi ”korban” Perang Dingin antara kekuatan adidaya secara konyol dan mubazir. Ketika kita berhasil mencapai sesuatu, terkadang malah terjadi bunuh diri politik oleh lawan politik ataupun musuh dalam selimut, pertikaian sesama mitra koalisi, sesama partai, atau konflik internal Angkatan Darat.

Bung Karno berhasil memperoleh Irian Barat melalui diplomasi, diiringi tekanan militer dengan utang 2,4 miliar dollar AS dari Rusia untuk armada Angkatan Laut dan skuadron Angkatan Udara yang terkuat di belahan bumi selatan. Presiden Kennedy jadi mediator mengutus adiknya, Jaksa Agung AS Robert Kennedy, dan berhasil meyakinkan Belanda untuk menyerahkan Irian lewat transisi UN Temporary Executive Administration (UNTEA) hingga 1963.

Akan tetapi, hasil jerih payah itu—serta tekad membangun ekonomi yang merosot dengan konsep Deklarasi Ekonomi yang disusun teknokrat PSI—lenyap ditelan gemuruh konfrontasi dengan Malaysia. Alasan utama Bung Karno adalah menciptakan musuh bersama ancaman dari luar untuk menutupi konflik TNI versus PKI. Terbukti TNI tidak loyal melaksanakan konfrontasi yang memang tidak bermanfaat dan sangat merugikan dan mengisolasi RI dalam diplomasi internasional.

RI jadi negara pertama dan terakhir, dan satu-satunya, yang ngambek keluar dari PBB walaupun cuma 18 bulan (Januari 1965-September 1966). Bung Karno ingin membuat PBB tandingan bernama Conefo (Conference of the New Emerging Forces), dan Gedung MPR/DPR sekarang ini dirancang menandingi Gedung PBB di New York.

Perang saudara selalu lebih dahsyat dari perang antarbangsa dan korban pembantaian PKI tahun 1965 lebih besar daripada korban rakyat pribumi oleh penjajahan kolonial Belanda, bahkan lebih besar daripada Perang Vietnam menurut Bertrand Russell. Semua itu, ironisnya, dilakukan secara gratisan, tanpa disuruh atau diadu domba oleh CIA atau KGB. Semua dilakukan dengan spontan, sukarela, dan memprihatinkan.

Untuk membendung komunisme di Asia, AS mengalami Perang Korea dan Perang Vietnam yang menelan biaya miliaran dollar dan puluhan ribu nyawa pasukan AS. Untuk itu semua AS kemudian hanya memenuhi sepertiga porsi arus pinjaman IGGI maupun investasi yang dibagi dengan Eropa dan Jepang. Bradley Simpson menulis dalam Economists with Guns tentang transaksi berat sebelah itu, yang patut dipelajari agar tidak terulang lagi.

Sekarang SBY melanglang buana untuk mengikuti KTT G-20, ASEAN, APEC, East Asia Summit, Asem (Asian and European Meeting) dengan postur tegak tapi malu-malu dalam transaksi geopolitik quid pro quo. Untuk perang teror, AS sudah menghabiskan 1 triliun dollar dan tetap tidak mengeliminasi akar masalah, yaitu konflik Israel-Palestina yang dijadikan alibi perang teror. Akar masalah ini bisa dipecahkan justru karena profil Indonesia sebagai negara demokrasi yang Muslim-nya terbesar.

Perlu Langkah Bijak

Quid pro quo-nya tentu harus lebih positif dan produktif dibanding ketika Bung Karno sukses ”mengadu domba” Kennedy versus Khruschev dalam kampanye Irian Barat. Indonesia bisa sukses jadi mediator Timur Tengah dengan dividen setara skuadron F-16 sebagai mitra strategis pengawalan geopolitik Asia Tenggara. Indonesia juga bisa memanfaatkan arus investasi China, Jepang, dan Korea untuk membangun jaringan infrastruktur maritim dan shinkansen Jawa-Sumatera.

Bali sudah menjadi rendezvous Obama-Wen Jiabao, G-2 yang sedang berpanco dominasi Asia Tenggara. Tapi kita tentu harus berdamai dengan diri sendiri terlebih dahulu. Dalam upaya memanfaatkan ini, kita juga tak bisa dogmatik, tapi harus bisa eklektik memberdayakan diplomasi secara efektif. Sayang bila modal geopolitik kita mubazir karena kegenitan elite berwatak tak sportif menghargai kinerja petahana. Akibatnya, SBY kikuk dan tidak berani memanfaatkan flexible credit line (FCL) IMF dan Menkeu Sri Mulyani pada April 2009 terpaksa menjual obligasi dengan bunga lintah darat 12,5 persen atau lima kali lipat FCL IMF.

Sebagai anggota G-20, Meksiko dengan cerdas memanfaatkan FCL senilai 40 miliar dollar AS. SBY-Sri Mulyani tidak berani memanfaatkan FCL seperti Meksiko karena takut pemakzulan oposisi.

Peringatan Kompas bahwa kinerja politik luar negeri dan domestik SBY seolah tak kompatibel harus dijadikan acuan mawas diri presiden maupun parlemen. Hal ini tak lain agar Indonesia dapat mengapitalisasikan dan mengaktualkan modal geopolitiknya yang luar biasa secara bijak dan cerdas seperti pantauan Kishore Mahbubani. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar