Sabtu, 31 Juli 2021

 

Politik Pergantian Panglima TNI

Al Araf ;  Ketua Badan Pengurus Centra Initiative dan Peneliti Senior Imparsial

KOMPAS, 30 Juli 2021

 

 

                                                           

Pergantian panglima TNI dalam waktu dekat ini sepertinya akan dilakukan oleh Presiden Joko Widodo. Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto akan memasuki masa pensiun pada November 2021. Sesuai Undang-Undang No 34 Tahun 2004 tentang TNI, masa dinas prajurit bagi perwira sampai usia paling tinggi 58 tahun (Pasal 53) .

 

Beberapa nama calon panglima TNI pengganti Hadi Tjahjanto telah beredar di publik dan menimbulkan pro dan kontra beragam di masyarakat. Beberapa nama itu merupakan sosok-sosok prajurit yang saat ini menduduki jabatan sebagai kepala staf angkatan.

 

Mereka adalah Kepala Staf TNI Angkatan Darat (KSAD) Jenderal Andika Perkasa, Kepala Staf TNI Angkatan Laut (KSAL) Laksamana Yudo Margono, dan Kepala Staf TNI Angkatan Udara (KSAU) Marsekal Fadjar Prasetyo.

 

Politik pergantian

 

Munculnya nama-nama kepala staf angkatan dalam bursa calon panglima TNI merupakan sesuatu yang wajar mengingat jabatan panglima dapat dijabat secara bergantian oleh perwira tinggi aktif dari tiap-tiap angkatan yang sedang atau pernah menjabat sebagai kepala staf angkatan (Pasal 13 Ayat 4 UU TNI No 34 Tahun 2004).

 

Oleh karena itu, setiap kepala staf angkatan memiliki peluang yang sama untuk menduduki jabatan panglima TNI. Pertanyaannya adalah siapa kepala staf angkatan yang akan ditunjuk oleh Presiden Jokowi untuk menduduki jabatan panglima TNI nanti?

 

Proses penggantian Panglima TNI merupakan agenda yang bersifat rutin di tubuh TNI demi berjalannya regenerasi dan reorganisasi TNI. Namun, pergantian panglima TNI kali ini akan jauh lebih kompleks mengingat tantangan internal dan eksternal yang makin beragam bagi TNI, dan tarik-menarik kepentingan politik antarkelompok di lingkaran politik Jokowi akan memberi pengaruh dalam proses penggantian panglima TNI ini. Posisi panglima TNI memiliki nilai yang strategis sehingga dimensi politik yang memengaruhinya cukup besar terjadi.

 

Secara normatif, proses penggantian panglima TNI merupakan hak prerogatif Presiden. Namun, berdasarkan UU TNI, calon panglima TNI yang dipilih Presiden wajib mendapatkan persetujuan DPR (Pasal 13 Ayat 6 UU TNI).

 

Calon panglima TNI yang diajukan Presiden akan mengikuti uji kepatutan dan kelayakan melalui proses di DPR, untuk kemudian ditetapkan dan dilantik oleh Presiden. Akan tetapi, jika DPR tidak menyetujui calon panglima yang diusulkan oleh Presiden, Presiden bisa mengusulkan satu orang calon lain sebagai pengganti (Pasal 13 Ayat 7 UU TNI).

 

Rentan politisasi

 

Dalam praktiknya, sejak UU TNI No 34 Tahun 2004 dibentuk, tidak pernah ada calon panglima TNI yang diajukan Presiden ke DPR mendapatkan penolakan dari para wakil rakyat itu. Hampir semua calon panglima TNI yang diajukan Presiden ke DPR selalu diterima oleh parlemen.

 

Lancarnya proses penggantian panglima TNI di DPR tidak terjadi dalam ruang yang kosong, tetapi diduga syarat dengan politik yang transaksional.

 

Hal itu terjadi pula dalam proses pemggantian kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) yang juga memerlukan persetujuan dari DPR, yang diduga juga kental dengan dimensi transaksionalnya.

 

Proses pengangkatan panglima TNI ataupun kepala Polri yang memerlukan persetujuan DPR rentan politisasi. Dinamika di DPR merupakan proses politik yang membawa pergantian panglima TNI dalam ruang politik sehingga tarik-menarik berbagai kepentingan politik terjadi dalam persetujuan panglima TNI.

 

Mekanisme uji kelayakan dan kepatutan akhirnya hanya menjadi sebatas mekanisme formalitas belaka sepanjang transaksi politik telah disepakati. Kondisi ini tentu mengancam independensi TNI dan begitu pula Polri dalam pergantian kepala Polri yang juga memerlukan persetujuan DPR.

 

Hal ini tentunya akan menjadi salah satu masalah dalam menciptakan TNI dan Polri yang profesional mengingat campur tangan politik sejak awal sudah terjadi dalam pergantian panglima TNI ataupun kepala, Polri.

 

Selain itu, proses politik di DPR dalam persetujuan panglima TNI ataupun kepala Polri secara langsung dan tidak langsung akan menjadi salah satu hambatan bagi parlemen untuk menjalankan fungsinya dalam melakukan pengawasan yang efektif terhadap TNI ataupun Polri. DPR akan cenderung bersikap permisif jika terjadi permasalahan atau penyimpangan di kedua institusi tersebut, yakni TNI dan Polri.

 

Persoalan ini semakin rumit mengingat wajah politik Indonesia yang oligarki sehingga proses penggantian panglima TNI hanya menjadi arena terbatas pertarungan kepentingan elite politik dan bukan digunakan sebagai momentum untuk memajukan kepentingan publik, semisal digunakan sebagai momentum untuk mendorong proses reformasi ataupun transformasi TNI.

 

Di dalam sistem presidensial, sebaiknya pengangkatan panglima TNI ataupun kepala Polri cukup melalui persetujuan Presiden saja tanpa memerlukan persetujuan DPR.

 

Jika dalam mengangkat seorang menteri pertahanan atau menteri lainnya Presiden tidak perlu mendapatkan persetujuan DPR, mengapa dalam penunjukan kepala Polri dan panglima TNI harus melalui persetujuan DPR? Di masa mendatang, otoritas politik perlu mengubah aturan-aturan yang terkait dengan mekanisme pergantian panglima TNI ataupun pergantian kepala Polri.

 

Rotasi panglima

 

Berdasarkan UU TNI No 34 Tahun 2004, posisi panglima TNI dapat dijabat secara bergantian (Pasal 13 Ayat 4). Memang undang-undang tersebut tidak menggunakan kata ”wajib”, tetapi menggunakan kata ”dapat”, tetapi aturan tersebut sesungguhnya menyiratkan kepada otoritas sipil untuk melakukan penggantian panglima TNI secara bergantian.

 

Pola rotasi dalam pergantian panglima TNI itu tentu akan sangat baik jika diterapkan untuk memperkuat soliditas dan konsolidasi di dalam organisasi TNI. Pola rotasi ini penting diberlakukan guna menghindari rasa kecemburuan dan ketidakadilan antar-angkatan mengingat di dalam organisasi TNI terdapat tiga angkatan, yakni Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara. Tentu dirasa tidak adil oleh angkatan tertentu jika posisi panglima TNI terus-menerus didominasi oleh satu angkatan.

 

Jika mengacu pada pola rotasi, panglima TNI yang akan berpotensi menggantikan Marsekal Hadi Tjahjanto berasal dari Angkatan Laut. Sebagaimana diketahui, Hadi Tjahjanto berasal dari Angkatan Udara. Sebelumnya, Panglima TNI berasal dari Angkatan Darat, yakni Jenderal Gatot Nurmantyo, dan sebelumnya lagi berasal dari Angkatan Darat, yakni Jenderal Moeldoko.

 

Dengan demikian, KSAL Laksamana Yudo Margono memiliki peluang yang besar menjadi panglima TNI jika Presiden menerapkan prinsip rotasi dalam pergantian panglima TNI.

 

Sementara itu, jika melihat masa usia pensiun, masa pensiun yang paling lama adalah KSAU Marsekal Fadjar Prasetyo yang akan memasuki pensiun kurang lebih tiga tahun lagi (tahun 2024).

 

Kedua, KSAL Yudo Margono yang akan memasuki pensiun kurang lebih dua tahun lagi (tahun 2023). Dan ketiga, KSAD Jenderal Andika Perkasa yang akan memasuki masa pensiun kurang lebih satu tahun lagi (tahun 2022).

 

Jika melihat dari masa pensiun, KSAU Fadjar Prasetyo dan KSAL Yudo Margono memiliki peluang besar menjadi panglima meski KSAD Andika Perkasa juga memiliki peluang walaupun pensiunnya satu tahun lagi, mengingat tidak ada indikator masa pensiun dijadikan syarat dalam pergantian panglima TNI.

 

Meski pergantian panglima TNI perlu mempertimbangkan pola rotasi, calon panglima TNI baru juga perlu dinilai rekam jejaknya, baik terkait dengan kinerja maupun kompetensinya. Calon panglima TNI adalah calon panglima yang bebas dari persoalan korupsi dan kasus pelanggaran HAM.

 

Lebih lanjut, proses penggantian panglima TNI semestinya dapat digunakan sebagai momentum untuk mendorong agenda reformasi dan transformasi TNI. Dalam konteks itu, Presiden diharapkan dapat memilih calon panglima TNI yang memiliki komitmen terhadap agenda reformasi dan transformasi TNI.

 

Selain itu, kondisi pandemi Covid-19 yang hingga kini belum berakhir memang membutuhkan upaya penanganan yang serius oleh pemerintah. Meski demikian, pergantian panglima TNI di tengah situasi tersebut tetap harus diletakkan dalam koridor yang semestinya. Adalah tidak tepat jika konteks pandemi digunakan sebagai alasan untuk mengunggulkan salah satu matra dalam proses penentuan panglima TNI.

 

Presiden tetap perlu berpijak pada pola rotasi dalam pergantian panglima TNI dengan terlebih dahulu mengecek ulang rekam jejak calon. Presiden perlu menghindari pertimbangan-pertimbangan yang bersifat politis dalam pemilihan panglima TNI karena akan berdampak pada konsolidasi, soliditas, dan profesionalisme TNI itu sendiri. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar