Sabtu, 24 Juli 2021

 

Berkurban Demi Cinta Kemanusiaan

Muhbib Abdul Wahab ;  Dosen Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Sekretaris Lembaga Pengembangan Pesantren PP Muhammadiyah

KOMPAS, 20 Juli 2021

 

 

                                                           

Perayaan Idul Adha dan ibadah kurban tahun ini tampaknya dilaksanakan dalam situasi sunyi karena pandemi Covid-19 belum berakhir. Angka positif Covid-19 masih cenderung meninggi, mencapai lebih dari 50.000 terindikasi positif per hari. Sejak tahun lalu, kita mengalami masa-masa sulit, karena terjadi pelambatan pertumbuhan ekonomi, peningkatan angka pengangguran dan kriminalitas, penurunan daya beli masyarakat, pelesuan dunia usaha, dan sebagainya.

 

Menjadi harapan kita semua bahwa badai pandemi dapat segera berlalu dengan bersatu padu dan berdisiplin positif mematuhi protokol kesehatan. Bagaimana memaknai spirit Idul Kurban sebagai titik balik kebangkitan dan sebagai media transformasi sosial ekonomi bangsa, terutama dalam mengatasi dampak sosial ekonomi akibat pandemi?

 

Merayakan Idul Kurban bukanlah sekadar penunaian ibadah ritual berupa salat berjamaah di tanah lapang, di masjid, atau di rumah. Berkurban juga tidak sebatas pengorbanan simbolik (symbolic sacrifice) dengan penyembelihan hewan kurban dan pendistribusian dagingnya kepada yang berhak menerima. Akan tetapi, esensi ibadah kurban adalah aktualisasi jiwa filantropi, kedermawanan sosial, dan cinta kemanusiaan dalam rangka pendekatan diri kepada Allah SWT.

 

Memaknai kurban

 

Secara semantik, ibadah kurban terkait dengan tiga kata kunci, yaitu  Adha (udhiyah), Nahr, dan Qurban. Dalam bahasa Arab, ketiganya membentuk keterpaduan makna (tarabuth dalali) dan pesan kemanusiaan mendalam. Kata adha atau udhiyah artinya binatang yang disembelih pada hari raya Idul Adha, 10 Zulhijah dan hari-hari tasyrik (11, 12, dan 13 Zulhijah), sedangkan nahr berarti menyembelih, mengalirkan darah hewan sembelihan. Adapun kata qurban berarti kedekatan dan pendekatan diri, baik pendekatan spiritual kepada Sang Khaliq maupun pendekatan sosial kemanusiaan dengan sesama.

 

Makna leksikal tersebut mengandung titik simpul spiritual bahwa berkurban adalah menyembelih hewan kurban pada hari raya Idul Adha dan hari-hari tasyrik dengan tujuan pendekatan diri kepada Allah SWT sekaligus kedekatan sosial kemanusiaan dengan sesama sebagai ekspresi iman, rasa syukur, dan ketaatan kepada-Nya atas kemurahan rejeki yang diberikan kepada pekurban.

 

Hakikat ibadah kurban bukan terletak pada prosesi penyembelihan hewan kurban dan pembagian dagingnya kepada yang berhak menerima. Akan tetapi, esensi berkurban adalah aktualisasi ujian keimanan, keikhlasan, kebersyukuran, ketaatan, dan kedermawanan dalam rangka mengembangkan soliditas, kohesivitas, dan sinergitas sistem sosial kemanusiaan yang membuahkan kedekatan vertikal dengan Allah dan kedekatan horizontal dengan sesama. Nilai kebajikan ibadah kurban sangat ditentukan oleh keikhlasan, ketaatan, dan ketakwaan pekurban (QS al-Hajj [22]: 37).

 

Menurut Muslim Hands dalam The Complete Story of Qurbani: Qurbani in the Qur’an and Hadith (2020), melalui kurban, kita menegaskan kembali apa yang terkadang kita lupakan dalam hiruk pikuk kehidupan sehari-hari, bahwa kita sepenuhnya milik Allah, tunduk kepada-Nya, dan harus rela mengorbankan apa pun yang diminta dari kita untuk dekat dengan-Nya dan mendapatkan keridaan-Nya, seperti yang pernah diteladankan Nabi Ibrahim AS.

 

Oleh karena itu, berkurban menghendaki totalitas ketulusan, kedermawanan, dan ketaatan kepada Allah sehingga tidak menyisakan ruang batin untuk “kalkulasi duniawi” untung rugi atau pencitraan diri. Sebab berkurban merupakan manifestasi kecintaan autentik tanpa syarat kepada Sang Kekasih yang Maha Pemberi. “Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu (Muhammad) nikmat yang sangat banyak. Karena itu, dirikanlah salat karena Tuhanmu dan berkurbanlah. Sesungguhnya, orang-orang yang membenci kamu dialah yang terputus.” (QS al-Kautsar [108]: 1-3).

 

Berkurban adalah bukti cinta sejati dan aktualisasi takwa pekurban. Ketika diminta menunjukkan bukti cinta dengan “menyembelih” anaknya, Ismail AS, tanpa ragu sedikitpun, Nabi Ibrahim AS bersikap sami’na wa atha’na, meskipun perintah menyembelih itu datang melalui mimpi (QS ash-Shaffat [37]:100-110). Bukankah anak yang dicintainya itu merupakan aset pemberian-Nya, bukan miliknya sendiri, sehingga harus diserahkan kepada Sang Pemberi ketika dimintanya?

 

Prosesi “penyembelihan” Ismail AS di lembah Mina yang sunyi ternyata bukan tanpa godaan dan rintangan. Perjuangan Ibrahim AS membuktikan cinta, ketaatan, dan ketakwaan kepada Allah SWT diprovokasi dan dihalang-halangi oleh setan. “Apakah engkau sudah gila, wahai Ibrahim AS, anak kesayanganmu akan mati di tanganmu sendiri?” Begitulah bujuk rayu setan untuk menggagalkan niat suci Ibrahim AS ketika akan mengeksekusi Ismail AS.

 

Setan memang musuh nyata manusia yang selalu membelokkan niat dan tujuan mulia untuk mendekatkan diri kepada Allah. Meskipun harus berpindah tempat sampai tiga kali dan setan yang menggoda itu telah dilempar batu berulang kali, hati Ibrahim bergeming, tetap tegus pendirian dan niat sucinya untuk menyembelih Ismail. Pembuktian cinta dan takwanya sukses akhirnya dijalankan dengan sepenuh hati. Sebagai apresiasi terhadap ketulusan dan kesabarannya dalam menerima ujian iman, Ibrahim diganjar Allah dengan penebusan seekor sembelihan yang besar; Ismail dibebaskan dari penyembelihan (QS ash-Shaffat [37]: 107).

 

Liberasi dan humanisasi

 

Kisah pengorbanan Ibrahim AS sejatinya sarat dengan pesan pembebasan (liberasi) dan pemanusiaan manusia (humanisasi). Dalam Sacrifice in Judaism, Christianity, and Islam (2017), David L Weddle berkesimpulan bahwa masing-masing agama Ibrahim ini telah menggunakan simbol pengorbanan yang dalam dengan caranya sendiri, tetapi semua telah mengangkatnya sebagai cita-cita agama dan moral. Setidaknya, pengorbanan sebagai pemberian diri untuk kesejahteraan manusia (amal kemanusiaan) tidak memiliki sejarah berdarah seperti pengorbanan untuk kesempurnaan transenden abstrak.

 

Ketika Ismail tidak jadi disembelih dan diganti dengan hewan sembelihan, sejatinya Allah menghendaki tradisi penumbalan manusia atas nama dewa atau penguasa itu dihentikan. Manusia tidak selayaknya dikorbankan. Hak hidup manusia harus dilindungi dan dijaga. Manusia harus dibebaskan dari tradisi pengorbanan dan kriminalisasi.

 

Sebaliknya, yang layak dikorbankan adalah binatang. Yang harus disembelih adalah sifat-sifat kebinatangan yang “memenjarakan” kemerdekaan manusia sebagai makhluk mulia. Karakter egois, rakus, tamak, dengki, iri hati, ingin menang sendiri, watak menghalalkan segala cara, kikir, kejam, dan sebagainya harus disembelih dan dienyahkan; lalu diganti dengan karakter positif: empati, simpati, berjiwa filantropi, rela berbagi, mengasihi, menghormati, dan mencintai demi kemanusiaan sejati.

 

Di masa pandemi ini, Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah memfatwakan bahwa berkurban hewan dapat dialihkan dalam bentuk donasi finansial kemanusiaan (sedekah) untuk menolong warga bangsa yang secara sosial ekonomi terdampak Covid-19. Spirit berkurban dalam bentuk sikap empati dan kerelaan berbagi rejeki kepada sesama sesuai dengan kemampuan diyakini menjadi solusi strategis terhadap krisis kemanusiaan yang serius, seperti: kekurangan pangan dan gizi, kelesuan ekonomi, kemiskinan, kerawanan dan konflik sosial, hingga kematian akibat tidak mendapat layanan kesehatan.

 

Dengan kata lain, berkurban di masa pandemi ini sangat penting diaktualisasikan dalam rangka menumbuhkembangkan cinta kemanusiaan dalam bentuk liberasi dari segala bentuk penyakit hati seperti: rakus, korup, tamak, egois, kikir, asosial, dan sebagainya menuju humanisasi kehidupan berbangsa dan bernegara dengan spirit mengasihi sesama. Berkurban demi cinta kemanusiaan merupakan bentuk keteladanan profetik yang perlu diwujudkan dengan menggelorakan spirit filantoropi, kepedulian, dan kedermawanan sosial.

 

Berkurban demi cinta kemanusiaan tidak hanya berorientasi penyelamatan masa depan manusia dalam bentuk liberasi dan humanisasi, tetapi juga melejitkan spirit transendensi, pendekatan diri secara vertikal kepada Allah dan pendekatan horizontal dengan sesama. Oleh karena itu, pandemi ini harus menyadarkan semua untuk semakin bersatu dan bersinergi dengan ketulusan berkurban jiwa, raga, dan harta benda untuk menyelamatkan negeri dari segala keterpurukan dan krisis kemanusiaan. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar