Minggu, 25 Juli 2021

 

Menjaga Gairah Film Indonesia melalui FFI

Riri Riza ;  Sutradara film, Dosen IKJ, Pendiri Rumata'artspace Makassar

KOMPAS, 25 Juli 2021

 

 

                                                           

Festival Film Indonesia adalah bagian penting dari sejarah film dan kebudayaan Indonesia. Adalah Usmar Ismail dan Jamaluddin Malik, dua penting bapak pendiri film Indonesia, yang melihat bagaimana kehadiran sebuah festival film berskala nasional merupakan suatu bagian yang melengkapi budaya film secara utuh. Bersama beberapa seniman, pekerja film, dan wartawan, keduanya menginisiasi Festival yang awalnya bernama Pekan Apresiasi Film Nasional pada tahun 1955.

 

Sejak awal tujuan FFI adalah menjadi perhelatan dimana pencapaian film Indonesia selama setahun di evaluasi, para pembat film berkumpul untuk berjejaring dan film film diputar di bioskop bergengsi Jakarta. Dilakukan pula penjurian yang memilih para pembuat film terbaik. Film film pemenang akan mewakli Indonesia di ajang Festival Film Asia . Jika kita menilik kembali sejarah film Indonesia nama-nama paling berpengaruh dalam sejarah perfilman Indonesia seperti Wim Umboh, Ami Priyono, Turino Djunaedi, Bing Slamet, Soekarno M. Noer, Arifin C. Noer, Sjuman Djaja, Teguh Karya, Eros Djarot, dan Garin Nugroho adalah mereka yang berprestasi di FFI.

 

FFI tidak hanya menjadi momentum bagi para pembuat film untuk mendapatkan apresiasi publik yang lebih luas, namun juga membuka kesempatan yang lebih besar bagi untuk dapat berkarya secara lebih berkelanjutan. Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa Piala Citra adalah salah satu penghargaan tertinggi bagi pekerja film di Indonesia.

 

Dalam penyelenggaraannya kemudian, FFI tidak dapat dilepaskan dari konteks politik dan pengaruh kekuasaan yang melingkupi infrastruktur perfilman Indonesia. Pada masa Orde Baru, FFI diselenggarakan oleh lembaga regulator perfilman yang adalah institusi pemerintah, dengan Ketua Dewan Film yang juga pejabat Departemen Penerangan sebagai penanggung jawab tertinggi penyelenggara. Dukungan pendanaan FFI berasal hampir sepenuhnya dari pemerintah pusat atau daerah yang menjadi tuan rumah pelaksana. Sistem penjurian bersifat tertutup, dengan juri yang terdiri dari perwakilan organisasi profesi yang memiliki afiliasi dengan kekuasaan, seperti Persatuan Wartawan Indonesia bidang Film, Persatuan Produser Film Indonesia, dan Persatuan Artis Film Indonesia (PARFI) yang memiliki basis massa yang luar biasa besar.

 

Film yang boleh didaftarkan untuk mengikuti festival adalah film yang memenuhi kriteria umum, seperti memiliki izin, sudah disensor, dan tidak bertentangan dengan ideologi pembangunan pemerintah. Saat itu, anugerah utama Piala Citra untuk film terbaik bahkan diserahkan langsung oleh Menteri Penerangan dalam seremoni paripurna diiringi lagu Citra karya Cornel Simanjuntak dan Usmar Ismail yang fenomenal itu.

 

FFI berhenti terselenggara pada tahun 1993 karena kualitas film yang menurun, berlanjut dengan krisis ekonomi dan politik yang berujung jatuhnya presiden Soeharto. 'Orang film' di akhir era Orde Baru seolah kehilangan induk pasca pembubaran Departemen Penerangan. FFI praktis vakum selama satu dekade.

 

Sejak kembali diselenggarakan pada tahun 2004, FFI selalu berujung kontroversi. Orang filmPenyelenggara FFI canggung beradaptasi dengan generasi baru perfilman pasca reformasi yang penuh semangat membuat film dengan warna baru. Sistem seleksi dan penjurian pun gagap merespons film-film Indonesia baru yang lebih 'urban' dan terbuka, yang berbeda sama sekali dengan tradisi teater dan sastra dari generasi pembuat film di era Orde Baru. Belum lagi penyelenggaraan acara yang tidak lagi sesuai dengan selera generasi baru pembuat film Indonesia.

 

Bahkan pasca FFI 2006, terjadi protes besar dengan pengembalian lebih dari 20 Piala Citra oleh para pembuat dan komunitas film reformis, yang menyebut diri mereka Masyarakat Film Indonesia. Sebuah periode yang melelahkan dilalui oleh masyarakat film, yang juga terdiri dari pegiat perfilman seperti arsiparis, kritikus, penyelenggara festival, hingga komunitas penonton film, sampai mereka mengajukan peninjauan Undang undang perfilman no.8 Tahun 1992 ke Mahkamah Konstitusi. Peristiwa yang menentukan dalam proses perubahan undang undang perfilman dan FFI kemudian.

 

Pelaksanaan Undang-Undang Perfilman No 33 Tahun 2009 oleh pemerintah mendorong lebih luas peran masyarakat film dalam perfilman Indonesia. Sesuai amanat Undang undang terbentuklah Badan Perfilman Indonesia (BPI), lembaga mandiri yang menjadi wadah bagi sekian banyak asosiasi profesi dan komunitas dalam ekosistem perfilman mendorong iklim perfilman yang lebih terbuka dan berdampak langsung pada penyelenggaraan FFI. Keterlibatan organisasi dan masyarakat perfilman dalam setiap tahapan penyelenggaraan pun kemudian menjadi bagian penting dari FFI.

 

Pelibatan berbagai asosiasi profesi dan komunitas film tersebut mewarnai proses penjurian FFI yang sebelumnya tertutup dan terpusat. Sejak tahun 2014, berbagai asosiasi pekerja film yang terbentuk berdasarkan profesi seperti Asosiasi Produser Film (Aprofi), Indonesian Film Director Club (IFDC), Penulis Indonesia untuk Layar Lebar (Pilar), Rumah Aktor Indonesia (RAI), Indonesian Cinematographers Society (ICS), Indonesian Film Editors (Inafed), dan berbagai asosiasi lain, serta juga komunitas perfilman dokumenter (Indocs) dan film pendek (Boemboe Forum) menjadi 'pemain utama' dalam berbagai tahapan penyelenggaraan FFI. Mulai dari seleksi awal yang merekomendasikan daftar panjang, penyeleksian film nominator, hingga menjadi bagian dari juri / voters penentu pemenang Piala Citra melalui sistem voting secara online.

 

Sistem penjurian akhir FFI dilakukan oleh puluhan juri yang disebut sebagai FFI member, yang terdiri dari para pembuat film yang pernah menjadi nominator dan memenangkan Piala Citra sebelumnya. Proses penjurian akhir menjadi ruang pembuktian kredibilitas para juri dalam memilih film-film terbaik dari masihg masing kategori. Gelar sebagai FFI member menjadi sebuah kehormatan yang diperjuangkan oleh setiap insan film Indonesia dan mendorong mereka untuk turut bertanggung jawab dalam menjaga kelangsungan film-film Indonesia berkualitas. Setiap pekerja film yang terlibat pun didorong untuk terus menerus memperbaiki kualitas kerjanya karena hal tersebut menentukan hasil FFI setiap tahunnya.

 

Berbagai upaya terus dilakukan untuk meningkatkan kualitas penjurian. Selain FFI member, penyelenggara FFI juga melibatkan juri tambahan khusus dalam jumlah terbatas. Mereka adalah penilai film yang tidak datang dari dunia profesi pembuat film, namun memiliki rekam jejak sebagai peminat film atau budaya. Terdiri dari wartawan, seniman, bahkan pegiat isu-isu kemanusiaan, juri-juri khusus ini terpilih melalui serangkaian pertimbangan untuk turut memberikan penilaian bagi karya yang akan meraih Piala Citra. Proses ini turut memberikan kedalaman pada proses penjurian dan membuka peluang bagi masyarakat yang lebih luas untuk berpartisipasi dalam FFI.

 

Pelibatan lembaga akuntan publik dalam proses voting pun turut meningkatkan kredibilitas hasil penjurian. Hasil dari sistem penjurian yang lebih terbuka dan akuntabel ini menghasilkan penerimaan yang lebih baik dari berbagai kalangan. Film-film yang menerima penghargaan dalam FFI pun semakin banyak diakui dalam festival-festival film internasional. Para generasi baru seperti Rako Priyanto, Mouly Surya, Ifa Isfansyah, Edwin, dan Adrianto Dewo adalah sebagian nama yang meraih Piala Citra di era FFI yang selain lebih terbuka juga lebih bermakna.

 

Tentu saja, tetap ada beberapa hal yang perlu diperhatikan untuk meningkatkan kualitas dari proses seleksi dan penjurian FFI. Sistem voting masih perlu dibenahi. Salah satu tantangan utama adalah mengupayakan agar FFI member menonton semua film nominasi sebelum melakukan voting. Sebagian besar juri adalah pekerja film aktif yang sulit memenuhi jadwal pemutaran film nominator di bioskop. Diperlukan kreatifitas dan kerjasama dalam hal ini, misalnya dengan mendorong partisipasi produser film nominator atau memanfaatkan saluran pemutaran digital yang kini luas tersedia.

 

Di tengah puncak penyebaran COVID-19, FFI tetap dapat dilaksanakan pada kuartal terakhir tahun 2020. Prosedur seleksi, nominasi, hingga penjurian akhir dapat berjalan sesuai harapan di tengah berbagai keterbatasan protokol kesehatan untuk bisa berkumpul seperti layaknya sebuah festival. Meski demikian, apresiasi terhadap penyelenggaraan anugerah Piala Citra banyak diungkapkan publik dan juga pembuat film. Film film yang berhasil memenangkan piala Citra pada FFI 2020 juga diamini oleh masyarakat film dan publik umumnya.

 

Adalah menggembirakan karena akhirnya FFI menjadi ruang rekognisi dan apresiasi yang memberi peran penting bagi pembuat dan komunitas film untuk terus membangun dan menjaga perfilman Indonesia. Pada komite penyelenggara FFI yang baru terpilih kita berharap besar agar FFI tetap melanjutkan sistem yang telah berjalan baik, serta terus menyempurnakannya. Sebagai bagian dari sejarah perfilman Indonesia yang telah melintas berbagai perubahan sejarah dan politik, kita berharap agar FFI tak hanya dapat menjadi sebuah perayaan prestasi dunia film, namun juga senantiasa menjadi bagian penting bagi perkembangan budaya film Indonesia. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar