Di
Balik Komunikasi Jokowi soal PPKM Darurat: Ragu dan Tak Efektif Andrian Pratama Taher ; Jurnalis Tirto.id |
TIRTO.ID, 22 Juli 2021
"Jika tren kasus
terus mengalami penurunan maka 26 Juli 2021 pemerintah akan melakukan
pembukaan secara bertahap" Hal tersebut dilontarkan
Presiden Jokowi, Selasa (20/7/2021) malam atau tepat hari terakhir
pelaksanaan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) Darurat
Jawa-Bali. Dalam paparan tersebut,
Jokowi menyampaikan sejumlah arah kebijakan pemerintah di masa depan.
Pemerintah membolehkan penjualan bahan pokok dengan izin pengunjung dibuka
maksimal 50 persen, pasar tradisional diperbolehkan buka sampai pukul 15.00
WIB dengan protokol kesehatan (prokes) ketat. Kemudian, Jokowi
menyatakan pedagang kaki lima, toko kelontong, outlet voucher usaha lain
sejenis diizinkan buka dengan prokes ketat hingga pukul 21.00 WIB. Kemudian
warung makan, pedagang kaki lima, lapak jajanan juga dibolehkan buka hingga
pukul 21.00 WIB dan dibolehkan makan di tempat selama 30 menit. Ia lantas menyampaikan
program obat gratis untuk para orang tanpa gejala (OTG) sebanyak 2 juta paket
obat hingga angka alokasi anggaran dana perlindungan sosial hingga Rp55,21
triliun. Namun dari beragam
keterangan tersebut, Jokowi tidak menyampaikan pernyataan spesifik soal
kelanjutan PPKM darurat atau tidak. Keterangan pernyataan PPKM darurat baru
tegas disampaikan dalam akun media sosial Twitter Jokowi @Jokowi. Ia baru
menyebut soal perpanjangan PPKM darurat. "Pemerintah
memutuskan untuk melanjutkan PPKM Darurat sampai 25 Juli 2021. Jika tren
kasus COVID-19 terus menurun, maka mulai 26 Juli 2021 dilakukan pembukaan
bertahap beberapa jenis kegiatan perekonomian," bunyi cuitan ditambah
dengan video penjelasan Jokowi. Tepat sehari kemudian,
Rabu (21/7/2021), Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) merilis dua aturan
yakni Instruksi Menteri Dalam Negeri (Inmendagri) Nomor 22 Tahun 2021 tentang
PPKM Level 4 Jawa dan Bali. Sedangkan perpanjangan PPKM mikro diatur dalam
Inmendagri Nomor 23 tahun 2021 tentang PPKM Berbasis Mikro. Dalam kedua Inmendagri
yang diterbitkan 20 Juli 2021 itu menyatakan ketentuan soal kedua PPKM
berlaku hingga 25 Juli 2021. Namun, kata PPKM darurat berubah menjadi istilah
PPKM Level 4 Jawa-Bali. "Instruksi Menteri
ini mulai berlaku pada 21 Juli 2021 sampai dengan 25 Juli 2021," bunyi
diktum ke-13 Inmendagri 22 tahun 2021 maupun diktum ke-23 Inmendagri 23 tahun
2021 sebagaimana dilihat Tirto, Rabu (21/7/2021). Substansi penerapan PPKM
darurat dengan konsep PPKM level 4 maupun PPKM mikro tidak banyak berubah. Untuk penerapan PPKM Level
3 dan 4 di Jawa Bali aturan berlaku sama dan diatur dalam Inmendagri 22 Tahun
2021. Sedangkan di Inmendagri 23 tahun 2021, ada sedikit perbedaan penerapan
untuk PPKM Level 3 dan 4. Kebijakan
Ragu-Ragu akibat Akali Aturan di Masa Lalu Ahli kebijakan publik
Universitas Trisakti Trubus Rahardiansyah menilai pernyataan Jokowi terkait
perpanjangan PPKM Darurat seperti sedang melakukan uji respons publik. Jokowi
ingin tahu respons publik dengan tidak memperpanjang PPKM darurat. Dugaan
lain yang dilihat Trubus adalah presiden mengalami tekanan dalam melanjutkan
atau tidak kebijakan PPKM darurat sehingga pesan yang disampaikan tidak utuh. "Ada kepentingan, ada
kelompok tertentu yang memaksa lanjut tapi juga di satu sisi ada
kelompok-kelompok tertentu minta berhenti. Jadi dia sendiri dalam hatinya
enggak yakin dengan kebijakan PPKM darurat itu, setengah hati, gamang dengan
kebijakan sendiri," kata Trubus kepada Tirto, Rabu (21/7/2021). Trubus menilai kegamangan
sudah sejak awal dengan pemerintah mengubah-ubah kebijakan penanganan
COVID-19 dari Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), PSBB ketat, PSBB
transisi, kemudian PPKM, PPKM mikro, penanganan berbasis komunitas, PPKM
darurat hingga PPKM level 4. "Itu semua karena
kebingungan untuk menghindari istilah gugatan publik. Jadi dia (Jokowi) yakin
ini (kebijakan penanganan COVID) enggak efektif, dia tahu ini enggak
efektif," kata Trubus. Kegamangan tersebut lantas
berimbas kepada penanganan di lapangan. Tidak sedikit daerah mengalami
kesulitan dalam penanganan COVID dan mulai menyuarakan ketidakcocokan dengan
metode pemerintah. Ia mencontohkan bagaimana
Inmendagri sebagai acuan pelaksanaan PPKM darurat bisa berubah hingga 5 kali
dalam dua minggu. Perbedaan pemahaman soal aturan ini memicu psikologi
pelaksanaan di lapangan berbenturan antara rakyat dengan petugas lapangan. Trubus mengaku,
permasalahan penanganan pandemi sudah sejak awal. Ia melihat, pemerintah
sudah berusaha menjauhi dari Undang-Undang Nomor 6 tahun 2018 tentang
Kekarantinaan Kesehatan. Pemerintah menghindari pelaksanaan karantina sesuai
pasal 9 UU Kekarantinaan Kesehatan soal karantina wilayah, tetapi lebih
menggunakan pendekatan pasal 10 UU Kekarantinaan Kesehatan lewat program
PSBB. "Sejak awal
Undang-undang nomor 6 tahun 2018 yang menandatangani siapa? Pak Jokowi
sendiri. Kok kenapa dia enggak mau menggunakan undang-undang itu dalam
menyelesaikan soal COVID?" tanya Trubus. Kini, kata Trubus,
pemerintah hanya bisa melakukan dua hal setelah mengubah kebijakan. Pertama,
pemerintah harus memperketat pengawasan sesuai aturan yang diterbitkan.
Tantangan terbesar pemerintah adalah bagaimana mengawasi sektor-sektor
setelah dibuka pemerintah. Ia beralasan, klaster penyebaran COVID tidak lagi
di sektor publik, tetapi lebih pada sektor keluarga. "Yang kedua adalah
law enforcement. Penegakan hukum bisa enggak? Kalau ini bisa, ya jalan
(program PPKM level 4), kalau enggak bisa ya sudah," kata Trubus. Jokowi
Niat Beri Pesan Positif, Tetap Saja Dimaknai Negatif Ahli komunikasi politik
dari Universitas Padjajaran Kunto A. Wibowo melihat Jokowi tengah melakukan
langkah-langkah komunikasi politik. Jokowi tengah berusaha membangun semangat
positif dengan tidak ada PPKM lagi di masa depan dan berjanji tidak ada lagi
PPKM. "Yang dilakukan oleh
Jokowi adalah melakukan manajemen harapan sehingga dia lebih banyak berbicara
pelonggaran PPKM darurat dan pembukaan tempat makan, pasar, dan lain-lain
yang sebenarnya itu adalah seperti memberikan harapan bahwa kita sebentar
lagi sudah normal lagi, enggak ada PPKM darurat," kata Kunto kepada
Tirto, Rabu (21/7/2021). "Jadi ya secara
politik ini adalah janji politik," tegas Kunto. Namun, Kunto melihat janji
politik Jokowi ini berbeda. Ia khawatir, desakan untuk tidak berbicara soal
PPKM muncul dari lingkaran Jokowi yang ingin mengedepankan masalah ekonomi
daripada penanganan kesehatan. Bagi Kunto, narasi
tersebut tidak heran dikeluarkan Jokowi karena pemerintahan Jokowi memang
mengedepankan ekonomi daripada penanganan kesehatan. Kunto pun tidak melihat
aksi Jokowi sebagai upaya untuk menarik simpati publik. Sebagai catatan, hasil
salah satu lembaga survei, Lembaga Survei Indonesia (LSI) menemukan kepercayaan
publik turun hingga di bawah 50 persen. Kunto justru melihat
permasalahan kepercayaan publik berawal dari ketidakmampuan pemerintah dalam
menangani COVID. Rakyat, kata Kunto, secara langsung merasakan penderitaan
permasalahan penanganan COVID-19 di Indonesia seperti ketidakmampuan rumah
sakit menangani pasien serta kebingungan rakyat dalam merespons pandemi
sementara pemerintah tidak memberikan informasi dengan jelas. Kunto menegaskan, gaya
komunikasi pemerintah buruk sejak awal. Ia mengacu kepada pendekatan
pemerintah sejak awal dalam menyampaikan soal pandemi COVID. Ia mengungkit
salah satu momen ketika Kantor Staf Kepresidenan ingin agar komunikasi
pemerintah tentang COVID berupaya menghindari kepanikan. Hal tersebut, kata
Kunto, berbanding terbalik dengan jurnal ilmiah komunikasi bahwa komunikasi
di saat manajemen krisis justru lebih baik bersifat transparan. Kedua adalah pendekatan
pemerintah sejak awal menekankan 80 persen non-kesehatan daripada kesehatan
yang hanya 20 persen. "Sebenarnya bukan
warga yang dikhawatirkan panik, yang panik itu adalah yang punya industri
pelaku pasar besar yang takut bahwa dengan PPKM segala macam keuntungan
mereka akan jadi berkurang. Jadi menurut saya publik mana yang diserve
pemerintah jadi bermasalah dalam komunikasi publik masa pandemi," kata
Kunto. Kunto menuturkan, situasi
ketidakpercayaan semakin membesar dengan sikap ambigu pemerintah. Pemerintah
justru mengubah-ubah kebijakan dalam penanganan COVID lewat perubahan status
PPKM darurat menjadi PPKM level 4. Bagi Kunto, "Ini
(perubahan istilah dari PPKM darurat ke PPKM level 4) juga yang bikin
komunikasi tidak efektif, ganti-ganti istilah sehingga makin tidak jelas apa
substansinya," kata Kunto. Kini, Kunto melihat
situasi apapun sulit mengembalikan kepercayaan publik. Kunto menilai
satu-satunya cara untuk memperbaiki kepercayaan publik pada pemerintah adalah
dengan memperbaiki pelayanan. Ia melihat tidak ada metode lain, termasuk
perbaikan metode komunikasi, dalam memperbaiki citra pemerintah di mata
publik. "Kalaupun komunikasi
bagus, minta maaf seribu kali kek mau kemudian membuat janji-janji yang luar
biasa, mau blusukan tapi kalau tetap banyak korban di warga gara-gara COVID
ya komunikasi sebagus apapun tidak akan bisa meredam itu (kekesalan publik
kepada pemerintah)," kata Kunto. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar