Rabu, 28 Juli 2021

 

Literasi Abad Ke-21

Ratih D Adiputri ;  Penulis Buku "Sistem Pendidikan Finlandia" (Gramedia, 2019) dan pengajar di Universitas Jyväskylä, Finlandia

KOMPAS, 27 Juli 2021

 

 

                                                           

Momen kebangkitan nasional tahun ini, 20 Mei 2021, diperingati Indonesia dengan meluncurkan secara resmi program nasional literasi digital yang diinisiasi oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika bekerja sama dengan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi. Program nasional ini bertujuan ”Indonesia makin cakap digital”.

 

Tonggak sejarah (milestone) yang ingin dicapai ialah menjangkau 125 juta lebih peserta program literasi digital sampai akhir 2024. Program ini dirancang sedemikian rupa sehingga mencangkup empat pilar literasi digital, yaitu digital skills, digital culture, digital ethics, digital safety.

 

Menurut sumber video Kominfo itu, literasi digital—yang dikutip dari UNESCO (walau tanpa tahun dan dokumen rujukan)—adalah ”kemampuan individu untuk mengakses, memahami, membuat, mengomunikasikan, dan mengevalusi informasi melalui teknologi digital yang bisa diterapkan dalam kehidupan ekonomi dan sosial”.

 

Acara peluncuran program tersebut merupakan momen yang sangat membanggakan. Namun perlu dipahami, bahwa literasi digital sebenarnya hanya satu keterampilan abad-21, yang disebut keterampilan transversal.

 

Keterampilan transversal

 

Menurut Jari Lavonen (2020), yang menulis artikel berjudul Reformasi Kurikulum dan Pendidikan Guru di Finlandia yang Mendukung Kompetensi di Abad Ke-21, ada tujuh kategori keterampilan transversal ini, yaitu: (1) mandiri, mampu menata hidup sehari-hari; (2) multiliterasi; (3) kompetensi digital; (4) kompetensi kehidupan kerja/entrepreneurship; (5) partisipasi keterlibatan membangun masa depan yang berkelanjutan; (6) berpikir dan belajar sepanjang hayat; dan (7) kompetensi budaya, interaksi dan ekspresi. Keterampilan transversal tidak hanya digital karena kompetensi digital hanyalah salah satu diantara keterampilan di abad ini yang diperlukan kita semua, khususnya generasi muda penerus bangsa.

 

Belum lagi, Yuval Noah Harari (2018) mengingatkan di dalam bukunya 21 Lessons for the 21st Century (2018), bahwa pendidikan di masa depan hendaknya mengadopsi 4-C: critical thinking (pemikiran kritis), communication (komunikasi), collaboration (kolaborasi), dan creativity (kreativitas). Intinya, sekolah mulai tidak menonjolkan keterampilan teknis digital— karena nantin komputer dan aplikasi teknologi yang akan melakukannya untuk kita—namun lebih menekankan keterampilan menghadapi perubahan hidup dengan banyaknya informasi, selalu terbuka untuk terus mau belajar, dan menjaga keseimbangan mental dalam situasi yang tidak menentu.

 

Dalam penelitian Maynard (2019) mengenai pengajaran dan pembelajaran transformatif, kerangka kerja pembelajaran abad ke-21 menekankan meta knowledge, humanistic knowledge, dan foundational knowledge. Dan bagi saya, ilmu humanistik (humanistic knowledge) yang menekankan etika, kesadaran emosi, kompetensi budaya, amat penting bagi Indonesia yang kaya akan budaya lokal, keramahtamahan, dan kebaikan.

 

Tambahan lagi, OECD, organisasi penyelenggara tes PISA, merekomendasikan bahwa agar bisa berhasil dalam hidup dan menjadi warga masyarakat dunia yang berguna di abad ke-21 seseorang idealnya memiliki kompetensi yang mencakup tiga kategori besar. Seorang individu diharapkan (1) mampu menggunakan pelbagai alat (bahasa, teknologi, dll) secara interaktif, (2) mampu berinteraksi dalam grup yang heterogen, dan (3) mampu bertanggung jawab untuk menata kehidupannya sendiri, secara mandiri dan dalam konteks sosial yang lebih besar (dalam The Definition and Selection of Key Competencies).

 

Hal tersebut berarti, setiap individu harus mampu membedakan cara berpikir yang mencakup pemikiran kritis, pemikiran kreatif, mempelajari (learning). Kemudian, mampu membedakan cara bekerja, yaitu bertanya, pemecahan masalah, komunikasi, dan kolaborasi. Setiap individu juga harus mampu membedakan alat bekerja, yang berisi literasi informasi, keterampilan teknologi dan literasi media. Selain itu juga mampu membedakan perilaku di dunia atau seseorang sebagai warga negara lokal dan global, kesadaran budaya dan tanggungjawab sosial.

 

Literasi digital saja tidak cukup

 

Untuk mewujudkan kompetensi transversal dan keterampilan di abad ke-21 tersebut, menurut Lavonen (2020) dalam sumber/referensi yang sama, terdapat tantangan-tantangan yang meliputi empat tingkatan. Pertama, di tingkat siswa, contohnya: menurunnya tujuan pembelajaran dan minat dalam karir STEM (science, technology, engineering, math). Kedua, di tingkat kelas, misalnya, ada tantangan dalam proses belajar berkolaborasi, tantangan proses belajar mengajar di kelas yang heterogen dan multikultural, penggunaan teknologi dalam belajar, dll.

 

Ketiga, di tingkat sekolah dan tingkat kota: adanya variasi dalam pembelajaran sekolah, kurangnya kolaborasi guru, perlunya dukungan portal pembelajaran yang baik. Keempat, di tingkat kompetensi guru, misalnya kurangnya orientasi inovasi dan pedagogi, kurangnya kesempatan mengembangkan profesi diri di sekolah, dll. Dan kelima, di tingkat sosial, misalnya banyaknya siswa yang putus sekolah, meningkatnya ketimpangan sosial, pengaruh digital (seperti media sosial), pentingnya dukungan pencarian kerja, dukungan untuk pembangunan berkelanjutan.

 

Tantangan ini dihadapi banyak negara di dunia, termasuk di Indonesia. Perlu kemampuan, tekad, dan komitmen pemerintah yang kuat untuk mencapai kemajuan pendidikan bangsa, salah satunya dengan mempercepat pembelajaran keterampilan transversal, tidak hanya literasi digital.

 

Semua pihak harus mengingat bahwa walau aktif di dalam jaringan dan menggunakan teknologi digital, kita tetap membutuhkan makan, minum, tidur. Artinya kita tetap memerlukan mandi, buang air, dan mengatur sampah, untuk keberlangsungan hidup kita. Belum lagi, kita juga tetap memerlukan listrik untuk mengisi daya alat elektronik kita dan sinyal yang bagus untuk masuk ke dalam jaringan (online). Pemerintah harus menyediakan semua itu untuk warga negaranya. Kebutuhan sebagai makhluk hidup tetap harus ada.

 

Jangan sampai fokus kita ke literasi digital melupakan hal-hal kemanusiaan kita karena pertemuan tatap muka tetap diperlukan. Kemampuan literasi di bidang apapun intinya mengembangkan kita sebagai manusia untuk berpartisipasi aktif dalam kehidupan publik, komunitas, dan ekonomi. Untuk itu, kemampuan literasi digital saja tidak cukup, namun hendaknya kita bertujuan untuk mengembangkan keterampilan transversal kita, agar menjadi warga negara dunia yang terampil di dunia abad ke-21. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar