Sabtu, 24 Juli 2021

Mengawal Efektivitas Program Bantuan Sosial

Bagong Suyanto ;  Dekan FISIP Universitas Airlangga

JAWA POS, 22 Juli 2021

 

 

                                                           

PERPANJANGAN penerapan kebijakan PPKM darurat niscaya akan melahirkan berbagai masalah baru jika tidak diantisipasi dengan baik. Presiden Joko Widodo telah memerintahkan Menko Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan untuk memastikan agar tidak ada rakyat yang kelaparan karena kebijakan PPKM darurat.

 

Pernyataan presiden ini bukan tanpa dasar. Sejak pandemi Covid-19 merambah ke berbagai daerah, nyaris semua lini kehidupan terpengaruh. Penerapan kebijakan PPKM darurat menyebabkan tidak ada lagi daya tahan masyarakat yang tersisa. Masyarakat yang semula aktivitas perekonomiannya kembali menggeliat, kini gairah itu kembali surut. Di berbagai daerah, penerapan pembatasan mobilitas sosial masyarakat dan pembatasan jam operasional pasar tradisional, warung, PKL, dan sebagainya membuat denyut perekonomian kembali kolaps.

 

Bagi masyarakat yang mengandalkan penghasilan harian, dampak penerapan kebijakan PPKM darurat sangat terasa. Mereka tidak lagi memiliki sumber pemasukan yang bisa diandalkan. Kebutuhan hidup sehari-hari terasa makin berat. Bahkan mustahil dipenuhi akibat tidak adanya tabungan yang tersisa. Tanpa dukungan program bantuan sosial dari pemerintah, sepertinya tidak ada lagi harapan yang bisa diandalkan.

 

Rawan Penyimpangan

 

Seperti diketahui, presiden telah menetapkan perpanjangan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) darurat hingga 25 Juli 2021. Agar tidak menyengsarakan masyarakat, kebijakan yang bertujuan untuk menekan laju persebaran Covid-19 itu diiringi percepatan dan perluasan program bantuan sosial. Dana yang disiapkan mencapai Rp 55 triliun.

 

Sebagian dirupakan dalam bentuk bantuan sosial tunai (BST) yang menyasar 10 juta penerima bantuan dan penerima bantuan pangan nontunai (BPNT) sebanyak 18,8 juta. Selain itu, program bantuan sosial menyasar penerima program keluarga harapan (PKH) sebanyak 10 juta. Anggaran Rp 55 triliun juga akan disalurkan untuk subsidi listrik, bantuan kuota bagi siswa, bantuan dalam bentuk beras, dan lain-lain.

 

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dilaporkan akan memberikan pengawalan terhadap seluruh penyaluran bantuan sosial Covid-19. Lembaga antirasuah itu telah menegaskan dan meminta pemerintah bersikap transparan dan akuntabel terkait dengan penyaluran dana bantuan sosial.

 

Pelibatan KPK dalam mengawal penyaluran bantuan sosial ini bukan tanpa alasan. Belajar dari pengalaman tahun-tahun sebelumnya, penggunaan dana bantuan sosial rawan dikorupsi. Seperti kasus menteri sosial sebelumnya, penyaluran dana bansos ternyata menjadi bancaan sejumlah elite politik. Alih-alih menyalurkan bantuan sosial dengan benar, justru dalam praktik sebagian dana ditilap untuk kepentingan politik maupun kepentingan pribadi.

 

Meski mekanisme penyaluran bantuan sosial telah dirancang sedemikian rupa, bukan berarti tidak ada kemungkinan kebocoran kembali terjadi. Dalam program pemberian bantuan tunai, misalnya, tidak semua penerima bansos tunai memiliki rekening bank sehingga masih harus disalurkan melalui pihak ketiga semisal RT, RW, atau kepala desa. Pada titik ini, bukan tidak mungkin terjadi praktik-praktik lancung yang merugikan masyarakat.

 

Dari segi hukum, pelibatan KPK dalam pengawasan pemanfaatan dan penyaluran bansos tentu sudah seharusnya dilakukan. Meski demikian, untuk lebih menjamin agar pengawasan bansos benar-benar berjalan transparan, yang dibutuhkan sesungguhnya adalah pelibatan partisipasi publik.

 

Sebagai subjek utama dan pihak yang memahami dinamika di lapangan, masyarakat akan dapat menjadi watchdog yang efektif. Tinggal bagaimana pemerintah membuka saluran keluhan dan bersedia mendengar berbagai masukan masyarakat tentang kemungkinan terjadinya praktik penyimpangan dalam penyaluran bantuan sosial. Program yang sifatnya top-down dan tidak mengedepankan pengawasan secara bottom-up niscaya akan rawan gagal (Crescenzi and Rodriguez-Pose, 2011).

 

Tidak Ada Yang Tersisa

 

Memperpanjang kebijakan PPKM darurat tentu bukan keputusan mudah. Ini adalah keputusan yang dilematis. Di satu sisi, masyarakat yang sudah 16 bulan mengalami penurunan, bahkan hilangnya pendapatan akibat Covid-19, tentu peluang mereka untuk bangkit menjadi lebih sulit jika mobilitas dibatasi. Di sisi lain, membiarkan pergerakan dan terjadinya kerumunan tanpa pembatasan tentu akan rawan memicu kembali kenaikan korban Covid-19.

 

Saat ini, apa pun keputusan yang diambil pemerintah niscaya akan sama-sama berisiko. Mendahulukan aspek kesehatan ataukah mengedepankan kelangsungan usaha masyarakat adalah pilihan yang dilematis. Perlu disadari bahwa kondisi sosial-ekonomi masyarakat saat ini berbeda dengan awal-mula pandemi Covid-19 mulai merambah tanah air.

 

Di awal pandemi Covid-19 mulai meluas, sebetulnya tidak terlalu menjadi masalah ketika pemerintah memberlakukan kebijakan PSBB atau bahkan lockdown sekalipun. Kenapa? Karena masyarakat umumnya masih memiliki tabungan dan aset yang bisa dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan hidup sanak keluarganya. Tetapi, lain soal setelah pandemi Covid-19 berlangsung hampir dua tahun.

 

Bisa dipastikan, saat ini tabungan dan aset sebagian besar masyarakat pelan-pelan telah tergerogoti. Sebagian bahkan mungkin sama sekali tidak ada lagi yang tersisa. Meminta masyarakat diam di rumah tanpa sumber penghasilan tentu tidak mungkin dilakukan. Tindakan oknum aparat yang represif dan tidak humanis niscaya hanya akan melahirkan perlawanan masyarakat.

 

Dengan disalurkannya berbagai program bantuan sosial, daya tahan masyarakat melangsungkan kehidupannya mungkin dapat diperpanjang. Masyarakat yang usahanya bangkrut, korban PHK, dan orang-orang yang tidak lagi memiliki sumber penghasilan di atas kertas akan dapat bertahan hidup ketika mendapatkan subsidi dari pemerintah. Masalahnya adalah seberapa banyak masyarakat yang terdampak pandemi Covid-19 telah terjangkau bantuan sosial pemerintah itu? Benarkah masyarakat yang membutuhkan bantuan sosial hanya masyarakat miskin yang masuk dalam data yang telah di-update sesuai dengan perkembangan terakhir?

 

Kalau mau jujur, dengan dana hanya Rp 300 ribu dan bantuan beberapa kilogram beras, sebetulnya tidak banyak hal yang bisa diharapkan. Ibarat orang yang berdiri di air sebatas dagu, riak sekecil apa pun niscaya akan membuat masyarakat korban pandemi Covid-19 mati tenggelam. ●

 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar