Sabtu, 31 Juli 2021

 

Kepemimpinan Universitas Berkelanjutan

Aceng Hidayat ;  Sekretaris Institut IPB University; Ketua Pelaksana Green Campus IPB 2018 -2020; Dosen Departemen Ekonomi Sumber Daya dan Lingkungan FEM IPB University

KOMPAS, 30 Juli 2021

 

 

                                                           

Isu pembangunan berkelanjutan terus mendapatkan perhatian komunitas dunia sejak digulirkan dalam KTT Bumi 1992 di Rio de Jeniero, Brasil. Saat ini, pembangunan berkelanjutan menjadi isu penting dan strategis bagi pemerintah, swasta, lembaga swadaya masyarakat, lembaga penelitian, dan perguruan tinggi.

 

Kita bisa menemukan frasa pembangunan berkelanjutan (sustainable development) dalam berbagai dokumen perencanaan, kebijakan, hasil penelitian, program kerja, dan seminar-seminar, baik nasional maupun internasional. Bahkan, isu pembangunan berkelanjutan sengaja dimasukkan dalam dokumen perencanaan, program kerja, seminar, atau topik penelitian dengan tujuan untuk mendapatkan sponsorship pembiayaan.

 

Bettencourt and Kaur (2011) menemukan frasa sustainable development atau sustainability dalam 20.000 makalah berbahasa Inggris, ditulis oleh 37.000 penulis dari 174 negara serta 2.200 yang dipublikasikan dalam jurnal dan prosiding seminar ilmiah antara tahun 1974 dan 2010. Apalagi, jika frasa tersebut diterjemahkan ke dalam bahasa negara-negara di dunia; nachhaltigkeit sebagai contoh bahasa Jerman, dapat dipastikan akan ditemukan jutaan publikasi yang memuatnya.

 

Isu pembangunan berkelanjutan semakin mengukuhkan urgensi dan nilai strategis ketika PBB menerbitkan dokumen kebijakan Sustainable Development Goals (SDGs) pada 2015. SDGs merupakan gabungan dokumen Agenda 21 dan Milenium Development Goals (MDGs).

 

Saat dunia menghadapi pandemi Covid-19, seluruh sektor pembangunan tetap memuat tujuan SDGs. Tiap-tiap sektor ”dipaksa” untuk ikut berkontribusi dan berperan dalam mencapai 17 tujuan SDGs. Saat ini, SDGs telah menjadi indikator capaian kinerja pemerintah pusat, yang diturunkan kepada pemerintah provinsi dan kabupaten/kota.

 

Setiap tahun, para kepala daerah dievaluasi dan harus melaporkan capaian kinerja terkait SDGs. Maka, jangan heran ketika melihat kompetisi pencapaian SDGs tiap-tiap daerah terhadap target nasional.

 

Perguruan tinggi di Indonesia tidak luput terlibat di dalamnya. Terutama, setelah lembaga pemeringkatan perguruan tinggi bernama THE mengeluarkan THE impact rangking yang mengaitkan kegiatan perguruan tinggi terhadap pencapaian 17 tujuan SDGs. Beberapa perguruan tinggi di Indonesia berhasil meraih peringkat 100 besar dunia, seperti IPB University, UI, UGM, dan Unhas.

 

Dari semakin marak dan merasuknya SDGs ke berbagai sektor, timbul pertanyaan, apakah para pihak yang terlibat dalam upaya pencapai SDGs tersebut sudah memahami makna SDGs secara benar? Siapa yang berperan dalam mengedukasi masyarakat tentang SDGs agar pencapainya lebih mudah dan terukur?

 

Saya memandang perguruan tinggi memiliki peran strategis dalam upaya pencapaian SDGs dalam jangka panjang. Sebab, perguruan tinggi menghasilkan sumber daya manusia berkualitas, memproduksi ilmu pengetahuan, menghasilkan inovasi teknologi,  dan memiliki kesempatan menerapkan ilmu dan hasil inovasinya, baik di kampus maupun di masyarakat.

 

Kesadaran perguruan tinggi untuk ikut terlibat secara serius dalam pencapaian SDGs telah direspons oleh beberapa perguruan tinggi di dunia dengan mendeklarasikan perguruan tingginya sebagai Universitas Berkelanjutan (UB). Universitas Berkelanjutan memiliki dua elemen penting, yaitu Pendidikan Pembangunan Berkelanjutan (PPB) dan Kepemimpinan Universitas Berkelanjutan (KUB).

 

Universitas Berkelanjutan

 

Merujuk pada tulisan Rebeka Lukman (2005) dan situs resmi beberapa UB dunia, seperti Wagenigen University, Belanda; John Hopkins University, Amerika Serikat; dan Hokaido University, Jepang; UB adalah perguruan tinggi (universitas/college) yang melakukan reorientasi arah pendidikan, transformasi organisasi, dan perubahan budaya agar selaras dengan upaya-upaya pencapaian SDGs.

 

Maka, UB mengubah visi dan misi pendidikannya menjadi PPB. Bukan hanya menyelenggarakan pendidikan lingkungan pada jenjang vokasi, sarjana, dan pascasarjana yang menghasilkan tenaga terampil dan terdidik dalam pengelolaan lingkungan, melainkan juga menghasilkan lulusan, ilmu pengetahuan, dan inovasi yang dengannya dapat mengedukasi warga dunia tentang pembangunan berkelanjutan.

 

James dan Samels (2012) menyampaikan beberapa tantangan menciptakan UB. Pertama, melembagakan cara berpikir berkelanjutan. Kampus berkelanjutan harus melakukan pelembagaan cara berpikir berkelanjutan dengan menetapkan visi kampus berkelanjutan yang jelas. Visi bersifat filosofis dan berpikir jauh ke depan. Visi kemudian diturunkan ke dalam misi yang lebih spesifik dan terukur. Visi dan misi merupakan kebijakan yang sangat penting yang menjadi arah pengelolaan universitas.

 

Misi merupakan dasar penyusunan program kerja, baik jangka panjang, menengah, maupun pendek. Untuk memudahkan pengukuran pencapaian sasaran kerja, maka setiap program kerja dilengkapi dengan indikator dan parameter kinerja. Berdasarkan program kerja dan sasaran kinerjanya, pimpinan universitas kemudian membuat kontrak kinerja dengan jajaran eksekutif yang ada di bawahnya dan hasilnya dievaluasi setiap akhir tahun.

 

Kedua, pelaksanaan. Ada dua elemen penting dalam pelaksanaan kampus berkelanjutan. yaitu pelaksanaan pendidikan, penelitian, dan penerapan (pengabdian) serta pengelolaan kampus dan fasilitas pendukungnya. Pelaksanaan pendidikan diawali dengan perubahan kurikulum. Kurikulum sesuai dengan visi kampus berkelanjutan.

 

Ada beberapa cara yang dapat dilakukan, yaitu pertama, menyiapkan beberapa mata kuliah pilihan sejumlah SKS tertentu yang wajib diikuti oleh seluruh mahasiswa dari semua program studi. Kedua, dengan menyisipkan muatan keberlanjutan pada setiap mata kuliah yang disampaikan.

 

Ketiga, menjadikan substansi keberlanjutan sebagai tema kegiatan kemahasiswaan, seperti seminar, diskusi, kampanye, lomba kreativitas, lomba karya ilmiah, dan lomba merencanakan bisnis. Keempat, membuka program studi multidisiplin pembangunan berkelanjutan jenjang pascasarja. Kelima, yang paling radikal adalah mengubah struktur kurikulum program studi (prodi) monodisiplin menjadi prodi multidisiplin sesuai dengan perkembangan sains berkelanjutan (sustainable sciences).

 

Penelitian diarahkan pada pengembangan ilmu, teknologi, dan inovasi yang mendukung tercapainya pembangunan berkelanjutan. Kampus berkelanjutan harus memiliki payung dan peta jalan penelitian dengan benchmark goal yang jelas, baik untuk jangka pendek, menengah, maupun panjang. Hasil penelitian dan inovasi sudah terpetakan dan terukur capaiannya. Hasil penelitian dan inovasi tersebut lalu diterapkan dalam kampus sendiri.

 

Kampus sebagai tempat pengabdian pertama para dosen dan mahasiswa dengan menerapkan teknologi dan inovasi yang dihasilkannya. Kampus sebagai tempat trial and error pengembangan inovasi, sebelum diabdikan pada masyarakat luas.

 

Elemen kedua dalam pelaksanaan kampus berkelanjutan adalah melaksanakan dan menjalankan prinsip-prinsip keberlanjutan dalam pengelolaan kampus dan fasilitasnya. Karena itu, kampus berkelanjutan harus sudah memiliki rencana induk dan strategis pengembangan kampus di mana prinsip-prinsip keberlanjutan tercantum di dalamnya. Misalkan, benchmark carbon footprint, konsumsi energi, konservasi air, status green building, dan lain-lain pada saat kebijakan kampus berkelanjutan diterapkan; serta pada saat target keberlanjutan ingin dicapai.

 

Ketiga, evaluasi, perbaikan, dan pelaporan. Kampus berkelanjutan harus memiliki mekanisme evaluasi tahunan sesuai dengan perencanaan kegiatan dan anggaran. Untuk itu, diperlukan indikator dan parameter kinerja. Mulai dari ketercapaian pemahaman visi dan misi oleh seluruh sivitas kampus sampai pada ketercapaian indikator keberlanjutan.

 

Hasil evaluasi digunakan untuk perbaikan dalam pelaksanaan program keberlanjutan, termasuk perbaikan metode pelaksanaannya. Hasil evaluasi dan upaya perbaikan dituangkan dalam laporan tahunan dan disampaikan kepada pemangku kepentingan internal universitas, mitra kerja sama, dan perguruan tinggi lain sebagai bagian dari upaya berbagi pengalaman.

 

”Sustainable leadership”

 

Kampus berkelanjutan menghadapi tantangan yang besar. Tantangan sebagai konsekuensi dari perubahan paradigma. Keberhasilan kampus berkelanjutan perlu dipahami sebagai keberhasilan perubahan yang mendasar. Karena itu, sustainable university memerlukan kepemimpinan keberlanjutan (sustainable leadership).

 

Rektor, wakil rektor, para dekan, dan ketua jurusan sebagai pengelola universitas perlu memiliki mental sebagai pemimpin perubahan. Kepemimpinan mereka memainkan peran penting dalam melakukan perubahan dan mencapai tujuan.

 

Ada beberapa karakteristik kepemimpinan yang diperlukan, di antaranya pertama, mereka harus menyadari peran penting kampus dalam upaya mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Kampus sebagai produsen sumber daya manusia unggul, ilmu pengetahuan, serta teknologi harus hadir dan berperan dalam membangun peradaban keberlanjutan.

 

Kedua, para pemimpin pada tiap-tiap level harus memahami secara komprehensif bahwa universitas berkelanjutan memerlukan perubahan kelembagaan dalam arti organisasi dan aturan main. Ketiga, mereka harus memiliki komitmen dan militansi yang kuat terhadap universitas berkelanjutan dengan segenap konsekuensi terjadinya perubahan yang mendasar.

 

Keempat, para pemimpin, lebih-lebih rektor sebagai top leader, harus berani membuat pernyataan kebijakan untuk mewujudkan kampus berkelanjutan sesuai dengan visi dan misi kampus berkelanjutan. Kelima, para pemimpin harus memanfaatkan setiap peluang dan jejaring untuk melakuan perubahan kelembagaan menuju kelembagaan kampus berkelanjutan ideal.

 

Dan, kita menantikan perubahan-perubahan yang terjadi pada universitas di Indonesia menuju universitas berkelanjutan. Siapa berani mengambil kepemimpinan? Mari kita menjadi saksi sejarah. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar