Absennya
”Aturan Main” di Kebijakan PPKM Darurat Akh. Muzakki ; Guru Besar dan Dekan FISIP UIN Sunan Ampel
Surabaya, Ketua Dewan Pendidikan Provinsi Jawa Timur |
JAWA POS, 9 Juli 2021
KUTIPAN di atas adalah
peringatan seorang filsuf kenamaan abad ke-20 Ludwig Wittgenstein dalam karya
fenomenalnya, Philosophical Investigation (1958:31). ”Jangan dipikir, tapi
lihat!” Begitu nasihatnya jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Dalam
argumennya, Wittgenstein mengingatkan bahwa sesuatu memiliki kemiripan
dan/atau keserupaan dengan yang lain meskipun pada saat yang sama
ketidakserupaan juga muncul. Bergantung pada aturan main yang mengikat
sesuatu itu dari lainnya. Peringatan Wittgenstein
ini lalu melahirkan konsep language game (permainan bahasa) yang menunjuk ke
relasi antara bahasa dan tindakan. Dalam pandangannya, sebuah kata atau
bahkan kalimat memiliki makna hanya sebagai akibat dari ”aturan” dari
”permainan” yang dimainkan, bergantung pada konteksnya. Dia memberi contoh
ucapan ”Air!” bisa berarti perintah, jawaban atas pertanyaan, atau bentuk
komunikasi lainnya, bergantung aturan permainan yang disepakati antara
petutur dan lawan tutur sesuai dengan konteks ujarannya. Saya teringat teori
Wittgenstein di atas saat mengikuti hiruk pikuk yang menyertai pelaksanaan
aturan kebijakan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) darurat
dan respons masyarakat terhadapnya. Seperti dijelaskan Presiden Joko Widodo
dalam siaran live YouTube Sekretariat Presiden (1/7/2021), PPKM darurat itu
berujung pada penutupan sejumlah kegiatan masyarakat dan pembolehan sejumlah
yang lain untuk tetap beroperasi. Salah satu yang krusial
terkait dengan penutupan tempat ibadah seperti masjid, musala, gereja, pura,
wihara, dan kelenteng untuk sementara waktu selama pelaksanaan PPKM darurat.
Sejumlah tokoh agama merespons aturan itu secara berbeda-beda, mulai mengerti
lalu mematuhi hingga mengkritik keras dan bahkan menolaknya. Publik pun bingung harus
bagaimana, terutama saat menyimak resistansi sejumlah tokoh agama terhadap
penutupan tempat ibadah, sementara aturan PPKM darurat justru menghendaki
penutupan sementara. Saya menerima pesan
WhatsApp dari seorang teman di Surabaya sebagai berikut: ”Apa di masa PPKM
darurat masjid masih diperbolehkan buka, karena terjadi pro dan kontra di
lapangan antara ketentuan PPKM darurat dan berita tersebut…kami sebagai
satgas covid di tingkat RW menjadi bingung juga menyikapinya.” Apa yang dirasakan seorang
rekan di atas sejatinya juga dialami lainnya. Ibarat gunung es, yang muncul
di permukaan itu hanya sebagian kecil dari gugusan besar di bawahnya. Karena
itu, kegelisahan di tengah masyarakat hanya konsekuensi lanjutan dari
menyeruaknya pro dan kontra terhadap aturan penutupan sejumlah kegiatan
masyarakat seperti direpresentasikan oleh kasus tempat ibadah yang dimaksud. Meminjam perspektif
language game milik Wittgenstein di atas, kontroversi yang mengiringi
kebijakan penutupan sejumlah kegiatan masyarakat dan pembolehan sejumlah yang
lain berangkat dari tidak ketemunya ”aturan main” yang mengikat bahasa
komunikasi kebijakan PPKM darurat dan tindakan pelaksanaan penutupan tempat
ibadah (sebagai contoh). Titik masalahnya terletak
pada dua konsep utama yang mengikat antara pengambil kebijakan (baca:
pemerintah) dan masyarakat. Yakni, konsep esensial dan kritikal. Pemerintah
menjelaskan dalam regulasi kebijakannya bahwa konsep esensial bisa
direpresentasikan ke dalam sektor kegiatan yang meliputi keuangan dan
perbankan, pasar modal, sistem pembayaran, teknologi informasi dan
komunikasi, perhotelan non penanganan karantina, serta industri orientasi
ekspor. Sedangkan konsep kritikal
oleh pemerintah diberi keterangan dalam perwujudan kegiatan masyarakat yang
mencakup energi, kesehatan, keamanan, logistik dan transportasi, industri
makanan, minuman, dan penunjangnya, petrokimia, semen, serta objek vital
nasional. Termasuk dalam cakupan kritikal ini adalah penanganan bencana,
proyek strategis nasional, konstruksi, utilitas dasar (listrik dan air),
serta industri pemenuhan kebutuhan pokok masyarakat sehari-hari. Terhadap kedua konsep
esensial dan kritikal di atas, pemerintah memperbolehkan kegiatan masyarakat
yang masuk ke dalam kategori keduanya tetap beroperasi dengan syarat. Sektor
esensial tetap buka melalui kegiatan work from office (WFO) maksimal 50
persen dan sektor kritikal bisa 100 persen. Tentu, keduanya dengan protokol
kesehatan ketat. Sejumlah masyarakat tampak
memandang tempat ibadah bukan hanya masuk kategori esensial, melainkan juga
kritikal. Itu karena bagi mereka, tempat ibadah adalah kebutuhan dasar hidup
yang tak bisa dihindarkan. Dan karena itu, menutup, dalam pandangan mereka,
berarti menjauhkan mereka dari kebutuhan dasar hidup. Adanya kontroversi hingga
resistansi di lapangan terhadap penutupan sementara tempat ibadah menunjukkan
terjadinya kesenjangan basis kognitif antara pemerintah dan sejumlah warga.
Terdapat ruang yang masih kosong antara pengambil kebijakan dan sejumlah
gugus masyarakat dalam bentuk aturan main yang bisa mengikat mereka ke dalam
substansi kebijakan PPKM darurat itu. Sudah begitu, tidak
terdapat kepiawaian birokrasi pemerintah dalam mengomunikasikan kebijakan
penutupan dan/atau pembukaan sejumlah kegiatan masyarakat di atas dengan
bahasa yang efektif. Akibatnya, aturan main yang dibutuhkan untuk
mempertemukan pengambil kebijakan dengan masyarakat tak bisa dihadirkan
hingga kontroversi pun mengemuka. Para pemangku birokrasi di
kementerian teknis penting berperan besar. Caranya, memaksimalkan juru bicara
yang terampil dalam mempertemukan antara kehendak kebijakan PPKM darurat dan
pemahaman-kesadaran masyarakat agar tercipta apa yang oleh Wittgenstein
disebut dengan aturan main kebahasaan yang mengikat dua pemangku kepentingan
tersebut. Tentu, basis kultural yang
mengerangkai sistem keyakinan (belief system) masyarakat penting untuk
diperhatikan oleh para pengambil kebijakan dalam pelaksanaan PPKM darurat.
Itu penting agar aturan main kebahasaan bisa segera tercipta untuk mengikut
dan mempertemukan struktur kognitif mereka ke dalam maksud kebijakan. Selama hal itu tidak
ketemu, selama itu pula akan muncul kontroversi dan bahkan resistansi,
termasuk dalam kebijakan penutupan sejumlah kegiatan masyarakat dan
pembolehan sejumlah yang lain dalam skema PPKM darurat ini. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar