PPKM
Darurat dan Momen Kebangkitan Eko Wijayanto ; Dosen Filsafat Universitas Indonesia |
KOMPAS, 22 Juli 2021
Pemberlakuan PPKM darurat
yang dimulai pada 3 Juli hingga 20 Juli diharapkan dapat menurunkan jumlah
penularan Covid-19 di Jawa-Bali. Salah satu alasan dilaksanakannya PPKM
darurat adalah untuk menekan angka penularan Covid-19 di lingkungan keluarga.
(Kompas, 7 Juli 2021). Selama pemberlakuan PPKM
darurat Jawa-Bali ini, masyarakat diminta untuk mengurangi mobilitas dan
aktivitas di luar rumah. Masyarakat diminta stay (berada) di rumah saja agar
interaksi di antara masyarakat juga berkurang, virus juga bisa ditahan
tingkat laju penyebarannya. (Kompas.com, 7/7/2021) Slavoj Žižek menggambarkan
keadaan saat ini, dalam bukunya berjudul Pandemic! Covid-19 Shakes the World
(2020), dengan peristiwa kebangkitan Yesus. Dalam Alkitab Yohannes 20:17,
Yesus berkata, ”Noli me tangere (jangan sentuh aku)” kepada Maria
Magdalena--kala bertemu setelah kebangkitan. Yesus Kristus berkata bahwa Ia
akan hadir setiap kali ada kasih di antara orang-orang yang percaya padanya.
Ia bukan hadir sebagai sosok yang bisa disentuh, tetapi sebagai ikatan cinta
di antara umat manusia. Adegan dalam Alkitab di
mana Maria Magdalena mengenali keberadaan Yesus Kristus setelah
kebangkitan-Nya menjadi subyek tradisi ikonografi yang panjang, meluas dan
terus menerus dari akhir Jaman Antik hingga saat ini. Pablo Picasso, misalnya
menggunakan lukisan Noli me tangere oleh Antonio da Correggio sebagai sumber
ikonografi untuk lukisan terkenal Le Vie peeriode biru. Kata-kata itu juga
kadang-kadang digunakan untuk menggambarkan suatu penyakit yang dikenal oleh
para tabib abad pertengahan sebagai ”kanker tersembunyi” atau kanker
absconditus. Ekspresi ini masuk ke
dalam budaya dan sastra umum. Menurut Solinus, rusa-rusa putih ditemukan 300
tahun setelah kematian Caesar mengenakan kerah bertuliskan ”Noli me tangere,
Caesaris sum” yang berarti ”Jangan sentuh aku, aku milik Caesar”. Frase ini pada gilirannya
muncul dalam puisi lirik ”Whoso list to hunt” (barang siapa mendaftar untuk
berburu”) oleh penyair abad ke -16 Sir Thomas Wyatt ditulis di kerah rusa
betina yang melambangkan kekasih yang sulit dipahami (kiasan) oleh pembicara”
ada tertulis, di sekeliling lehernya yang indah Noli me tangere karena aku
milik Caesar. Frase itu juga merupakan judul buku Jose Rizal yang mengkritik
penjajahan Spanyol di Filipina. Di dalamnya, frase ini membangkitkan suatu
kanker kelopak mata, sebuah istilah yang digunakan oleh dokter mata;
melambangkan orang-orang buta terhadap pemerintah yang berkuasa, yang oleh
Rizal dianggap kanker sosial bahwa orang-orang terlalu takut untuk menyentuh. Kemudian Zizek menulis
dengan kalimat yang digaungkan Martin Luther King, We’re All in The Same Boat
Now (kami berada di kapal yang sama sekarang), menunjukan bahwa wabah
pendemik virus korona adalah masalah global, dan Zizek mengusulkan untuk
dibuat lembaga global untuk mengatasi itu semua. Zizek ingin meyakinkan
pembaca bahwa wabah virus korona tidak terjadi secara tiba-tiba, tanpa sebab,
atau gejala alam yang lumrah, itu adalah kemungkinan yang sulit. Dua
situasi Pandemi virus korona
secara singkat telah menghadapkan kita pada dua situasi yang serius: bagaimana
tim medis yang menjadi garda terdepan dan situasi yang terjadi pada
orang-orang yang kehilangan pekerjaan. Hal ini menciptakan paradoks yang
berdampak kepada seluruh manusia. Situasi bagi orang-orang
yang bukan tenaga medis berakhir membawa kita terkurung di dalam rumah saja,
melepaskan segala rutinitas yang biasa dilakukan. Hal ini bukan berarti
menganggur, tetapi kita hanya terpaksa untuk menetap dan berujung pada suatu
kehampaan yang sangat melelahkan. Kelelahan ini disebut fase burnout. Fase burnout yang dimaksud
dikutip dari tulisan Byung-Chul Han yang berjudul The Burnout Society.
Tulisan ini dimuat dalam Stanford University Press pada tahun 2015. Han
mendeskripsikan terjadinya fase burnout yang dikelompokkan berdasarkan tiga
jenis pekerjaan. Jenis pertama adalah
pekerjaan yang memiliki batasan dan kendala terhadap aturan yang ketat dan
dipaksakan oleh orang-orang kelas ”intelek” baru. Maksudnya, dorongan untuk
pembatasan dan kendala ini berasal dari dalam diri masing-masing individu
yang menganggap dirinya telah masuk dalam kategori ”The New Intelectual
Class” yang pada akhirnya menjadi kesulitan individual yang disebut Han
sebagai ”struggle against oneself”. Kelelahan yang muncul berasal dari
pekerjaan yang dilakukan secara berulang dengan jangka waktu panjang. Jenis kedua adalah kondisi
yang dideskripsikan Han sebagai fase baru kapitalisme global yang tetap
menjadi sistem kelas dengan ketidaksetaraan yang berkembang. Maksudnya,
adanya peran antagonis yang tidak lagi disebut ”struggle against oneself”
yang kemudian melibatkan pihak ketiga di luar individu itu sendiri. Hal yang
menjadi hal utama adalah kesenjangan yang sengaja diciptakan sebagai ”sistem
kelas”. Jenis pekerjaan ini
merujuk pada pekerjaan yang memberikan jasa atau pelayanan; pelayan, perawat,
atau bahkan seorang guru taman kanak-kanak. Kelelahan yang muncul berupa
tuntutan pekerjaan ganda; mereka dibayar untuk dua pekerjaan dalam satu
waktu−misalnya untuk guru taman bermain, mereka bukan hanya diminta untuk
menjaga anak-anak, tetapi juga dituntut untuk memberikan afeksi sebagai
orangtua. Jenis ketiga adalah
pekerjaan yang biasanya menggunakan istilah ”creative team work”. Jenis ini
unik karena fungsi dari tiap individu sangat ambigu karena tidak ada batasan
tanggung jawab yang jelas bagi tiap individu. Tiap individu didorong untuk
menciptakan ide baru yang efektif dan menguntungkan bagi perusahaan. Akan
tetapi, dengan waktu yang bersamaan dorongan lain berupa kerja sama tim yang
harus diciptakan. Kerja sama tim ini seolah-olah menjadi cambuk yang memaksa
tiap individu untuk mendorong individu lain agar mampu ”bertahan” dan
”sukses” dalam perusahaan. Memang benar, ada kerja
keras yang melelahkan bagi banyak orang yang berurusan dengan efek
pandemi—tetapi ini adalah pekerjaan yang bermakna untuk kepentingan
masyarakat yang membawa kepuasannya sendiri, bukan upaya naif untuk mencoba
sukses di pasar. Ketika seorang pekerja medis sangat lelah karena bekerja
lembur, ketika seorang pengasuh kelelahan dengan tuntutan yang menuntut,
mereka lelah dengan cara yang berbeda dari kelelahan mereka yang didorong
oleh gerakan karir yang obsesif. Sisi
paradoks Terlepas dari bencana yang
kita sedihkan, tentang banyaknya kematian. Beberapa kenyataan terlihat di
sisi paradoks terlihat membaik, misalnya polusi udara yang berkurang,
tersedianya air bersih, munculnya empati dan solidaritas. Kapitalisme seolah
mengalami khatarsis, penyucian jiwa, dalam masa pandemi Covid-19 ini untuk kemudian
kembali bisa merefleksikan diri dan mengevaluasi keburukan-keburukan di masa
silam: seperti keserakahan dan ketamakan, menjadi berjiwa sosial; empati dan
solidaritas. Sifat khas pandemi ini
adalah bahwa virus itu, walaupun terlalu nyata, tidak terlihat oleh mata
telanjang dan semuanya meresap. Covid-19 telah membentuk dirinya menjadi
struktur realitas: penyakit di mana-mana, yang diketahui secara tidak tepat
dan, hingga sekarang, tidak dapat diobati. Dan kebanyakan dari kita
merasa telah berenang di lautan virus selama berminggu-minggu sekarang,
mungkin dua bulan lebih. Tetapi mungkin di bawah gemetar ketakutan terletak
kecemasan yang lebih dalam, kecemasan akan kefanaan kita, kita ditarik menuju
kematian. Dan inilah yang mungkin kita coba raih, sebagai syarat kebebasan
kita. Sangat penting, untuk
menerima dan menegaskan kecemasan dan tidak menyembunyikan, melarikan diri
atau menghindarinya, atau berusaha untuk menjelaskan kecemasan dalam
kaitannya dengan beberapa objek atau sebab. Kecemasan semacam itu bukan hanya
gangguan yang perlu diobati, apalagi diobati sampai mati rasa. Itu perlu
diakui, dibentuk, dan diasah menjadi wahana pembebasan. Saya tidak mengatakan
ini mudah. Tetapi, kita dapat mencoba mengubah suasana hati dasar kecemasan
dari sesuatu yang melumpuhkan menjadi sesuatu yang memungkinkan dan mampu
keberanian. Blaise Pascal menulis
tentang sikap kurang empati kita, sebagai sesama manusia, untuk duduk diam
sendirian di rumah sebagai sumber dari semua masalah umat manusia;
ketidakkekalan, kebosanan, dan kecemasan sebagai ciri khas dari kondisi
manusia; dari kekuatan kebiasaan mesin dan kebisingan yang menggerogoti
kebanggaan manusia. Tetapi yang paling penting, pemikiran Pascal bahwa
manusia adalah buluh, ”yang paling lemah dari alam”, yang dapat disapu oleh
uap—atau tetesan di udara yang mencengkeram kita. Pascal mengingatkan kita;
kita harus waspada karena bisa celaka. Kita adalah makhluk yang lemah, rapuh,
dan rentan. Tapi keburukan kita adalah kebesaran kita. Alam semesta dapat menghancurkan
kita, sedikit virus dapat menghancurkan kita. Tetapi, alam semesta tidak
mengetahui hal ini, dan virus tidak peduli. Sebaliknya, kita tahu
bahwa kita fana. Dan martabat kita terdiri dari pemikiran ini. ”Mari kita
berjuang,” kata Pascal, ”untuk berpikir dengan baik. Itulah prinsip
moralitas.” Punya empati dan solidaritas kepada para pekerja medis yang
berjuang keras menangani pasien yang terkena virus. Dan juga kepada
orang-orang menengah ke bawah yang terkena dampak, kehilangan mata pencarian
dan pendapatan yang berkurang. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar