Sabtu, 24 Juli 2021

 

PPKM Darurat dan Momen Kebangkitan

Eko Wijayanto ;  Dosen Filsafat Universitas Indonesia

KOMPAS, 22 Juli 2021

 

 

                                                           

Pemberlakuan PPKM darurat yang dimulai pada 3 Juli hingga 20 Juli diharapkan dapat menurunkan jumlah penularan Covid-19 di Jawa-Bali. Salah satu alasan dilaksanakannya PPKM darurat adalah untuk menekan angka penularan Covid-19 di lingkungan keluarga. (Kompas, 7 Juli 2021).

 

Selama pemberlakuan PPKM darurat Jawa-Bali ini, masyarakat diminta untuk mengurangi mobilitas dan aktivitas di luar rumah. Masyarakat diminta stay (berada) di rumah saja agar interaksi di antara masyarakat juga berkurang, virus juga bisa ditahan tingkat laju penyebarannya. (Kompas.com, 7/7/2021)

 

Slavoj Žižek menggambarkan keadaan saat ini, dalam bukunya berjudul Pandemic! Covid-19 Shakes the World (2020), dengan peristiwa kebangkitan Yesus. Dalam Alkitab Yohannes 20:17, Yesus berkata, ”Noli me tangere (jangan sentuh aku)” kepada Maria Magdalena--kala bertemu setelah kebangkitan. Yesus Kristus berkata bahwa Ia akan hadir setiap kali ada kasih di antara orang-orang yang percaya padanya. Ia bukan hadir sebagai sosok yang bisa disentuh, tetapi sebagai ikatan cinta di antara umat manusia.

 

Adegan dalam Alkitab di mana Maria Magdalena mengenali keberadaan Yesus Kristus setelah kebangkitan-Nya menjadi subyek tradisi ikonografi yang panjang, meluas dan terus menerus dari akhir Jaman Antik hingga saat ini. Pablo Picasso, misalnya menggunakan lukisan Noli me tangere oleh Antonio da Correggio sebagai sumber ikonografi untuk lukisan terkenal Le Vie peeriode biru. Kata-kata itu juga kadang-kadang digunakan untuk menggambarkan suatu penyakit yang dikenal oleh para tabib abad pertengahan sebagai ”kanker tersembunyi” atau kanker absconditus.

 

Ekspresi ini masuk ke dalam budaya dan sastra umum. Menurut Solinus, rusa-rusa putih ditemukan 300 tahun setelah kematian Caesar mengenakan kerah bertuliskan ”Noli me tangere, Caesaris sum” yang berarti ”Jangan sentuh aku, aku milik Caesar”.

 

Frase ini pada gilirannya muncul dalam puisi lirik ”Whoso list to hunt” (barang siapa mendaftar untuk berburu”) oleh penyair abad ke -16 Sir Thomas Wyatt ditulis di kerah rusa betina yang melambangkan kekasih yang sulit dipahami (kiasan) oleh pembicara” ada tertulis, di sekeliling lehernya yang indah Noli me tangere karena aku milik Caesar. Frase itu juga merupakan judul buku Jose Rizal yang mengkritik penjajahan Spanyol di Filipina. Di dalamnya, frase ini membangkitkan suatu kanker kelopak mata, sebuah istilah yang digunakan oleh dokter mata; melambangkan orang-orang buta terhadap pemerintah yang berkuasa, yang oleh Rizal dianggap kanker sosial bahwa orang-orang terlalu takut untuk menyentuh.

 

Kemudian Zizek menulis dengan kalimat yang digaungkan Martin Luther King, We’re All in The Same Boat Now (kami berada di kapal yang sama sekarang), menunjukan bahwa wabah pendemik virus korona adalah masalah global, dan Zizek mengusulkan untuk dibuat lembaga global untuk mengatasi itu semua. Zizek ingin meyakinkan pembaca bahwa wabah virus korona tidak terjadi secara tiba-tiba, tanpa sebab, atau gejala alam yang lumrah, itu adalah kemungkinan yang sulit.

 

Dua situasi

 

Pandemi virus korona secara singkat telah menghadapkan kita pada dua situasi yang serius: bagaimana tim medis yang menjadi garda terdepan dan situasi yang terjadi pada orang-orang yang kehilangan pekerjaan. Hal ini menciptakan paradoks yang berdampak kepada seluruh manusia.

 

Situasi bagi orang-orang yang bukan tenaga medis berakhir membawa kita terkurung di dalam rumah saja, melepaskan segala rutinitas yang biasa dilakukan. Hal ini bukan berarti menganggur, tetapi kita hanya terpaksa untuk menetap dan berujung pada suatu kehampaan yang sangat melelahkan. Kelelahan ini disebut fase burnout.

 

Fase burnout yang dimaksud dikutip dari tulisan Byung-Chul Han yang berjudul The Burnout Society. Tulisan ini dimuat dalam Stanford University Press pada tahun 2015. Han mendeskripsikan terjadinya fase burnout yang dikelompokkan berdasarkan tiga jenis pekerjaan.

 

Jenis pertama adalah pekerjaan yang memiliki batasan dan kendala terhadap aturan yang ketat dan dipaksakan oleh orang-orang kelas ”intelek” baru. Maksudnya, dorongan untuk pembatasan dan kendala ini berasal dari dalam diri masing-masing individu yang menganggap dirinya telah masuk dalam kategori ”The New Intelectual Class” yang pada akhirnya menjadi kesulitan individual yang disebut Han sebagai ”struggle against oneself”. Kelelahan yang muncul berasal dari pekerjaan yang dilakukan secara berulang dengan jangka waktu panjang.

 

Jenis kedua adalah kondisi yang dideskripsikan Han sebagai fase baru kapitalisme global yang tetap menjadi sistem kelas dengan ketidaksetaraan yang berkembang. Maksudnya, adanya peran antagonis yang tidak lagi disebut ”struggle against oneself” yang kemudian melibatkan pihak ketiga di luar individu itu sendiri. Hal yang menjadi hal utama adalah kesenjangan yang sengaja diciptakan sebagai ”sistem kelas”.

 

Jenis pekerjaan ini merujuk pada pekerjaan yang memberikan jasa atau pelayanan; pelayan, perawat, atau bahkan seorang guru taman kanak-kanak. Kelelahan yang muncul berupa tuntutan pekerjaan ganda; mereka dibayar untuk dua pekerjaan dalam satu waktu−misalnya untuk guru taman bermain, mereka bukan hanya diminta untuk menjaga anak-anak, tetapi juga dituntut untuk memberikan afeksi sebagai orangtua.

 

Jenis ketiga adalah pekerjaan yang biasanya menggunakan istilah ”creative team work”. Jenis ini unik karena fungsi dari tiap individu sangat ambigu karena tidak ada batasan tanggung jawab yang jelas bagi tiap individu. Tiap individu didorong untuk menciptakan ide baru yang efektif dan menguntungkan bagi perusahaan. Akan tetapi, dengan waktu yang bersamaan dorongan lain berupa kerja sama tim yang harus diciptakan. Kerja sama tim ini seolah-olah menjadi cambuk yang memaksa tiap individu untuk mendorong individu lain agar mampu ”bertahan” dan ”sukses” dalam perusahaan.

 

Memang benar, ada kerja keras yang melelahkan bagi banyak orang yang berurusan dengan efek pandemi—tetapi ini adalah pekerjaan yang bermakna untuk kepentingan masyarakat yang membawa kepuasannya sendiri, bukan upaya naif untuk mencoba sukses di pasar. Ketika seorang pekerja medis sangat lelah karena bekerja lembur, ketika seorang pengasuh kelelahan dengan tuntutan yang menuntut, mereka lelah dengan cara yang berbeda dari kelelahan mereka yang didorong oleh gerakan karir yang obsesif.

 

Sisi paradoks

 

Terlepas dari bencana yang kita sedihkan, tentang banyaknya kematian. Beberapa kenyataan terlihat di sisi paradoks terlihat membaik, misalnya polusi udara yang berkurang, tersedianya air bersih, munculnya empati dan solidaritas. Kapitalisme seolah mengalami khatarsis, penyucian jiwa, dalam masa pandemi Covid-19 ini untuk kemudian kembali bisa merefleksikan diri dan mengevaluasi keburukan-keburukan di masa silam: seperti keserakahan dan ketamakan, menjadi berjiwa sosial; empati dan solidaritas.

 

Sifat khas pandemi ini adalah bahwa virus itu, walaupun terlalu nyata, tidak terlihat oleh mata telanjang dan semuanya meresap. Covid-19 telah membentuk dirinya menjadi struktur realitas: penyakit di mana-mana, yang diketahui secara tidak tepat dan, hingga sekarang, tidak dapat diobati.

 

Dan kebanyakan dari kita merasa telah berenang di lautan virus selama berminggu-minggu sekarang, mungkin dua bulan lebih. Tetapi mungkin di bawah gemetar ketakutan terletak kecemasan yang lebih dalam, kecemasan akan kefanaan kita, kita ditarik menuju kematian. Dan inilah yang mungkin kita coba raih, sebagai syarat kebebasan kita.

 

Sangat penting, untuk menerima dan menegaskan kecemasan dan tidak menyembunyikan, melarikan diri atau menghindarinya, atau berusaha untuk menjelaskan kecemasan dalam kaitannya dengan beberapa objek atau sebab. Kecemasan semacam itu bukan hanya gangguan yang perlu diobati, apalagi diobati sampai mati rasa. Itu perlu diakui, dibentuk, dan diasah menjadi wahana pembebasan. Saya tidak mengatakan ini mudah. Tetapi, kita dapat mencoba mengubah suasana hati dasar kecemasan dari sesuatu yang melumpuhkan menjadi sesuatu yang memungkinkan dan mampu keberanian.

 

Blaise Pascal menulis tentang sikap kurang empati kita, sebagai sesama manusia, untuk duduk diam sendirian di rumah sebagai sumber dari semua masalah umat manusia; ketidakkekalan, kebosanan, dan kecemasan sebagai ciri khas dari kondisi manusia; dari kekuatan kebiasaan mesin dan kebisingan yang menggerogoti kebanggaan manusia. Tetapi yang paling penting, pemikiran Pascal bahwa manusia adalah buluh, ”yang paling lemah dari alam”, yang dapat disapu oleh uap—atau tetesan di udara yang mencengkeram kita.

 

Pascal mengingatkan kita; kita harus waspada karena bisa celaka. Kita adalah makhluk yang lemah, rapuh, dan rentan. Tapi keburukan kita adalah kebesaran kita. Alam semesta dapat menghancurkan kita, sedikit virus dapat menghancurkan kita. Tetapi, alam semesta tidak mengetahui hal ini, dan virus tidak peduli.

 

Sebaliknya, kita tahu bahwa kita fana. Dan martabat kita terdiri dari pemikiran ini. ”Mari kita berjuang,” kata Pascal, ”untuk berpikir dengan baik. Itulah prinsip moralitas.” Punya empati dan solidaritas kepada para pekerja medis yang berjuang keras menangani pasien yang terkena virus. Dan juga kepada orang-orang menengah ke bawah yang terkena dampak, kehilangan mata pencarian dan pendapatan yang berkurang. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar