Rabu, 28 Juli 2021

 

Penyerapan Anggaran

A Prasetyantoko ;  Rektor Unika Atma Jaya

KOMPAS, 27 Juli 2021

 

 

                                                           

Ibarat peperangan, anggaran pemerintah adalah mesiu di genggaman kita yang belum dimanfaatkan secara optimal, sedangkan serangan musuh makin ganas. Badai pandemi Covid-19 terus merangsek.

 

Meski tingkat infeksi sudah menurun dari titik tertinggi pada 16 Juli lalu lalu sebesar 54.000 kasus positif dalam sehari, tetapi tingkat kematian masih di atas 1.000 orang per hari. Bahkan, pada 23 Juli sebanyak 1.566 orang meninggal. Pemerintah perlu konsisten melihat angka kematian sebagai barometer, bukan hanya tingkat infeksi harian yang nilainya seturut dengan jumlah tes yang dilakukan.

 

Sementara itu, pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat darurat yang diperpanjang telah memperdalam kemandekan perekonomian sehingga diperlukan tambahan belanja sosial. Menghadapi meningkatnya angka kematian, juga problem kemiskinan, pemerintah kembali menaikkan anggaran Penyelamatan Ekonomi Nasional sebanyak Rp 54 triliun.

 

Namun. kebijakan itu diambil di tengah realisasi anggaran yang masih belum optimal. Hingga 12 Juli, baru diserap 37 persen total anggaran PEN yang sebagian besar berada di tangan pemerintah daerah. Untuk itu, peningkatan kapasitas penggunaan anggaran di daerah melalui intervensi pusat perlu dilakukan agar peperangan melawan pandemi bisa lebih efektif.

 

Bertumpu pada fiskal

 

Dalam World Economic Outlook terbitan Dana Moneter Internasional edisi April 2021 diperkirakan perekonomian Amerika Serikat akan tumbuh sangat impresif tahun ini, yakni 6,4 persen atau lebih tinggi dari rerata pertumbuhan global sebesar 6 persen.

 

Fenomena negara maju memiliki pertumbuhan lebih tinggi dari pertumbuhan global ini jarang terjadi. Kuncinya adalah pengendalian pandemi melalui vaksinasi massal yang didukung belanja fiskal sangat besar. Pada Juli sudah sebanyak 187 juta atau sekitar 57 persen penduduk AS divaksin.

 

IMF dalam laporan tersebut juga menaikkan proyeksi pertumbuhan ekonomi Inggris dari 4,5 persen menjadi 5,3 persen. Kunci utamanya adalah keberhasilan vaksinasi yang dengan relatif cepat memenuhi tingkat kekebalan komunal sehingga roda perekonomian bisa dibuka kembali. Pada 19 Juli lalu, negara ini secara resmi mencabut semua larangan terkait Covid, seperti larangan berkumpul dan memakai masker di tempat umum. Mereka sangat percaya diri dengan tingkat vaksinasi yang sudah mencapai hampir 70 persen penduduk.

Data Kementerian Kesehatan menunjukkan, hingga 25 Juli jumlah penduduk Indonesia yang sudah menerima vaksin dosis pertama berjumlah 44,4 juta atau setara dengan 21,35 persen. Perjalanan menuju kekebalan komunal masih jauh meski berbagai upaya peningkatan vaksinasi terus dilakukan.

 

Sementara itu, satu-satunya upaya memutus rantai penularan serta meninimalkan tingkat kematian adalah meningkatkan pembatasan sosial. Untuk itu perlu belanja sosial lebih banyak.

 

Dibandingkan dengan negara maju, seperti AS dan Jepang yang menaikkan belanja fiskal dalam menghadapi pandemi sekitar 15 persen dari perekonomian mereka, kenaikan anggaran kita memang relatif kecil atau sekitar 2,5 persen saja. Meski demikian, persoalan kita bukan saja soal jumlah anggarannya, tetapi tingkat realisasinya.

 

Menghadapi gelombang kedua pandemi Covid-19, pemerintah pusat sebenarnya bereaksi cepat dengan meningkatkan dana Pemulihan Ekonomi Nasional dari Rp 699,43 menjadi Rp 744,75 triliun. Dua pos belanja mendapat suntikan cukup besar, yaitu belanja kesehatan dengan penambahan Rp 15 triliun dan pos perlindungan sosial ditambah Rp 34 triliun. Ironinya, penambahan alokasi terjadi dalam situasi realisasi anggaran yang masih relatif kecil.

 

Pos kesehatan baru digunakan Rp 54,10 triliun atau 25,2 persen, sementara perlindungan sosial terealisasi Rp 82,22 triliun atau 43,8 persen. Padahal, dua pos ini merupakan kunci pemulihan baik dari sisi kesehatan maupun kesejahteraan. Realisasi anggaran kesehatan juga akan menentukan tingkat akselerasi vaksinasi.

 

Menghadapi perpanjangan PPKM darurat, pemerintah mengalokasikan lebih banyak anggaran perlindungan sosial. Di antaranya, penambahan manfaat kartu sembako sebesar Rp 100.000 selama 2 bulan untuk 18,8 juta keluarga pengguna manfaat, dan bantuan beras Bulog 10 kg untuk 28,8 juta keluarga penerima manfaat. Juga perluasan bantuan sosial tunai, diskon listrik, subsidi kuota dan tambahan alokasi Kartu Pra-Kerja serta Bantuan Subsidi Upah.

 

Sektor dunia usaha juga masih mendapatkan manfaat berupa insentif usaha senilai Rp 62,83 triliun dalam bentuk angsuran pajak penghasilan (PPh) 25, PPh badan, PPh final UMKM, pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) kendaraan bermotor, serta pajak pertambahan nilai (PPN) perumahan. Sebetulnya, insentif fiskal instrumennya cukup lengkap. Jika bisa diakselerasi penggunaannya, tentu akan punya dampak nyata bagi perekonomian.

 

Penambahan jumlah anggaran hanya akan relevan jika penggunaannya terakselerasi. Apalagi, ruang fiskal juga sudah sempit. Defisit anggaran 2021 seharusnya sudah ke angka 4 persen, sebelum tahun 2022 menjadi 3,6 persen dan pada 2023 seperti direncanakan sebesar 2,7 persen, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No 2 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19.

 

Meski ruang fiskal begitu sempit, besaran defisit merupakan komitmen (politik). Jika memang situasinya tidak memungkinkan kembali ke level di bawah 3 persen, hanya diperlukan kesepakatan untuk menerbitkan undang-undang baru sebagai revisi target defisit.

 

Pada fase ini yang lebih mendesak dilakukan adalah ketegasan pemerintah pusat mendorong realisasi anggaran. Data realisasi di tiap daerah serta kementerian perlu disampaikan kepada publik agar terjadi pemantauan secara terbuka, disertai mekanisme sanksi bagi yang di bawah target yang ditentukan. Di samping itu diperlukan tim gugus tugas yang dikoordinasikan pemerintah pusat untuk melakukan pendampingan bagi daerah yang diberi kewenangan melakukan diskresi administratif agar lebih fleksibel.

 

Di hampir semua hal, kita cenderung lambat merespons, mungkin karena birokrasi yang terlalu besar dan tidak efektif. Oleh karenanya, pandemi ini juga memunculkan urgensi perombakan birokrasi di masa depan sebagai bagian dari transformasi ekonomi pasca-pandemi. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar