Penyerapan
Anggaran A Prasetyantoko ; Rektor Unika Atma Jaya |
KOMPAS, 27 Juli 2021
Ibarat
peperangan, anggaran pemerintah adalah mesiu di genggaman kita yang belum
dimanfaatkan secara optimal, sedangkan serangan musuh makin ganas. Badai
pandemi Covid-19 terus merangsek. Meski
tingkat infeksi sudah menurun dari titik tertinggi pada 16 Juli lalu lalu
sebesar 54.000 kasus positif dalam sehari, tetapi tingkat kematian masih di
atas 1.000 orang per hari. Bahkan, pada 23 Juli sebanyak 1.566 orang
meninggal. Pemerintah perlu konsisten melihat angka kematian sebagai
barometer, bukan hanya tingkat infeksi harian yang nilainya seturut dengan
jumlah tes yang dilakukan. Sementara
itu, pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat darurat yang diperpanjang
telah memperdalam kemandekan perekonomian sehingga diperlukan tambahan
belanja sosial. Menghadapi meningkatnya angka kematian, juga problem
kemiskinan, pemerintah kembali menaikkan anggaran Penyelamatan Ekonomi
Nasional sebanyak Rp 54 triliun. Namun.
kebijakan itu diambil di tengah realisasi anggaran yang masih belum optimal.
Hingga 12 Juli, baru diserap 37 persen total anggaran PEN yang sebagian besar
berada di tangan pemerintah daerah. Untuk itu, peningkatan kapasitas
penggunaan anggaran di daerah melalui intervensi pusat perlu dilakukan agar
peperangan melawan pandemi bisa lebih efektif. Bertumpu pada fiskal Dalam
World Economic Outlook terbitan Dana Moneter Internasional edisi April 2021 diperkirakan
perekonomian Amerika Serikat akan tumbuh sangat impresif tahun ini, yakni 6,4
persen atau lebih tinggi dari rerata pertumbuhan global sebesar 6 persen. Fenomena
negara maju memiliki pertumbuhan lebih tinggi dari pertumbuhan global ini
jarang terjadi. Kuncinya adalah pengendalian pandemi melalui vaksinasi massal
yang didukung belanja fiskal sangat besar. Pada Juli sudah sebanyak 187 juta
atau sekitar 57 persen penduduk AS divaksin. IMF
dalam laporan tersebut juga menaikkan proyeksi pertumbuhan ekonomi Inggris
dari 4,5 persen menjadi 5,3 persen. Kunci utamanya adalah keberhasilan
vaksinasi yang dengan relatif cepat memenuhi tingkat kekebalan komunal
sehingga roda perekonomian bisa dibuka kembali. Pada 19 Juli lalu, negara ini
secara resmi mencabut semua larangan terkait Covid, seperti larangan
berkumpul dan memakai masker di tempat umum. Mereka sangat percaya diri
dengan tingkat vaksinasi yang sudah mencapai hampir 70 persen penduduk. Data
Kementerian Kesehatan menunjukkan, hingga 25 Juli jumlah penduduk Indonesia
yang sudah menerima vaksin dosis pertama berjumlah 44,4 juta atau setara
dengan 21,35 persen. Perjalanan menuju kekebalan komunal masih jauh meski
berbagai upaya peningkatan vaksinasi terus dilakukan. Sementara
itu, satu-satunya upaya memutus rantai penularan serta meninimalkan tingkat
kematian adalah meningkatkan pembatasan sosial. Untuk itu perlu belanja
sosial lebih banyak. Dibandingkan
dengan negara maju, seperti AS dan Jepang yang menaikkan belanja fiskal dalam
menghadapi pandemi sekitar 15 persen dari perekonomian mereka, kenaikan
anggaran kita memang relatif kecil atau sekitar 2,5 persen saja. Meski
demikian, persoalan kita bukan saja soal jumlah anggarannya, tetapi tingkat
realisasinya. Menghadapi
gelombang kedua pandemi Covid-19, pemerintah pusat sebenarnya bereaksi cepat
dengan meningkatkan dana Pemulihan Ekonomi Nasional dari Rp 699,43 menjadi Rp
744,75 triliun. Dua pos belanja mendapat suntikan cukup besar, yaitu belanja
kesehatan dengan penambahan Rp 15 triliun dan pos perlindungan sosial
ditambah Rp 34 triliun. Ironinya, penambahan alokasi terjadi dalam situasi
realisasi anggaran yang masih relatif kecil. Pos
kesehatan baru digunakan Rp 54,10 triliun atau 25,2 persen, sementara
perlindungan sosial terealisasi Rp 82,22 triliun atau 43,8 persen. Padahal,
dua pos ini merupakan kunci pemulihan baik dari sisi kesehatan maupun
kesejahteraan. Realisasi anggaran kesehatan juga akan menentukan tingkat
akselerasi vaksinasi. Menghadapi
perpanjangan PPKM darurat, pemerintah mengalokasikan lebih banyak anggaran
perlindungan sosial. Di antaranya, penambahan manfaat kartu sembako sebesar
Rp 100.000 selama 2 bulan untuk 18,8 juta keluarga pengguna manfaat, dan
bantuan beras Bulog 10 kg untuk 28,8 juta keluarga penerima manfaat. Juga
perluasan bantuan sosial tunai, diskon listrik, subsidi kuota dan tambahan
alokasi Kartu Pra-Kerja serta Bantuan Subsidi Upah. Sektor
dunia usaha juga masih mendapatkan manfaat berupa insentif usaha senilai Rp
62,83 triliun dalam bentuk angsuran pajak penghasilan (PPh) 25, PPh badan,
PPh final UMKM, pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) kendaraan bermotor,
serta pajak pertambahan nilai (PPN) perumahan. Sebetulnya, insentif fiskal
instrumennya cukup lengkap. Jika bisa diakselerasi penggunaannya, tentu akan punya
dampak nyata bagi perekonomian. Penambahan
jumlah anggaran hanya akan relevan jika penggunaannya terakselerasi. Apalagi,
ruang fiskal juga sudah sempit. Defisit anggaran 2021 seharusnya sudah ke
angka 4 persen, sebelum tahun 2022 menjadi 3,6 persen dan pada 2023 seperti
direncanakan sebesar 2,7 persen, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No 2
Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan
untuk Penanganan Pandemi Covid-19. Meski
ruang fiskal begitu sempit, besaran defisit merupakan komitmen (politik).
Jika memang situasinya tidak memungkinkan kembali ke level di bawah 3 persen,
hanya diperlukan kesepakatan untuk menerbitkan undang-undang baru sebagai
revisi target defisit. Pada
fase ini yang lebih mendesak dilakukan adalah ketegasan pemerintah pusat
mendorong realisasi anggaran. Data realisasi di tiap daerah serta kementerian
perlu disampaikan kepada publik agar terjadi pemantauan secara terbuka,
disertai mekanisme sanksi bagi yang di bawah target yang ditentukan. Di samping
itu diperlukan tim gugus tugas yang dikoordinasikan pemerintah pusat untuk
melakukan pendampingan bagi daerah yang diberi kewenangan melakukan diskresi
administratif agar lebih fleksibel. Di
hampir semua hal, kita cenderung lambat merespons, mungkin karena birokrasi
yang terlalu besar dan tidak efektif. Oleh karenanya, pandemi ini juga
memunculkan urgensi perombakan birokrasi di masa depan sebagai bagian dari
transformasi ekonomi pasca-pandemi. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar