Politik
Harapan Azyumardi Azra ; Profesor UIN Jakarta; Advisor CIS Hamad bin
Khalifa University, Qatar |
KOMPAS, 29 Juli 2021
Krisis
demi krisis yang semula lokal dengan cepat menjadi global memerlukan politik
harapan. Asa masyarakat kian menipis menghadapi krisis keuangan, ekonomi, dan
politik berlarut-larut. Harapan terus memudar tatkala krisis kesehatan akibat
pandemi Covid-19 belum teratasi. Indonesia sepanjang Juli 2021 disebut media
internasional sebagai episentrum baru Covid-19 di dunia: terbanyak kasus
harian orang terinfeksi dan wafat. Pandemi
Covid-19, menurut temuan survei Litbang Kompas, Juli 2021, telah menyudutkan
warga ke titik terendah kerentanan. Kondisi psikososial warga juga tak kurang
mencemaskan (Kompas, 26/7/2021). Banyak
warga korban Covid-19 menghadapi kesulitan berlapis: rumah sakit penuh sesak,
tabung oksigen langka, obat hilang di pasar, dan jenazah antre dimakamkan.
PPKM darurat atau PPKM level 4 membelenggu. Warga menjadi putus asa di lorong
gelap menerima kabar kematian sanak saudara. Kesuraman harapan juga meluas
dalam kehidupan ekonomi. Penerapan PPKM darurat atau PPKM level 4 menambah
kesengsaraan ekonomi kian banyak warga, membuat mereka berada dalam ”limbo”. Kesuraman
harapan juga kian dirasakan warga dalam kehidupan politik. Ada kemerosotan
harapan pada demokrasi yang telah dipelintir penguasa dan elite politik
menjadi oligarki nepotistik despotik. Pemerintah sejak pimpinan puncak,
pejabat tinggi, hingga elite politik di pusat atau dengan daerah sering gaduh
serta saling menyalahkan di depan publik. Komunikasi
di antara sesama pejabat publik dan dengan warga tak berjalan baik. Sering
pejabat publik tak memberikan teladan dan empati kepada warga yang mengalami
kesulitan. Sebagian asyik dengan kepentingan sendiri, mengambil kesempatan di
masa wabah Covid-19. Sebagian lagi terus menetapkan regulasi dan kebijakan
secara oligarki nepotistik despotik. Masih
adakah harapan? Jelas masih ada. Namun, harapan banyak warga kelas menengah
dan kelas bawah memudar. Para pemimpin negara dan elite politik patut tidak
membiarkan berlanjutnya pemudaran harapan. Keadaan ini bisa berujung pada
putus asa; menggiring publik pada apatisme atau pada gejolak emosi panas.
Meningkatnya emosi dan menipisnya kesabaran mendorong warga melakukan
pembangkangan. Dalam
sebuah webinar beberapa hari lalu di mana penulis menjadi narasumber,
beberapa audiens menganjurkan pendekatan lebih cepat, radikal, dan
komprehensif untuk mengubah keadaan politik yang menurut mereka kian tidak
memberikan harapan. Sebagai respons, penulis menekankan agar setiap warga
bersabar, menempuh cara damai, demokratis, dan konstitusional untuk
memperbaiki keadaan, khususnya melalui Pemilu 2024. Semua
perkembangan dan gejala tidak kondusif perlu diantisipasi secara arif dan
bijak oleh pemerintah dan elite politik di DPR atau partai politik.
Menghadapi gejala ini, setiap dan seluruh pemimpin dan elite politik dalam
berbagai tingkatan mesti berusaha lebih sungguh meningkatkan kembali harapan
publik. Seperti diserukan laporan utama Kompas (11/7/2021), perlu membangun
optimisme masyarakat menghadapi tekanan dan ketidakpastian selama masa
pandemi Covid-19. Di
sini perlu pengembangan politik harapan yang niscaya banyak bergantung kepada
pejabat publik, terutama eksekutif dan legislatif yang berada dalam posisi
utama dalam penetapan regulasi. Dalam perspektif warga, berbagai regulasi
sering bukan memperbaiki, melainkan memperburuk keadaan. Ujungnya adalah
kekecewaan, frustrasi, putus harapan, atau perlawanan. Meminjam
kerangka Martin Wolf dalam The Politics of Hope against the Politics of Fear
(2019), dalam keadaan krisis, pejabat publik perlu melakukan pembaruan,
rejuvenasi, dan revitalisasi politik harapan. Politik harapan sangat urgen
dan relevan di tengah merajalelanya wabah Covid-19 dan meningkatnya
ketidakpuasan warga. Politik harapan memerlukan sejumlah langkah untuk bisa
efektif. Langkah-langkah itu mesti dilakukan para pejabat publik sejak dari
tingkat terpuncak sampai level terbawah. Politik
harapan menghendaki penguatan kepemimpinan pejabat publik. Mereka harus
menunjukkan kemampuan memimpin dan menggerakkan institusi birokrasi serta
organisasi masyarakat dalam kesatuan gerak secara konsisten untuk memecahkan berbagai
masalah berat yang dihadapi warga. Pejabat harus menunjukkan mereka tahu
masalah dan kompeten. Mereka mesti bisa berkomunikasi dengan baik; tidak
terus berbeda pendapat dan mengacaukan ranah publik dengan pernyataan,
akronim, atau singkatan membingungkan. Hanya
dengan penguatan kepemimpinan pejabat publik, warga dapat membangun kembali
sikap percaya dan keyakinan kepada pemerintah. Pejabat publik mesti tidak
sibuk menjaga citra lewat kebijakan yang dipandang warga tak lebih dari
”pemanis bibir” atau gimik yang tak bisa membangkitkan kepercayaan dan
keyakinan masyarakat. Politik
harapan juga meniscayakan penguatan inklusivitas dan empati pemimpin publik.
Di tengah kesulitan ekonomi, politik, atau kesehatan, pemimpin publik harus
meninggalkan kecenderungan eksklusif. Mereka jangan terjebak dalam lingkaran
koalisi oligarkis sehingga semakin jauh dari realitas—kehilangan empati tulus
kepada yang menderita. Politik harapan mesti mencakup penajaman sensitivitas
pemimpin publik memilih prioritas. Indonesia
memerlukan politik harapan untuk menggantikan politik ketakutan atau politik
kegelapan. Sudah waktunya pejabat publik membangun politik harapan sebelum
terlalu terlambat dan keadaan kian buruk. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar