Kamis, 29 Juli 2021

 

Gejolak Ekonomi di Tikungan Kedua Pandemi

Ahmad Erani Yustika ;  Guru Besar FEB Universitas Brawijaya Deputi Pembangunan Ekonomi Sekretariat Wakil Presiden

KOMPAS, 29 Juli 2021

 

 

                                                           

Pengendalian wabah Covid-19 di Indonesia sempat seperti telah berada di genggaman tangan. Sampai pertengahan Mei 2021 jumlah warga yang terpapar turun di bawah 5.000 orang per hari.

 

Vaksin yang disuntikkan ke penduduk juga terus meningkat dari hari ke hari. Tempat isolasi mandiri yang disediakan pemerintah mulai lapang: tak penuh penghuninya. Ruang isolasi rumah sakit (RS) sebagian kosong. Jumlah warga baru yang terpapar virus lebih rendah dari pasien yang sembuh. Ini membuat prospek kehidupan menjadi merekah.

 

Namun, tak lama setelah itu, dampak dari mudik Lebaran (yang kurang efektif dibendung) dan serangan varian baru virus yang berasal dari India (Delta) mulai mengganas sehingga memupus asa di depan mata. Situasi memburuk dengan gegas, bahkan penambahan kasus harian nyaris menyentuh 57.000 orang (naik 10 kali lipat). Tenaga kesehatan (nakes) terpapar dan sebagian gugur. RS tak bisa menampung luapan pasien baru. Oksigen (dan tabungnya) meruap. Segalanya mendadak gelap.

 

Kontrol pasokan

 

Pemerintah merespons kondisi itu dengan menerapkan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat di Jawa dan Bali. Kegiatan pemerintahan, ekonomi, dan ritual agama dikendalikan untuk sementara waktu. Pusat perbelanjaan ditutup, restoran hanya menerima pesanan (tak boleh makan-minum di tempat), jalan-jalan disekat, kantor diatur ketat operasinya (kecuali sektor esensial), kegiatan tempat ibadah dibatasi, dan seterusnya.

 

Situasi lebih kurang mirip saat pertama kali pemerintah memberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) pada awal pandemi (2020). Inilah “tikungan kedua pandemi” yang juga banyak dialami negara lain.

 

Mencermati kondisi ini, terdapat sekurangnya tiga soal pokok yang perlu disiapkan dengan sigap. Pertama, membantu dengan cepat penambahan daya tampung RS dan nakes. Kedua, PPKM Darurat punya dampak sama dengan PSBB: daya beli warga merosot. Proteksi sosial menjadi tiang bergantung. Ketiga, instrumen fiskal perlu dikonsolidasikan lagi karena terjadi aneka perubahan. Ketiganya jelas bukan soal mudah.

 

Secara berangsur kapasitas RS telah ditambah, namun masih jauh dari kebutuhan. Beberapa fasilitas bangunan yang dimiliki pemerintah (termasuk kampus negeri) bisa didayagunakan untuk kondisi darurat ini, baik sebagai tempat isolasi mandiri (isoman) maupun RS darurat. Kerja sama dengan ormas besar, seperti NU dan Muhammadiyah, patut diintensifkan.

 

Para nakes diberi amunisi vaksin lagi agar daya tahan tubuh kuat menghadapi beban kerja maupun amuk virus. Relawan yang dapat membantu pekerjaan ini dikonsolidasikan, termasuk petugas penyuntikan vaksin. Pemerintah telah mengambil sikap yang benar bagi percepatan penyuntikan vaksin.

 

Problem yang tak kalah merisaukan adalah kelangkaan beberapa perkakas kesehatan, seperti obat-obatan, vitamin, oksigen (tabung), dan lain-lain. Tidak diketahui secara persis masalah kelangkaan ini: apakah produksi memang terbatas atau terdapat mafia yang mengontrol pasokan di pasar? Pada situasi seperti sekarang, perilaku culas (moral hazard) harus dibasmi sebab berpunggungan dengan keadaan darurat kemanusiaan yang tengah berlangsung.

 

Salah satu yang perlu ditelisik atas kelangkaan alat kesehatan ialah peta pemain yang selama ini menjadi pemasok barang. Sejak awal pandemi, Menteri BUMN telah membuat pernyataan terang-benderang: sebagian besar alat kesehatan berasal dari produk impor dan pemainnya terbatas.

 

Praktik oligopoli ini patologi yang sangat serius karena produsen atau distributor dengan mudah mempermainkan jumlah barang dan harga. Data yang dilansir CSIS (2017), misalnya, menunjukkan pada 2002 terdapat empat perusahaan yang mengendalikan penuh (100 persen) peralatan kedokteran dan pada 2012 keempat korporasi itu masih menguasai 96,9 persen.

 

Persaingan ini amat tidak sehat sehingga pasar menjadi distortif. Pada situasi mendesak seperti sekarang, salah satu intervensi yang bisa dilakukan adalah mendorong BUMN masuk ke arena untuk memecah praktik oligopoli tersebut. Pemerintah, lewat anggaran negara, dapat pula melakukan intersepsi pengadaan langsung dengan negara atau produsen (luar negeri) agar pasokan segera bertambah.

 

Pertumbuhan berimbang

 

Seiring peningkatan pertumbuhan ekonomi sejak triwulan III-2020 sampai triwulan I-2021, beberapa data sosial-ekonomi juga mengalami perbaikan, seperti angka kemiskinan, pengangguran, ketimpangan. Pengangguran mengalami perbaikan paling meyakinkan. Sementara itu, kemiskinan dan ketimpangan terdapat penurunan, namun amat tipis. Capaian ini patut disyukuri di tengah situasi yang sangat menekan.

 

Setelah gelombang kedua pandemi terjadi, yang dimulai sejak awal Juni 2021, hampir dipastikan daya beli masyarakat merosot lagi. Sebagian warga tidak bekerja kembali sehingga wabah kemiskinan dan pengangguran berpotensi menyeruak ke permukaan.

 

Sekali lagi, situasi yang hampir sama layaknya pada April-Juni 2020 berpeluang besar terulang. Pertumbuhan ekonomi Jawa-Bali akan turun lagi dan menciptakan kawah baru pengangguran dan kemiskinan (termasuk ketimpangan). Peta ini perlu tentu perlu dianalisis lebih dalam lagi.

 

Terdapat dua aktivitas ekonomi yang laik diperhatikan secara saksama. Pertama, berbeda dengan awal serangan pandemi, saat ini persebaran virus relatif lebih merata antara daerah perkotaan dan perdesaan. Implikasinya, sektor pertanian (dalam pengertian yang luas, termasuk peternakan, perkebunan, dan perikanan) tidak akan leluasa geraknya seperti tahun lalu. Pada 2020 sampai triwulan I-2021 sektor pertanian terus tumbuh positif (meski menurun). Jika melihat situasi sekarang langkah presisi perlu disiapkan sejak dini untuk menyangga produksi sektor strategis ini.

 

Kedua, sejak tahun lalu informalisasi ekonomi bertambah pesat akibat penutupan kegiatan ekonomi. Sektor formal yang tergopoh masih bisa disangga lewat fleksibilitas ekonomi informal. Saat ini potensi pembengkakan sektor informal sangat mungkin tercipta sehingga kerentanan ekonomi kian meningkat. Ciri sektor informal ini diselimuti oleh ketidakpastian, pendapatan rendah, dan ketiadaan perlindungan.

 

Apa yang bisa dilakukan dalam situasi yang serba pelik ini? Pemerintah dan Bank Indonesia (juga Otoritas Jasa Keuangan) sudah tepat menyusun aneka simulasi kebijakan ekonomi, misalnya relaksasi kredit, penurunan tingkat suku bunga, restrukturisasi pinjaman, bantuan produktif, dan lain sebagainya.

 

Di luar itu, terdapat kebijakan lain yang dipikirkan oleh ekonom pembangunan berpengaruh, Ragnar Nurkse (1953). Ekonom ini menyatakan tak bisa otoritas sekadar meningkatkan salah satu sumber pertumbuhan, misalnya sektor industri (seperti disarankan Rosenstein-Rodan), tetapi secara bersamaan juga mesti mengembangan aktivitas ekonomi yang saling berkaitan.

 

Misalnya, insentif investasi sektor pertanian direlasikan dengan pengembangan industri olahan yang berbasis komoditas primer. Implikasinya, pertumbuhan produksi pertanian bisa diserap industri dan punya potensi memindahkan pelaku sektor informal ini (baik ke pertanian maupun industri). Doktrin “pertumbuhan berimbang” ini akan menyelamatkan keadaan.

 

Ketangkasan eksekusi

 

Seluruh pemangku kepentingan paham bahwa dalam situasi darurat (kesehatan, ekonomi, dan sosial), hanya pemerintah yang bisa dijadikan tumpuan. Salah satu tiangnya bersumber dari kebijakan fiskal. Pada masa normal saja ruang fiskal sangat terbatas, apalagi keadaan sekarang. Penerimaan negara rendah akibat ekonomi terjun bebas, sebaliknya kebutuhan alokasi belanja melonjak. Ruang yang tersedia cuma dua: menambah utang atau realokasi anggaran. Menambah utang dalam jumlah besar berisiko karena muncul jebakan fiskal (dalam jangka menengah).

 

Solusi jangka pendek di antaranya meminta restrukturisasi pembayaran dan diskon bunga utang. Ini membuat rongga belanja menjadi sedikit terbuka. Penghematan dan realokasi belanja telah dilakukan sejak tahun lalu, namun inefisiensi masih terjadi. Program kementerian/lembaga yang tumpah tindih dan sandaran program yang belum presisi perlu ditelisik lagi. Pemerintah terus mengerjakan konsolidasi dua sisi ini agar kebijakan fiskal lebih kredibel dan program dijalankan secara akuntabel.

 

Perkara kunci yang mesti diselaraskan adalah paket proteksi sosial yang terukur, sederhana, dan cepat sampai (sasaran). Dua dimensi dari keterukuran adalah: siapa yang wajib disantuni dan berapa besarannya. Di sini persoalan data kerap menjadi sandungan, tetapi secara umum sudah lebih baik ketimbang tahun lalu. Besarannya perlu disesuaikan agar riak sosial bisa dicegah.

 

Selanjutnya, program bantalan sosial ini mesti didesain sederhana, baik dari sisi jenis maupun mekanisme penyalurannya. Program Bantuan Sosial Tunai (BST) merupakan salah satu contoh kebijakan yang simpel, demikian pula program subsidi upah yang dikerjakan tahun lalu. Program semacam ini eksekusinya membutuhkan sumber daya yang sedikit dan tidak banyak lini birokrasi terlibat sehingga mencegah ragam penyimpangan. Selebihnya, program harus cepat ke tangan penerima sebab kehidupan rakyat sekarang ibarat ilalang kering yang gampang tersulut. Ketangkasan dan kepastian jadi bagian dari pertaruhan efektivitas kebijakan.

 

Ujung dari harapan seluruh pihak adalah sinyal keselarasan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah dalam menyusun dan mengeksekusi kebijakan (kesehatan, ekonomi, dan sosial). Situasi sekarang jauh lebih baik ketimbang setahun lalu. Informasi makin lengkap dan mekanisme kerja kian tertata. Tetapi, dalam beberapa hal kesamaan pandang dalam menyikapi situasi darurat (seperti penggunaan tempat ibadah) belum sebangun seperti yang diharapkan. Hal ini juga terjadi pada aneka soal lainnya, baik pada isu kesehatan maupun ekonomi.

 

Kebijakan fiskal yang telah direalokasi pemerintah pusat semestinya juga diikuti oleh pemerintah daerah (termasuk penyerapan anggaran), di samping kejelasan pembagian beban fiskal antara pusat dan daerah. Akhirnya, pada situasi sekarang absah saja warga negara mengutuk keadaan atau menuding kesalahan. Namun, pada puncak kegentingan kemanusiaan yang dibutuhkan adalah pelayanan. “The sole meaning of life is to serve humanity,” ujar Leo Tolstoy. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar