Sabtu, 24 Juli 2021

 

Pengorbanan dan Ketulusan

Zuly Qodir ;  Sosiolog, Direktur Program Doktor Politik Islam UMY

KOMPAS, 19 Juli 2021

 

 

                                                           

Agama senantiasa menghadirkan dua sisi kisah kemanusiaan, yaitu  keutamaan, ketulusan, dan pengorbanan di satu sisi, serta  kemurkaan, kerakusan, kebencian, dan keangkuhan di sisi lainnya. Dua sisi kisah kemanusiaan dalam agama-agama dikenal dengan sebutan etika keagamaan-akhlak-moral kebajikan dan keburukan.

 

Ulama besar Imam Al-Ghazali menyebutnya dimensi kemanusiaan di atas dengan etika kemanusiaan dan kebinatangan. Etika kemanusiaan diidentikkan dengan sikap-perilaku-tindakan kemuliaan sebagaimana para malaikat, yang senantiasa taat atas perintah sang pencipta, tanpa memiliki nafsu, bahkan hasrat apapun. Sementara itu, etika kebinatangan sering diidentikkan dengan kerakusan, bengis, menang sendiri, tidak bersedia berbagi, serta tabiat-kebiasaan tidak taat peraturan.

 

Namun demikian, etika seperti malaikat yang tergambar di atas tidak mungkin terjadi pada diri manusia, bahkan tidak perlu diikuti, sebab akan berdampak pada dunia yang statis, tidak ada kemajuan, tidak ada perubahan serta tentunya tidak dinamis. Oleh sebab itu, Ghazali kemudian memberikan nasihat untuk umat manusia tentang etika kemanusiaan: berdiri di antara etika malaikat dan kebinatangan. Yakni seimbang sebagai makhluk yang memiliki nafsu seperti binatang, namun sekaligus memiliki sifat-sifat yang dimiliki malaikat. Dengan demikian, dunia akan dinamis, maju, ada perubahan dan tantangan.

 

Etika keutamaan

 

Dalam kaitan itulah, Idul Adha (Idul Kurban), yang hendak kita selenggarakan kali ini merupakan momentum etika kemanusiaan yang benar-benar akan menguji umat beragama, terutama yang hendak memberikan hewan kurban pada panitia. Kurban yang hendak dilakukan di era pandemi Covid-19, yang tampaknya belum bersahabat dengan umat manusia Indonesia (khususnya), dengan melihat korban terpapar wabah mematikan terus meningkat. Terlalu banyak jiwa-jiwa yang telah terkapar oleh dahsyatnya wabah mematikan ini sejak satu setengah lalu.

 

Oleh sebab itu, terdapat beberapa ajakan untuk melakukan reinterpretasi atas kurban yang hendak diberikan pada saat Idul Adha. Seperti datang dari Pimpinan Pusat Muhammadiyah, agar uang kurban atau hewan kurban yang akan disembelih nanti dapat dialihkan untuk membantu mereka yang terdampak Covid-19, yang memang membutuhkan bantuan makanan yang bergizi, biaya pengobatan, perawatan serta pemulihan. Oleh sebab demikian banyak biaya dan beban sosial yang harus ditanggung para korban Covid-19 ini di masyarakat.

 

Jika hewan kurban disembelih kemudian dibagikan pada para penerima seperti biasanya, menurut Muhammadiyah, dimensi kemanfaatannya saat ini, terutama pada para korban Covid-19 tidak akan banyak mendapatkan nilai keutamaan manfaat. Apalagi jika hanya mendapatkan 1-2 kg daging segar. Oleh karena itu, Muhammadiyah berijtihad, para pemberi uang korban, agar mereka merelakan untuk diberikan kepada para korban keganasan Covid-19, sehingga dapat dimanfaatkan untuk kemaslahatan umat manusia.

 

Gagasan ijtihad Muhammadiyah tersebut agaknya sesuai dengan kaidah: bahwa menyelamatkan satu jiwa manusia, sama dengan kita berupaya menyelamatkan sejumlah besar umat manusia, yakni memungkinkan adanya kehidupan selanjutnya, karena menekan adanya kematian. Hal ini juga sesuai dengan kaidah fikiyah: mendahulukan al maslahah al-um, ila madlarat fil an-nas (kemaslahatan umum-banyak manusia, ketimbang manfaat sedikit manusia. Inilah yang kita namakan maslahah fil-nas (manfaat untuk umat manusia).

 

Manusia dengan etika keutamaan, dikatakan Buya Hamka, penulis Tafsir Al-Azhar, mereka adalah sosok manusia yang tidak disiksa oleh hasrat kebinatangan dan terjerat tabiat malaikat. Mereka adalah yang mampu hidup seimbang antara: Hasrat binatang dan malaikat, sehingga memiliki etika untuk perubahan, dinamis, kadang mempersoalkan yang telah dianggap baku demi kebajikan. Manusia dengan etika keutamaan adalah manusia yang tidak dirundung oleh keimanan yang buta, tanpa ilmu pengetahuan dan realitas sosial. Mereka itulah jiwa-jiwa merdeka yang memiliki kesalehan individual, sekaligus kesalehan sosial.

 

Manusia cinta harta

 

Sementara itu, mereka yang tidak memiliki kepekaan sosial atas penderitaan orang lain, hanya ingin menang sendiri, angkuh atas yang dimiliki, egois, serta hanya ingin menyenangkan keluarga, sanak saudara atau pun kelompoknya adalah sosok manusia yang dikatakan oleh Buya Hamka sebagai “pencinta harta”. Mereka manusia cinta harta, yang beranggapan bahwa apa yang telah dimiliki adalah mutlak karena usahanya sendiri, tanpa campur tangan pihak lainnya.

 

Manusia cinta harta, agaknya akan sulit melakukan perubahan perspektif dan tindakan di luar tradisi-tabiat selama ini. Kurban misalnya, dipastikan akan sulit jika harus dikonversikan menjadi harta yang dikumpulkan, kemudian diberikan pada mereka yang terkena wabah Covid-19. Ajakan Muhammadiyah agar para pemberi kurban merelakan dananya untuk kebutuhan lainnya, ketimbang untuk membeli hewan kurban akan ditentang dengan argumen bahwa menyembelih hewan kurban adalah syariat yang tidak dapat diubah.

 

Kurban adalah ibadah yang mengikuti tradisi Ibrahim-Ismail, bukan mengikuti perkembangan dan perubahan zaman seperti sekarang. Pikiran jumud-tekstual semacam ini tentu akan terus ada, terutama dalam diri jiwa-jiwa yang cinta harta, namun bersembunyi di balik kesalehan spiritual-keagamaan.

 

Saat ini hadirnya manusia-manusia pecinta harta akan dapat dilihat dengan gampang: apakah memiliki kerelaan ketika ada ajakan beribadah di rumah saja saat Idul Adha, mengalihkan dana hewan kurban untuk membantu mereka yang terserang wabah korona, dan mampu menahan diri dari berkomentar penuh kebencian pada pemerintah, pada ormas keagamaan yang berpandangan bahwa perlu ada reinterpretasi atas Kurban ataukah akan bertingkah sebaliknya!

 

Ketulusan jiwa

 

Saat ini, dibutuhkan jiwa-jiwa yang tulus dalam berkurban. Pengorbanan membutuhkan ketulusan yang tanpa topeng. Pengorbanan yang betul-betul dapat menciptakan ketenangan jiwa-jiwa umat manusia dari berbagai penderitaan, termasuk penderitaan dari wabah Covid-19. Selain itu ketulusan jiwa yang mampu menghadirkan ketenangan psikologi dan situasi sosial politik dari berbagai komentar, hasrat politik, hasrat kerakusan, serta hasrat egois.

 

Idul Adha kali ini benar-benar menjadi Idul Adha yang harus mampu menciptakan kondisi bagaimana bangsa ini lebih tenang secara sosial dari hentakan kemerosotan ekonomi-produksi, warga yang tidak dibombardir dengan pelbagai informasi menyesatkan alias hoaks, karena kebencian pada pemerintah dan lawan-lawan politik.

 

Warga negara saat ini lebih membutuhkan keselamatan ketika Covid-19 menyergap, oleh sebab umat manusia Indonesia banyak yang sangat membutuhkan ventilator, oksigen serta ruang perawatan ketimbang kegaduhan manuver-manuver politik yang hanya hendak menguntungkan diri sendiri, kelompoknya, serta orang-orang terdekatnya.

 

Warga negara tidak lagi berharap terlalu banyak pada politisi dan pengamat, mantan pejabat yang suka mengumbar janji palsu dan menyebarkan berita palsu-hoaks yang dimaksudkan untuk mendapatkan simpati dan dukungan politik.

 

Oleh sebab itu, saatnya kita berhenti menjadi manusia-manusia pecinta harta atas nama kesalehan, kebajikan serta syiar agama. Idul Adha kali ini benar-benar hari raya yang harus dirayakan dengan cara berbeda, tanpa mengurangi kekhusukan dan ketulusan dalam bermunajat pada Tuhan. Inilah Idul Adha yang akan menciptakan dan menemukan siapa sejatinya manusia yang sungguh-sungguh rela dalam pengorbanan dan memiliki ketulusan pada Tuhan. Selamat Merayakan Idul Kurban dengan ketenangan! ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar