Kurban
dan Filantropisme di Masa Pandemi A Helmy Faishal Zaini ; Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Nahdlatul
Ulama |
KOMPAS, 20 Juli 2021
Ada rasa haru dan bangga
sekaligus ketika membaca kabar yang dirilis Charities Aid Foundation (CAF)
yang menobatkan Indonesia sebagai negara paling dermawan pada 2020. Penobatan ini didasarkan
pada World Giving Index (WGI) 2021 yang disusun CAF. Indonesia memiliki skor
69 persen. Angka ini naik dibandingkan pada 2019 yang 59 persen. Lebih menariknya lagi,
dalam laporan WGI tersebut, Indonesia memiliki skor tertinggi lantaran orang
yang berdonasi di Tanah Air mencapai 83 persen pada 2020. Jumlah masyarakat
yang menjadi sukarelawan pun mencapai 60 persen, lebih tinggi dibandingkan
rata-rata global. Laporan CAF dan WGI ini
menjadi pelecut sekaligus bukti nyata bahwa apa yang disebut sebagai semangat
filantropisme yang berasal dari watak dasar mulia berupa solidaritas,
kepeduliaan, kedermawanan dan kemanusiaan bisa kita dayagunakan untuk bersatu
bahu-membahu keluar dari krisis kemanusiaan akibat pandemi Covid-19 ini. Bahwa di tengah-tengah
kondisi krisis yang melanda bangsa kita dan dunia pada umumnya,
manusia-manusia Indonesia masih tetap memiliki bekal elementer: tidak
kehilangan sikap peduli, kedermawanan, dan rasa kemanusiaan. Pada titik ini kita harus
bersyukur. Tidak mudah bagi kita untuk tetap menjaga solidaritas, kepedulian,
dan rasa kemanusiaan di saat kondisi serba sulit seperti saat ini. Wujud rasa
syukur ini tentu saja harus kita aktualisasikan dalam bentuk yang lebih
konkret: semakin meningkatkan rasa kepedulian, kedermawanan, dan rasa
kemanusiaan. Ketiganya merupakan kata kunci yang harus kita pegang agar kita
dapat keluar dari krisis kemanusiaan akibat pandemi Covid-19 ini. Kontribusi
kemanusiaan Momentum Idul Adha
merupakan waktu yang tepat bagi kita semua untuk merefleksikan sikap dan diri
kita dengan terus memompa diri dengan pertanyaan: kontribusi kemanusiaan apa
dan pengorbanan apa yang bisa saya berikan sebagai sumbangsih untuk keluar
dari krisis kemanusiaan Covid-19 ini? Pertanyaan ini penting
untuk selalu kita tanamkan dalam benak dan hati kita agar kita bisa ikut
ambil bagian dan melakukan hal sekecil apa pun demi berkontribusi dalam jihad
di tengah pandemi ini. Kita masing-masing dapat berperan, ambil bagian,
mengorbankan kepentingan dan ego kita untuk bersama-sama menjaga diri dan
orang lain agar selamat dari pandemi ini. Tidak semua pengorbanan
dan filantropisme harus diukur dengan materi. Kerelaan kita untuk selalu
mematuhi protokol kesehatan dalam konteks melawan wabah ini juga masuk ke
dalam ketegori pengorbanan. Kesadaran untuk menjaga diri dan melindungi orang
lain dari kemungkinan terinfeksi virus Covid-19 merupakan bentuk jihad paling
konkret di tengah wabah ini. Ajaran kurban sejatinya
adalah sebuah ajaran tentang pengorbanan, keikhlasan, kesabaran, dan juga
kemanusiaan. Ketiga nilai ajaran tersebut secara simbolik-metaforik
dilukiskan melalui dialog yang melibatkan tiga manusia pilihan. Ketiganya,
yakni Ibrahim, Siti Hajar, dan Ismail, harus menjalani fase kehidupan yang
sangat berat. Cinta ketiganya diuji oleh Allah SWT. Sukacita dan rasa bahagia
setelah dikarunia seorang putra yang telah dinanti sekian lama harus diuji,
sebab Allah menginginkan sang anak yang bernama Ismail itu disembelih dan
dijadikan kurban. Sebagaimana terekam dalam
surat Ash-Saffat (99-113), kisah pengurbanan itu bermula ketika Ibrahim
bermimpi melihat diri secara pribadi menyembelih Nabi Ismail. Nabiyullah
Ibrahim memahami bahwa mimpi yang dialaminya merupakan isyarat perintah dari
Allah. Ibrahim kemudian
mendatangi Nabi Ismail dan berkata, ”Wahai anakku, sesungguhnya aku bermimpi
bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah bagaimana pendapatmu.” Ismail yang
saat itu masih berusia belia menjawab dengan penuh kesungguhan dan
keikhlasan. ”Ayahku, lakukan apa yang diperintahkan (Allah) kepadamu. Insya
Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang yang sabar.” Dialog tersebut memberi
gambaran bagi kita bahwa pengorbanan memang membutuhkan kesabaran. Dengan watak yang
sepenuhnya berserah dan tawakal kepada Allah SWT, dua pribadi mulia ini
menjadi teladan kita bersama bahwa jika kita berserah sepenuhnya dan percaya
kepada Allah SWT, niscaya kita ada diberi solusi yang terbaik. Termasuk dalam
konteks krisis kemanusiaan yang saat ini sedang kita alami bersama. Lebih lanjut, kurban
merupakan medium untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Kurban merupakan
salah satu media yang paling efektif untuk mengesampingkan egoisme sebagai
upaya untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Egoisme adalah salah satu
penyakit hati yang sangat berbahaya jika tidak dieliminasi. Sebab, ia akan
menggerogoti kesalehan sosial yang merupakan salah satu pilar kesalehan yang
harus dijaga oleh seorang Muslim. Idul Adha harus kita
manfaatkan untuk meningkatkan kepekaan, rasa peduli, dan juga memperbaiki
ikatan-ikatan sosial, terutama di masa-masa sulit ketika wabah melanda
seperti saat ini. Kita semua tentu harus melaksanakan ikhtiar yang maksimal.
Semua pihak: negara, pemerintah, swasta, organisasi kemasyarakatan, dan
individu-individu, harus ambil bagian dalam perjuangan melawan pandemi
Covid-19 ini. Secara khusus Pengurus
Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) telah mengeluarkan seruan kepada umat Islam
bahwa akan lebih baik jika dana kurban dialihkan dan dialokasikan kepada
warga yang terdampak krisis kemanusiaan akibat pandemi Covid-19. Ini dalam
hemat kami akan lebih bermanfaat sebagai bentuk pengorbanan kita. Terlebih, kondisi terkini
yang semakin membuat kita harus meningkatkan rasa kepedulian, yakni adanya
fakta bahwa angka penduduk Indonesia yang terkonfirmasi positif Covid-19
semakin naik secara eksponensial. Belum lagi kita harus menerima kenyataan
dan menghadapi fakta bahwa angka kematian akibat pandemi Covid-19 di
Indonesia juga merupakan yang tertinggi di dunia. Menyemai
konsep ”baity jannaty” Tentu kita semua bersedih.
Namun, kesedihan harus dikelola dengan baik. Kita juga harus berpikir jernih
dan bertindak arif. Sudah saat pula kita berpedoman pada sebuah pepatah
populer: ”It’s better to light a candle than curse the darkness”. Sudah
saatnya kita menyalakan lilin di setiap hati, pikiran, dan tindakan kita
untuk bersama-sama saling bergandengan tangan untuk keluar dari krisis
kemanusiaan ini. Kita percaya bahwa
lilin-lilin yang menyala di hati, pikiran, dan tindakan kita memiliki
kekuatan yang sangat besar untuk melawan kegelapan yang sedang kita alami
bersama. Lebih dari itu semua, yang
tidak kalah penting untuk kita renungkan bahwa di tengah situasi pandemi
seperti saat ini, ada hikmah yang terkandung di dalamnya. Salah satunya, kita
bisa menjadikan momentum karantina ini sebagai wahana untuk menyemaikan
spirit dan konsep baity jannaty, yakni konsep rumah sebagai sebuah surga yang
manifes dalam kehidupan nyata. Kita bisa membangun
tatanan masyarakat yang baik, juga mewujudkan semangat kohesi sosial yang
luas dengan jalan paling sederhana, yakni memulai membangun tatanan kehidupan
yang kohesif, di mulai dari diri kita pribadi dan juga keluarga kita.
Masyarakat yang baik, bangsa yang kokoh, bisa terwujud dari tiang-tiang kecil
keluarga yang juga kokoh dan kohesif. Alakullihal, mari
bersama-sama tetap merawat optimisme kita. Kita mampu untuk bersama-sama
keluar dari masa-masa sulit dan krisis kemanusiaan yang sedang kita alami
bersama. Semoga dengan keberkahan Idul Adha kita semua diberi kekuatan dan
kemudahan oleh Allah SWT untuk segera mendapatkan solusi agar kita bisa
keluar dari pandemi Covid-19 ini. Amin. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar