Sabtu, 24 Juli 2021

 

Kurban dan Filantropisme di Masa Pandemi

A Helmy Faishal Zaini ;  Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama

KOMPAS, 20 Juli 2021

 

 

                                                           

Ada rasa haru dan bangga sekaligus ketika membaca kabar yang dirilis Charities Aid Foundation (CAF) yang menobatkan Indonesia sebagai negara paling dermawan pada 2020.

 

Penobatan ini didasarkan pada World Giving Index (WGI) 2021 yang disusun CAF. Indonesia memiliki skor 69 persen. Angka ini naik dibandingkan pada 2019 yang 59 persen.

 

Lebih menariknya lagi, dalam laporan WGI tersebut, Indonesia memiliki skor tertinggi lantaran orang yang berdonasi di Tanah Air mencapai 83 persen pada 2020. Jumlah masyarakat yang menjadi sukarelawan pun mencapai 60 persen, lebih tinggi dibandingkan rata-rata global.

 

Laporan CAF dan WGI ini menjadi pelecut sekaligus bukti nyata bahwa apa yang disebut sebagai semangat filantropisme yang berasal dari watak dasar mulia berupa solidaritas, kepeduliaan, kedermawanan dan kemanusiaan bisa kita dayagunakan untuk bersatu bahu-membahu keluar dari krisis kemanusiaan akibat pandemi Covid-19 ini.

 

Bahwa di tengah-tengah kondisi krisis yang melanda bangsa kita dan dunia pada umumnya, manusia-manusia Indonesia masih tetap memiliki bekal elementer: tidak kehilangan sikap peduli, kedermawanan, dan rasa kemanusiaan.

 

Pada titik ini kita harus bersyukur. Tidak mudah bagi kita untuk tetap menjaga solidaritas, kepedulian, dan rasa kemanusiaan di saat kondisi serba sulit seperti saat ini. Wujud rasa syukur ini tentu saja harus kita aktualisasikan dalam bentuk yang lebih konkret: semakin meningkatkan rasa kepedulian, kedermawanan, dan rasa kemanusiaan. Ketiganya merupakan kata kunci yang harus kita pegang agar kita dapat keluar dari krisis kemanusiaan akibat pandemi Covid-19 ini.

 

Kontribusi kemanusiaan

 

Momentum Idul Adha merupakan waktu yang tepat bagi kita semua untuk merefleksikan sikap dan diri kita dengan terus memompa diri dengan pertanyaan: kontribusi kemanusiaan apa dan pengorbanan apa yang bisa saya berikan sebagai sumbangsih untuk keluar dari krisis kemanusiaan Covid-19 ini?

 

Pertanyaan ini penting untuk selalu kita tanamkan dalam benak dan hati kita agar kita bisa ikut ambil bagian dan melakukan hal sekecil apa pun demi berkontribusi dalam jihad di tengah pandemi ini. Kita masing-masing dapat berperan, ambil bagian, mengorbankan kepentingan dan ego kita untuk bersama-sama menjaga diri dan orang lain agar selamat dari pandemi ini.

 

Tidak semua pengorbanan dan filantropisme harus diukur dengan materi. Kerelaan kita untuk selalu mematuhi protokol kesehatan dalam konteks melawan wabah ini juga masuk ke dalam ketegori pengorbanan. Kesadaran untuk menjaga diri dan melindungi orang lain dari kemungkinan terinfeksi virus Covid-19 merupakan bentuk jihad paling konkret di tengah wabah ini.

 

Ajaran kurban sejatinya adalah sebuah ajaran tentang pengorbanan, keikhlasan, kesabaran, dan juga kemanusiaan. Ketiga nilai ajaran tersebut secara simbolik-metaforik dilukiskan melalui dialog yang melibatkan tiga manusia pilihan. Ketiganya, yakni Ibrahim, Siti Hajar, dan Ismail, harus menjalani fase kehidupan yang sangat berat. Cinta ketiganya diuji oleh Allah SWT. Sukacita dan rasa bahagia setelah dikarunia seorang putra yang telah dinanti sekian lama harus diuji, sebab Allah menginginkan sang anak yang bernama Ismail itu disembelih dan dijadikan kurban.

 

Sebagaimana terekam dalam surat Ash-Saffat (99-113), kisah pengurbanan itu bermula ketika Ibrahim bermimpi melihat diri secara pribadi menyembelih Nabi Ismail. Nabiyullah Ibrahim memahami bahwa mimpi yang dialaminya merupakan isyarat perintah dari Allah.

 

Ibrahim kemudian mendatangi Nabi Ismail dan berkata, ”Wahai anakku, sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah bagaimana pendapatmu.” Ismail yang saat itu masih berusia belia menjawab dengan penuh kesungguhan dan keikhlasan. ”Ayahku, lakukan apa yang diperintahkan (Allah) kepadamu. Insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang yang sabar.”

 

Dialog tersebut memberi gambaran bagi kita bahwa pengorbanan memang membutuhkan kesabaran.

 

Dengan watak yang sepenuhnya berserah dan tawakal kepada Allah SWT, dua pribadi mulia ini menjadi teladan kita bersama bahwa jika kita berserah sepenuhnya dan percaya kepada Allah SWT, niscaya kita ada diberi solusi yang terbaik. Termasuk dalam konteks krisis kemanusiaan yang saat ini sedang kita alami bersama.

 

Lebih lanjut, kurban merupakan medium untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Kurban merupakan salah satu media yang paling efektif untuk mengesampingkan egoisme sebagai upaya untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Egoisme adalah salah satu penyakit hati yang sangat berbahaya jika tidak dieliminasi. Sebab, ia akan menggerogoti kesalehan sosial yang merupakan salah satu pilar kesalehan yang harus dijaga oleh seorang Muslim.

 

Idul Adha harus kita manfaatkan untuk meningkatkan kepekaan, rasa peduli, dan juga memperbaiki ikatan-ikatan sosial, terutama di masa-masa sulit ketika wabah melanda seperti saat ini. Kita semua tentu harus melaksanakan ikhtiar yang maksimal. Semua pihak: negara, pemerintah, swasta, organisasi kemasyarakatan, dan individu-individu, harus ambil bagian dalam perjuangan melawan pandemi Covid-19 ini.

 

Secara khusus Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) telah mengeluarkan seruan kepada umat Islam bahwa akan lebih baik jika dana kurban dialihkan dan dialokasikan kepada warga yang terdampak krisis kemanusiaan akibat pandemi Covid-19. Ini dalam hemat kami akan lebih bermanfaat sebagai bentuk pengorbanan kita.

 

Terlebih, kondisi terkini yang semakin membuat kita harus meningkatkan rasa kepedulian, yakni adanya fakta bahwa angka penduduk Indonesia yang terkonfirmasi positif Covid-19 semakin naik secara eksponensial. Belum lagi kita harus menerima kenyataan dan menghadapi fakta bahwa angka kematian akibat pandemi Covid-19 di Indonesia juga merupakan yang tertinggi di dunia.

 

Menyemai konsep ”baity jannaty”

 

Tentu kita semua bersedih. Namun, kesedihan harus dikelola dengan baik. Kita juga harus berpikir jernih dan bertindak arif. Sudah saat pula kita berpedoman pada sebuah pepatah populer: ”It’s better to light a candle than curse the darkness”. Sudah saatnya kita menyalakan lilin di setiap hati, pikiran, dan tindakan kita untuk bersama-sama saling bergandengan tangan untuk keluar dari krisis kemanusiaan ini.

 

Kita percaya bahwa lilin-lilin yang menyala di hati, pikiran, dan tindakan kita memiliki kekuatan yang sangat besar untuk melawan kegelapan yang sedang kita alami bersama.

 

Lebih dari itu semua, yang tidak kalah penting untuk kita renungkan bahwa di tengah situasi pandemi seperti saat ini, ada hikmah yang terkandung di dalamnya. Salah satunya, kita bisa menjadikan momentum karantina ini sebagai wahana untuk menyemaikan spirit dan konsep baity jannaty, yakni konsep rumah sebagai sebuah surga yang manifes dalam kehidupan nyata.

 

Kita bisa membangun tatanan masyarakat yang baik, juga mewujudkan semangat kohesi sosial yang luas dengan jalan paling sederhana, yakni memulai membangun tatanan kehidupan yang kohesif, di mulai dari diri kita pribadi dan juga keluarga kita. Masyarakat yang baik, bangsa yang kokoh, bisa terwujud dari tiang-tiang kecil keluarga yang juga kokoh dan kohesif.

 

Alakullihal, mari bersama-sama tetap merawat optimisme kita. Kita mampu untuk bersama-sama keluar dari masa-masa sulit dan krisis kemanusiaan yang sedang kita alami bersama. Semoga dengan keberkahan Idul Adha kita semua diberi kekuatan dan kemudahan oleh Allah SWT untuk segera mendapatkan solusi agar kita bisa keluar dari pandemi Covid-19 ini. Amin. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar