Belajar
dari Bobolnya Varian Baru di Pintu Negara Djoko Santoso ; Guru Besar Kedokteran Unair; Ketua Badan
Kesehatan MUI Jawa Timur; Penyintas Covid-19 |
KOMPAS, 23 Juli 2021
Kebijakan ”lockdown
setengah hati” itu harus menghadapi kenyataan pilu. Saat pemberlakuan
pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) darurat hampir usai, amukan Covid-19
justru kian menjadi-jadi. Optimisme Menko
Kemaritiman dan Investasi Luhut Pandjaitan yang ditunjuk Presiden Jokowi
sebagai komandan untuk memimpin misi khusus menghadapi gelombang kedua
Covid-19 ini meleset. Kurva bukannya manis melandai menuju target di bawah
10.000 kasus penularan per hari, melainkan malah meroket melampaui 50.000. Pada 15 Juli, jumlah kasus
positif harian tercatat 56.757 dan meninggal 982 kasus. Padahal, saat PPKM
darurat mulai dilaksanakan pada 3 Juli, ”baru” ada 27.913 kasus dan meninggal
493 kasus. Lebih dari dua kali lipat! Di balik angka-angka ini
adalah penderitaan manusia. Semua pasukan benteng terakhir perang Covid-19
kewalahan. Rumah sakit (RS) luber pasien, dengan tingkat keterisian tempat
tidur (bed occupancy rate/BOR) RS melampaui 100 persen. Dokter, tenaga
kesehatan, sopir ambulans, pemulasaran jenazah, dan petugas pemakaman
kelelahan, bahkan tumbang. RS lapangan didirikan,
tapi kekurangan tenaga kesehatan. Pasien telantar dan banyak yang meninggal
sebelum tersentuh dokter. Banyak pasien isolasi mandiri yang meninggal dalam
keterasingan. Oksigen dan obat-obatan ikut langka. Masyarakat yang kalut
memburu vaksinasi massal yang banyak berubah jadi kerumunan berisiko tinggi.
Pengusaha kecil dan orang-orang yang tak gajian makin riuh menjerit karena
pengetatan PPKM darurat. Sudah jatuh, tertimpa
”tetangga”. Singapura menolak WNI masuk. Begitu juga Taiwan, Hong Kong, Uni
Emirat Arab, dan Oman. Arab Saudi sudah lebih dulu menutup pintu. Jepang tak hanya menolak
WNI masuk, bahkan mengevakuasi warganya di Indonesia karena tak ingin semakin
banyak warganya jadi korban Covid-19, karena ada 14 orang yang sudah
meninggal di sini. Vietnam juga menjemput
warganya di Indonesia. AS melarang warganya ke Indonesia. Eropa, terutama 26
negara bervisa Schengen, juga menolak WNI masuk. Juga Belanda. Ini seperti ”bertepuk
sebelah tangan” karena Indonesia tak pernah menutup pintu negaranya untuk
orang asing. Padahal, dalih Indonesia tak menutup pintunya karena kebijakan
resiprokal (timbal balik). Apa mau dikata. Indonesia
sekarang mengambil alih posisi India sebagai episentrum Covid-19 di Asia,
bahkan dunia. Indonesia beriringan dengan Brasil sebagai ”juara” Covid-19
harian. Pada 14 Juli yang ”juara” Brasil, hari berikutnya diambil alih
Indonesia. Terjadi kurva naik tajam
di dua negara konsumen vaksin Sinovac ini. Hal ini memengaruhi kurva dunia,
yang kini mulai menanjak juga. India, biang keladi varian
Delta, terus melandai di kisaran 40.000-an. Kasus puncak di negara
berpenduduk 1,4 miliar itu 10 lipat (400.000-an) sebulan lalu. Varian Delta membuat Jawa
didominasi zona merah. Luhut sendiri yang mengonfirmasi ini. Saat menunjukkan
grafik warna merah marun yang menyebar luas kepada media pada 15 Juli,
disebutnya ”itu semua dikontrol varian Delta”. Dia juga mengatakan varian
Delta ini sulit dikendalikan. Padahal, tiga hari sebelumnya, dia menantang
orang yang mengatakan situasi tak terkendali. Makin genting, varian
Delta (B1717.2) yang memerahkan Pulau Jawa ini juga sudah bergerak menginvasi
ke luar Jawa. Menkes Budi Gunadi Sadikin mengonfirmasi, Provinsi Lampung,
Sumsel, Riau, Kepri, Bengkulu, Kaltim, dan Papua Barat sudah diinvasi Delta. Akibatnya, BOR RS di
provinsi itu langsung naik tajam. Berdasarkan laporan yang diterima 13 Juli,
Menkes menyebutkan, BOR di Lampung 86 persen, Kaltim 85 persen, Sumsel 80
persen, Papua Barat 79 persen, Kepri 76 persen, dan Bengkulu 70 persen. Karena sekarang sudah
menjadi episentrum Covid-19 di Asia, dan angka penambahan kasus melampaui
50.000 kasus, WHO makin menaruh perhatian. WHO menyebut, semua mutan varian
ganas sudah masuk ke Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Munculnya varian-varian
baru dengan daya tular tinggi dan kemampuan menembus sistem imun (immune
invasiveness) memberi kontribusi signifikan dalam gelombang penularan terbaru
yang jauh lebih tinggi daripada gelombang-gelombang sebelumnya, seperti di
India. Dari keempat varian yang
harus diwaspadai menurut WHO, yakni Alpha (B.1.1.7), Beta (B.1.351), Gamma
(P.1), dan Delta (B.1.617.2), semua telah ditemukan di Asia Tenggara,
terutama Malaysia, Thailand, Filipina, Singapura, dan Indonesia. Indonesia
yang paling parah. Bahkan, Kepala Lembaga Biologi Molekuler Amin Subandrio
menyebut varian Kappa sudah masuk ke negara kita. Saat ini setidaknya
ditemukan 10 varian baru Covid-19. Selain Alpha, Beta, Delta, Gamma, dan
Kappa, ada Epsilon (B.1.427/B.1.429) dari AS, Zeta (P.2) dari Brasil, Eta
(B.1.525) dari Inggris, Theta (P.3) dari Filipina, dan Iota (B.1.526). Varian Delta sangat ganas
karena membuat angka CT (cycle threshold) penderita jadi rendah, mudah
menularkan, dan meningkatkan keparahan lebih cepat. CT adalah angka siklus
yang muncul saat pemeriksaan usap atau swab tes reaksi rantai polimerase
(PCR). Semakin rendah angka siklus, virusnya semakin banyak. Semakin tinggi
angka CT, bisa diartikan semakin sedikit virusnya. Ambang batas CT yang aman
berkisar 35-40. Kemenkes melansir temuan, sejak varian Delta masuk ke
Indonesia, rata-rata CT di sejumlah daerah menurun. Artinya, jumlah virus
yang menular makin merebak. Bobol
karena ”bebal” Perlu ditinjau kembali
bagaimana varian Delta ini menginvasi negara kita. Sudah semestinya ini jadi
pelajaran keras karena sudah terperosok ke lubang yang sama berkali-kali. Sejak semula Covid-19 ini
adalah kasus virus asing, yakni dari China. Begitu juga masuknya
varian-varian baru. Namun, kita tak pernah sungguh-sungguh mengamankan pintu
negara. Seperti ada kebebalan, WNA
tetap bebas masuk ketika rakyat dikurung dalam berbagai jenis pembatasan
ketat di daerahnya sendiri. Dari informasi yang berkembang, varian Delta ini
mengamuk di negara kita karena kegagalan cegah-tangkal imigrasi terhadap WNA,
yang di antaranya membawa varian Delta. Varian Delta muncul di India pertama
kali April lalu. Melansir BBC, virus ini menyebabkan gelombang kedua yang
sangat parah di India. Pada saat itu, banyak
negara memutuskan tak menerima penerbangan atau pelancong dari India untuk
sementara. Termasuk Uni Eropa, AS, Australia, Singapura, dan Thailand. Indonesia melakukan
langkah serupa pada 25 April 2021. Khusus WNI yang tinggal atau mengunjungi
India dalam kurun waktu 14 hari, dan ingin kembali ke negara ini, tetap dapat
masuk dengan protokol kesehatan yang ketat. Sayangnya, keputusan itu
baru muncul setelah satu pesawat sewa dari India masuk ke Indonesia. Di
dalamnya berisi 129 WNA, dengan 12 terkonfirmasi positif Covid-19. Pesawat
carter AirAsia dengan kode penerbangan QZ-988 itu datang dari Chennai dan
masuk lewat Bandara Soekarno-Hatta. Sebelum kejadian ini,
ramai pula berita di media soal banyaknya WNA India yang masuk ke Indonesia,
terutama melalui perjalanan udara. Kepala Sub-Direktorat Karantina Kesehatan
Ditjen P2P Kemenkes dr Benget membenarkan hal ini. ”Kemarin sudah banyak
warga India masuk ke Indonesia, banyak sekali,” katanya di Pekanbaru pada 22
April 2021. Lalu, pada Mei 2021, Riau
sempat masuk tiga besar penyumbang tambahan kasus baru Covid-19 di Indonesia.
Kondisi ini tak pernah terjadi sebelumnya karena selalu didominasi wilayah
Jawa. Lonjakan kasus terjadi setelah Satuan Tugas Penanggulangan Covid-19 di
Riau menemukan warga negara India yang positif virus korona. Pada 27 April 2021, sebuah
kapal pengangkut CPO dari India bersandar di Pelabuhan Dumai. Kru kapal ini
terdiri dari satu orang kapten dan 22 anak buah kapal (ABK). Beberapa hari kemudian,
kapten kapal menunjukkan gejala demam dan sesak napas. Setelah dites, kapten
dan empat ABK positif Covid-19. Mereka mendapat perawatan khusus di
Pekanbaru. Sebulan setelah
kejadian-kejadian itu, gelombang kedua virus korona melanda Indonesia. Varian
baru ditemukan di Jakarta dan Kudus, Jawa Tengah, dua lokasi lonjakan kasus
bermula. Kepala Bidang Pengembangan
Profesi Perhimpunan Ahli Epidemiologi Indonesia (PAEI) Masdalina Pane
menyebut, varian Delta ini menjadi penyebab utama kenaikan kasus. Dalam
prediksinya Juni lalu, Jakarta akan mengalami kenaikan kasus 400 persen,
Depok 305 persen, Bekasi 500 persen, Jawa Tengah 898 persen, dan Jawa Barat
104 persen. Menurut Masdalina,
lonjakan terjadi bukan semata karena dampak mudik Lebaran 2021, juga karena
kegagalan cegah-tangkal, yang berakibat masuknya varian baru ke Indonesia. Ia
menyebutnya kebobolan. Banyak orang masuk ke
Indonesia dari luar negeri dengan ketentuan hanya lima hari karantina,
padahal seharusnya 14 hari berdasarkan standar WHO. Semua varian ganas ini
berkembang di luar negeri, kemudian masuk ke Indonesia dengan mudah karena
kelemahan dan kelambatan antisipasi di sistem imigrasi. Ayo,
terapkan Pancasila Sekarang muncul
pertanyaan, apakah ada varian baru yang muncul di Indonesia? Sangat mungkin,
meskipun sampai sekarang belum ada data resmi yang dikeluarkan pemerintah
ataupun lembaga riset. Di Indonesia memang belum
ada laporannya. Namun, di beberapa negara sudah muncul laporan terjadinya
mutasi lanjutan dari varian Delta, menjadi Delta Plus (AY1 dan AY2), dan
sudah menyebar di sejumlah negara. Data yang dihimpun dari
berbagai sumber, seperti Public Health England, Aljazeera, Indian Express,
dan Katadata, menyebutkan, sampai 22 Juni, genom AY 1 sudah menyebar
setidaknya di sepuluh negara, antara lain AS, Portugal, Swiss, Jepang,
Polandia, India, Nepal, Kanada, Rusia, dan Turki. Yang harus jadi perhatian
serius, karakter Delta Plus ini lebih berbahaya daripada Delta. Dibandingkan
induknya, varian Delta Plus lebih cepat menular, lebih menempel ke reseptor
sel paru-paru, dan berpotensi menurunkan respons antibodi. Apa jadinya jika
Delta Plus yang jauh lebih berbahaya ini sampai masuk ke Indonesia? Inilah yang harus menjadi
perhatian khusus di pintu imigrasi. Kelengahan dan kelambanan imigrasi yang
kemarin menjadi celah masuknya varian Delta ke Indonesia janganlah
memerosokkan kita ke lubang yang sama. Pertimbangan utamanya
haruslah pertimbangan kesehatan. Jangan sampai lebih mengistimewakan
pertimbangan investasi, seperti Menko Luhut yang minta arus kedatangan tenaga
kerja asing (TKA) dari China tak dipermasalahkan karena, menurut dia, sudah
sesuai prosedur. Adapun prosedur bagi orang
asing yang masuk ke Indonesia adalah harus sudah vaksinasi dosis kedua, dan
sebelumnya sudah tes swab PCR dengan hasil negatif. Begitu sampai di
Indonesia, WNA harus kembali menjalani swab PCR dan harus menjalani karantina
selama delapan hari. Sehabis karantina, harus tes swab PCR lagi. Jika hasilnya negatif,
baru boleh melanjutkan aktivitas di Indonesia. Artinya, TKA yang datang terus
bergelombang dari China itu pastilah sudah bebas Covid-19 saat masuk ke
Indonesia sehingga Luhut meminta agar tidak dipermasalahkan. Di sinilah masalahnya.
Luhut terkesan selalu menggampangkan masalah, seolah semua baik-baik saja.
Hanya dalam hitungan hari, media memberitakan salah satu TKA asal China yang
masuk ke kota Bula, Kabupaten Seram Bagian Timur, Maluku, yang berstatus
hijau, pada 4 Juli diperiksa di RSUD Bula setelah demam, flu, batuk, dan
dinyatakan positif Covid-19. Ia harus menjalani isolasi. Sekali lagi, jika
pemerintah serius memperketat mobilitas warganya, seharusnya juga ketat
menjaga pintu gerbang masuknya warga negara asing. Sebab, inilah pintu utama
masuknya virus varian baru yang datang dari luar negeri. Jangan sampai
terkesan sangat ketat membatasi rakyatnya sendiri, tetapi longgar terhadap
WNA. Jangan hanya membubarkan
kerumunan rakyat jelata, tetapi tak bersikap saat ada kerumunan yang dibuat
pejabat tinggi atau elite. Kemanusiaan, keadilan, dan semangat persatuan
dalam bersikap adalah salah satu kunci keberhasilan penanganan pandemi.
Terapkan Pancasila secara nyata. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar