Sabtu, 24 Juli 2021

 

Belajar dari Bobolnya Varian Baru di Pintu Negara

Djoko Santoso ;  Guru Besar Kedokteran Unair; Ketua Badan Kesehatan MUI Jawa Timur; Penyintas Covid-19

KOMPAS, 23 Juli 2021

 

 

                                                           

Kebijakan ”lockdown setengah hati” itu harus menghadapi kenyataan pilu. Saat pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) darurat hampir usai, amukan Covid-19 justru kian menjadi-jadi.

 

Optimisme Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut Pandjaitan yang ditunjuk Presiden Jokowi sebagai komandan untuk memimpin misi khusus menghadapi gelombang kedua Covid-19 ini meleset. Kurva bukannya manis melandai menuju target di bawah 10.000 kasus penularan per hari, melainkan malah meroket melampaui 50.000.

 

Pada 15 Juli, jumlah kasus positif harian tercatat 56.757 dan meninggal 982 kasus. Padahal, saat PPKM darurat mulai dilaksanakan pada 3 Juli, ”baru” ada 27.913 kasus dan meninggal 493 kasus. Lebih dari dua kali lipat!

 

Di balik angka-angka ini adalah penderitaan manusia. Semua pasukan benteng terakhir perang Covid-19 kewalahan. Rumah sakit (RS) luber pasien, dengan tingkat keterisian tempat tidur (bed occupancy rate/BOR) RS melampaui 100 persen. Dokter, tenaga kesehatan, sopir ambulans, pemulasaran jenazah, dan petugas pemakaman kelelahan, bahkan tumbang.

 

RS lapangan didirikan, tapi kekurangan tenaga kesehatan. Pasien telantar dan banyak yang meninggal sebelum tersentuh dokter. Banyak pasien isolasi mandiri yang meninggal dalam keterasingan. Oksigen dan obat-obatan ikut langka.

 

Masyarakat yang kalut memburu vaksinasi massal yang banyak berubah jadi kerumunan berisiko tinggi. Pengusaha kecil dan orang-orang yang tak gajian makin riuh menjerit karena pengetatan PPKM darurat.

 

Sudah jatuh, tertimpa ”tetangga”. Singapura menolak WNI masuk. Begitu juga Taiwan, Hong Kong, Uni Emirat Arab, dan Oman. Arab Saudi sudah lebih dulu menutup pintu.

 

Jepang tak hanya menolak WNI masuk, bahkan mengevakuasi warganya di Indonesia karena tak ingin semakin banyak warganya jadi korban Covid-19, karena ada 14 orang yang sudah meninggal di sini.

 

Vietnam juga menjemput warganya di Indonesia. AS melarang warganya ke Indonesia. Eropa, terutama 26 negara bervisa Schengen, juga menolak WNI masuk. Juga Belanda.

 

Ini seperti ”bertepuk sebelah tangan” karena Indonesia tak pernah menutup pintu negaranya untuk orang asing. Padahal, dalih Indonesia tak menutup pintunya karena kebijakan resiprokal (timbal balik).

 

Apa mau dikata. Indonesia sekarang mengambil alih posisi India sebagai episentrum Covid-19 di Asia, bahkan dunia. Indonesia beriringan dengan Brasil sebagai ”juara” Covid-19 harian. Pada 14 Juli yang ”juara” Brasil, hari berikutnya diambil alih Indonesia.

Terjadi kurva naik tajam di dua negara konsumen vaksin Sinovac ini. Hal ini memengaruhi kurva dunia, yang kini mulai menanjak juga.

 

India, biang keladi varian Delta, terus melandai di kisaran 40.000-an. Kasus puncak di negara berpenduduk 1,4 miliar itu 10 lipat (400.000-an) sebulan lalu.

 

Varian Delta membuat Jawa didominasi zona merah. Luhut sendiri yang mengonfirmasi ini. Saat menunjukkan grafik warna merah marun yang menyebar luas kepada media pada 15 Juli, disebutnya ”itu semua dikontrol varian Delta”.

 

Dia juga mengatakan varian Delta ini sulit dikendalikan. Padahal, tiga hari sebelumnya, dia menantang orang yang mengatakan situasi tak terkendali.

 

Makin genting, varian Delta (B1717.2) yang memerahkan Pulau Jawa ini juga sudah bergerak menginvasi ke luar Jawa. Menkes Budi Gunadi Sadikin mengonfirmasi, Provinsi Lampung, Sumsel, Riau, Kepri, Bengkulu, Kaltim, dan Papua Barat sudah diinvasi Delta.

 

Akibatnya, BOR RS di provinsi itu langsung naik tajam. Berdasarkan laporan yang diterima 13 Juli, Menkes menyebutkan, BOR di Lampung 86 persen, Kaltim 85 persen, Sumsel 80 persen, Papua Barat 79 persen, Kepri 76 persen, dan Bengkulu 70 persen.

 

Karena sekarang sudah menjadi episentrum Covid-19 di Asia, dan angka penambahan kasus melampaui 50.000 kasus, WHO makin menaruh perhatian. WHO menyebut, semua mutan varian ganas sudah masuk ke Asia Tenggara, termasuk Indonesia.

 

Munculnya varian-varian baru dengan daya tular tinggi dan kemampuan menembus sistem imun (immune invasiveness) memberi kontribusi signifikan dalam gelombang penularan terbaru yang jauh lebih tinggi daripada gelombang-gelombang sebelumnya, seperti di India.

 

Dari keempat varian yang harus diwaspadai menurut WHO, yakni Alpha (B.1.1.7), Beta (B.1.351), Gamma (P.1), dan Delta (B.1.617.2), semua telah ditemukan di Asia Tenggara, terutama Malaysia, Thailand, Filipina, Singapura, dan Indonesia. Indonesia yang paling parah. Bahkan, Kepala Lembaga Biologi Molekuler Amin Subandrio menyebut varian Kappa sudah masuk ke negara kita.

 

Saat ini setidaknya ditemukan 10 varian baru Covid-19. Selain Alpha, Beta, Delta, Gamma, dan Kappa, ada Epsilon (B.1.427/B.1.429) dari AS, Zeta (P.2) dari Brasil, Eta (B.1.525) dari Inggris, Theta (P.3) dari Filipina, dan Iota (B.1.526).

 

Varian Delta sangat ganas karena membuat angka CT (cycle threshold) penderita jadi rendah, mudah menularkan, dan meningkatkan keparahan lebih cepat. CT adalah angka siklus yang muncul saat pemeriksaan usap atau swab tes reaksi rantai polimerase (PCR). Semakin rendah angka siklus, virusnya semakin banyak. Semakin tinggi angka CT, bisa diartikan semakin sedikit virusnya.

 

Ambang batas CT yang aman berkisar 35-40. Kemenkes melansir temuan, sejak varian Delta masuk ke Indonesia, rata-rata CT di sejumlah daerah menurun. Artinya, jumlah virus yang menular makin merebak.

 

Bobol karena ”bebal”

 

Perlu ditinjau kembali bagaimana varian Delta ini menginvasi negara kita. Sudah semestinya ini jadi pelajaran keras karena sudah terperosok ke lubang yang sama berkali-kali.

 

Sejak semula Covid-19 ini adalah kasus virus asing, yakni dari China. Begitu juga masuknya varian-varian baru. Namun, kita tak pernah sungguh-sungguh mengamankan pintu negara.

 

Seperti ada kebebalan, WNA tetap bebas masuk ketika rakyat dikurung dalam berbagai jenis pembatasan ketat di daerahnya sendiri. Dari informasi yang berkembang, varian Delta ini mengamuk di negara kita karena kegagalan cegah-tangkal imigrasi terhadap WNA, yang di antaranya membawa varian Delta. Varian Delta muncul di India pertama kali April lalu. Melansir BBC, virus ini menyebabkan gelombang kedua yang sangat parah di India.

 

Pada saat itu, banyak negara memutuskan tak menerima penerbangan atau pelancong dari India untuk sementara. Termasuk Uni Eropa, AS, Australia, Singapura, dan Thailand.

 

Indonesia melakukan langkah serupa pada 25 April 2021. Khusus WNI yang tinggal atau mengunjungi India dalam kurun waktu 14 hari, dan ingin kembali ke negara ini, tetap dapat masuk dengan protokol kesehatan yang ketat.

 

Sayangnya, keputusan itu baru muncul setelah satu pesawat sewa dari India masuk ke Indonesia. Di dalamnya berisi 129 WNA, dengan 12 terkonfirmasi positif Covid-19. Pesawat carter AirAsia dengan kode penerbangan QZ-988 itu datang dari Chennai dan masuk lewat Bandara Soekarno-Hatta.

 

Sebelum kejadian ini, ramai pula berita di media soal banyaknya WNA India yang masuk ke Indonesia, terutama melalui perjalanan udara. Kepala Sub-Direktorat Karantina Kesehatan Ditjen P2P Kemenkes dr Benget membenarkan hal ini. ”Kemarin sudah banyak warga India masuk ke Indonesia, banyak sekali,” katanya di Pekanbaru pada 22 April 2021.

 

Lalu, pada Mei 2021, Riau sempat masuk tiga besar penyumbang tambahan kasus baru Covid-19 di Indonesia. Kondisi ini tak pernah terjadi sebelumnya karena selalu didominasi wilayah Jawa. Lonjakan kasus terjadi setelah Satuan Tugas Penanggulangan Covid-19 di Riau menemukan warga negara India yang positif virus korona.

 

Pada 27 April 2021, sebuah kapal pengangkut CPO dari India bersandar di Pelabuhan Dumai. Kru kapal ini terdiri dari satu orang kapten dan 22 anak buah kapal (ABK).

 

Beberapa hari kemudian, kapten kapal menunjukkan gejala demam dan sesak napas. Setelah dites, kapten dan empat ABK positif Covid-19. Mereka mendapat perawatan khusus di Pekanbaru.

 

Sebulan setelah kejadian-kejadian itu, gelombang kedua virus korona melanda Indonesia. Varian baru ditemukan di Jakarta dan Kudus, Jawa Tengah, dua lokasi lonjakan kasus bermula.

 

Kepala Bidang Pengembangan Profesi Perhimpunan Ahli Epidemiologi Indonesia (PAEI) Masdalina Pane menyebut, varian Delta ini menjadi penyebab utama kenaikan kasus. Dalam prediksinya Juni lalu, Jakarta akan mengalami kenaikan kasus 400 persen, Depok 305 persen, Bekasi 500 persen, Jawa Tengah 898 persen, dan Jawa Barat 104 persen.

 

Menurut Masdalina, lonjakan terjadi bukan semata karena dampak mudik Lebaran 2021, juga karena kegagalan cegah-tangkal, yang berakibat masuknya varian baru ke Indonesia. Ia menyebutnya kebobolan.

 

Banyak orang masuk ke Indonesia dari luar negeri dengan ketentuan hanya lima hari karantina, padahal seharusnya 14 hari berdasarkan standar WHO. Semua varian ganas ini berkembang di luar negeri, kemudian masuk ke Indonesia dengan mudah karena kelemahan dan kelambatan antisipasi di sistem imigrasi.

 

Ayo, terapkan Pancasila

 

Sekarang muncul pertanyaan, apakah ada varian baru yang muncul di Indonesia? Sangat mungkin, meskipun sampai sekarang belum ada data resmi yang dikeluarkan pemerintah ataupun lembaga riset.

 

Di Indonesia memang belum ada laporannya. Namun, di beberapa negara sudah muncul laporan terjadinya mutasi lanjutan dari varian Delta, menjadi Delta Plus (AY1 dan AY2), dan sudah menyebar di sejumlah negara.

 

Data yang dihimpun dari berbagai sumber, seperti Public Health England, Aljazeera, Indian Express, dan Katadata, menyebutkan, sampai 22 Juni, genom AY 1 sudah menyebar setidaknya di sepuluh negara, antara lain AS, Portugal, Swiss, Jepang, Polandia, India, Nepal, Kanada, Rusia, dan Turki.

 

Yang harus jadi perhatian serius, karakter Delta Plus ini lebih berbahaya daripada Delta. Dibandingkan induknya, varian Delta Plus lebih cepat menular, lebih menempel ke reseptor sel paru-paru, dan berpotensi menurunkan respons antibodi. Apa jadinya jika Delta Plus yang jauh lebih berbahaya ini sampai masuk ke Indonesia?

 

Inilah yang harus menjadi perhatian khusus di pintu imigrasi. Kelengahan dan kelambanan imigrasi yang kemarin menjadi celah masuknya varian Delta ke Indonesia janganlah memerosokkan kita ke lubang yang sama.

 

Pertimbangan utamanya haruslah pertimbangan kesehatan. Jangan sampai lebih mengistimewakan pertimbangan investasi, seperti Menko Luhut yang minta arus kedatangan tenaga kerja asing (TKA) dari China tak dipermasalahkan karena, menurut dia, sudah sesuai prosedur.

 

Adapun prosedur bagi orang asing yang masuk ke Indonesia adalah harus sudah vaksinasi dosis kedua, dan sebelumnya sudah tes swab PCR dengan hasil negatif. Begitu sampai di Indonesia, WNA harus kembali menjalani swab PCR dan harus menjalani karantina selama delapan hari. Sehabis karantina, harus tes swab PCR lagi.

 

Jika hasilnya negatif, baru boleh melanjutkan aktivitas di Indonesia. Artinya, TKA yang datang terus bergelombang dari China itu pastilah sudah bebas Covid-19 saat masuk ke Indonesia sehingga Luhut meminta agar tidak dipermasalahkan.

 

Di sinilah masalahnya. Luhut terkesan selalu menggampangkan masalah, seolah semua baik-baik saja. Hanya dalam hitungan hari, media memberitakan salah satu TKA asal China yang masuk ke kota Bula, Kabupaten Seram Bagian Timur, Maluku, yang berstatus hijau, pada 4 Juli diperiksa di RSUD Bula setelah demam, flu, batuk, dan dinyatakan positif Covid-19. Ia harus menjalani isolasi.

 

Sekali lagi, jika pemerintah serius memperketat mobilitas warganya, seharusnya juga ketat menjaga pintu gerbang masuknya warga negara asing. Sebab, inilah pintu utama masuknya virus varian baru yang datang dari luar negeri. Jangan sampai terkesan sangat ketat membatasi rakyatnya sendiri, tetapi longgar terhadap WNA.

 

Jangan hanya membubarkan kerumunan rakyat jelata, tetapi tak bersikap saat ada kerumunan yang dibuat pejabat tinggi atau elite. Kemanusiaan, keadilan, dan semangat persatuan dalam bersikap adalah salah satu kunci keberhasilan penanganan pandemi. Terapkan Pancasila secara nyata. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar