Sabtu, 24 Juli 2021

 

Kurban Egoisme untuk Ketahanan Sosial

Fathorrahman Ghufron ;  Wakil Katib PWNU dan Pegiat di Center for Sharia Finance and Digital Economy (Shafiec) UNU Yogyakarta

KOMPAS, 20 Juli 2021

 

 

                                                           

”Aku menyayangimu dan menghormatimu, maka aku memakai masker” merupakan pesan moral yang disampaikan KH Mustafa Bisri (Gus Mus) yang sangat penting kita refleksikan. Terlebih di tengah menguatnya laku abai dan ketidakacuhan sebagian besar masyarakat dalam mematuhi berbagai protokol kesehatan guna mencegah sebaran virus penyebab Covid-19.

 

Gerakan masker yang diproklamasikan pemerintah sebagai solusi alternatif bagi setiap orang dalam menjalankan aktivitas dan interaksi sosial di ruang publik seharusnya disikapi sebagai kesiagaan personal. Sebab, Covid-19 yang sudah mewabah sejak awal tahun 2020—sebagaimana dilansir oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO)—kemungkinan besar tidak akan bisa sirna dari muka bumi.

 

Meskipun tak bisa ditampik bahwa menggunakan masker dalam keseharian sangat mengganggu kenyamanan kita dalam bertutur kata dan menghirup udara, bukan berarti kita bisa beralibi bahwa masker bisa ditanggalkan. Sebab, di masa pandemi yang tidak jelas juntrung akhirnya ini, masker merupakan sunnatullah yang tidak bisa ditolak penggunaannya.

 

Setidaknya, dengan menggunakan masker kita belajar menyesuaikan diri dengan iklim baru yang mensyaratkan perilaku preventif agar tidak memperparah suasana kehidupan yang serba darurat. Bahkan, dalam lingkup yang lebih luas, masker mulai dinisbatkan sebagai aturan formal yang bisa berdampak hukum bagi setiap pelanggarannya.

 

Oleh karena itu, dalam masa pandemi ini, kita perlu mengubah cara berpikir kita bahwa masker adalah pola hidup sehat paling sederhana dalam mencegah sebaran virus korona baru agar tidak semakin memapar diri kita dan pihak lain.

 

Meredakan egoisme

 

Untuk memulai hidup baru dengan bermasker, di antara prasyarat utama yang perlu dilakukan adalah bagaimana kita meredakan egoisme. Sebab, egoisme merupakan sebuah penyakit bawaan yang selalu menghalangi diri kita sendiri ketika kita berupaya berbagi kepedulian kepada orang lain.

 

Tanpa kita sadari, sering kali kita meremehkan sebuah kenyataan bahwa kita seharusnya menjadi bagian dari orang lain yang sama-sama membutuhkan kenyamanan. Bahkan, sikap pengabaian pihak lain muncul sejak dalam pikiran kita dan berimplikasi kuat pada mengutamakan kepentingan an sich.

 

Padahal, keberadaan pihak lain yang turut kita pikirkan nasibnya adalah bagian dari diri kita ketika membutuhkan kenyamanan. Tanpa pihak lain, apa yang kita inginkan, bahwa kehidupan kita bisa dilingkupi oleh ketahanan sosial yang bisa membuat kita nyaman dan aman dari virus korona baru, tentu merupakan hal yang mustahil. Sebab, merujuk pada pemikiran Freud, dalam diri kita ada tiga unsur yang saling berjalin kelindan, yaitu id, ego, dan super ego yang bisa menunjang keberadaan kita sebagai manusia yang sempurna.

 

Oleh karena itu, ketika kita hanya mengedepankan unsur ego dan menafikan unsur id dan super ego yang saling terkait dengan keberadaan kita, sesungguhnya kita akan terjebak dengan iklim egoisme yang bisa mencelakakan diri kita. Dan, ketika kita tidak segera menyadari pentingnya keterlibatan pihak lain yang berkontribusi penting bagi tumbuhnya kenyamanan yang kita inginkan, tidak tertutup kemungkinan kita akan terkerangkeng oleh egoisme kita sendiri.

 

Dalam konteks ini, masker yang sudah dipersyaratkan sebagai gerakan bersama dalam mencegah virus korona baru, yang dalam gerakan bersama ini membutuhkan pengorbanan masing-masing kita dalam meredakan egoisme, lalu apakah kita masih ingin mengabaikan dan mengingkari hanya karena kita merasa risi dan tidak leluasa? Apakah kita masih ingin bersikukuh bahwa masker hanya semacam lip service di saat virus korona sudah menyebar melalui udara? Di sinilah problem egoisme yang sering kali menjuntai dalam pikiran kita dan berdampak pada sikap pengabaian yang berkelanjutan.

 

Spirit kurban

 

Idul Kurban yang kita rayakan menggambarkan sebuah peristiwa penting dalam sejarah pengorbanan Nabi Ibrahim, yaitu tentang ketulusan Nabi Ibrahim dalam menundukkan egoisme. Betapa tidak, di tengah penantian panjang merindukan seorang anak, tiba-tiba datang sebuah perintah Tuhan untuk menyembelihnya.

 

Meskipun terselip sebuah keraguan dan dengan berat hati Nabi Ibrahim menyampaikan perintah tersebut kepada Ismail anaknya, atas keyakinan Nabi Ibrahim terhadap perintah Tuhan tersebut dan ketulusan Ismail yang menerima kenyataan yang harus dihadapi, Nabi Ibrahim mampu ”membunuh egoisme” dirinya demi sebuah amanah dan perintah yang disampaikan Tuhan.

 

Pengalaman Nabi Ibrahim ini menjadi momentum sekaligus pelajaran berharga (lesson learned) bagi kita bagaimana menumbuhkan spirit kurban. Spirit kurban mendedahkan dua trayektori yang berdimensi ketuhanan dan kemanusiaan. Pertama, kurban (qurban) yang seakar dengan kata qaraba, yaitu mendekat, menunjukkan sebuah komitmen dalam melaksanakan segala apa yang diperintah Allah dan menjauhi segala bentuk larangan agar kita bisa dekat bersama Tuhan.

 

Dalam konteks pandemi, makna qaraba yang menunjukkan sebuah komitmen dalam melaksanakan segala apa yang diperintahkan, maka ketika pemerintah menyerukan kepada kita untuk menggunakan masker demi terwujudnya ketahanan sosial dari sebaran virus korona baru, tiada alasan bagi kita untuk mengingkarinya. Sebab, ketika kita mematuhi apa yang diperintahkan pihak berwenang (ulil amri), pada prinsipnya kita mematuhi sebuah perintah Tuhan yang tujuannya adalah kemaslahatan bersama.

 

Dengan alur berpikir demikian, masker adalah perantara (washilah) terwujudnya sebuah kenyamanan dan keselamatan bersama agar kita hidup sehat dan melestarikan iklim kehidupan yang aman di saat virus korona masih mewabah tak kendali. Selain itu, alur ini akan berimplikasi pada trayektori kedua, yaitu qurban merujuk pada makna kesediaan jibaku dalam menurunkan sifat individualisme diri kita agar bisa berbagi suasana simpatik dan empatik kepada pihak lain.

 

Ketika rasa empati bisa kita tumbuhkan, setiap kita akan bersedia menyayangi satu sama lain agar bisa sama-sama mengendalikan diri dari segala bentuk perilaku yang bertolak belakang dengan protokol pencegahan virus korona. Bahkan, dalam lingkup yang lebih luas, demi terciptanya ketahanan sosial, masing-masing kita akan menjadi penggerak lingkungan, di mana kita rela diingatkan apabila abai dengan peraturan bermasker sekaligus rela menunjukkan protokol kesehatan yang baik dan benar demi terciptanya kehidupan yang nyaman dan aman.

 

Semoga Idul Kurban yang kita rayakan di tengah pandemi bertransformasi sebagai spirit qurban yang mendedahkan dua trayektori ketuhanan dan kemanusiaan sekaligus agar kita bisa terbebas dari jeratan egoisme demi terwujudnya ketahanan sosial. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar