Minggu, 25 Juli 2021

 

Museum Wabah

Saras Dewi ;  Pengajar Filsafat di Universitas Indonesia

KOMPAS, 24 Juli 2021

 

 

                                                           

Sekiranya, apakah yang akan dipikirkan oleh masyarakat puluhan tahun pada masa depan ketika mereka memasuki museum wabah, menelusuri lorong-lorong yang diisi berderet peraga dan artefak?

 

Tergambar di museum itu kesengsaraan serta ketidaksiapan umat manusia menghadapi cengkeraman pandemi. Dipajang lukisan era kontemporer karya seniman Spanyol, tertera judulnya, ”El Amor en Tiempos de Pandemia”, cinta pada masa pandemi, menampilkan sepasang manusia berciuman masih menggunakan maskernya.

 

Terdapat pula rekonstruksi ruang bangsal isolasi yang simulasinya dipancarkan menggunakan dinding LED raksasa sehingga para pengunjung dapat merasakan secara virtual kesepian dan keheningan yang dialami oleh para pasien dan tenaga kesehatan.

 

Belum pernah sebelumnya wabah menjadi pusat kehidupan manusia. Museum itu menunjukkan peralihan pemikiran manusia yang semula terbagi-bagi, terbelah dengan ambisi ideologisnya—yang akhirnya disadarkan bahwa wabah itu sesuatu yang lebih besar dari asumsi antroposentrisnya.

 

Betapa pentingnya arsip mengenai wabah, tidak saja yang direkam dalam tulisan-tulisan ilmiah, atau ekspresi seni rupa, tetapi juga dalam sastra. Salah satu sastra kuno tentang wabah yang menarik untuk dibaca adalah mahakarya Arthasastra.

 

Teks ini merupakan ajaran filsafat kuno dari abad ke-4 SM yang dituliskan oleh Kautilya, seorang filsuf dan negarawan pada zaman kekuasaan Dinasti Maurya, di India. Teks ini masih sangat relevan untuk dipelajari sebab ia membicarakan peran pemerintah dan pemimpin pada masa krisis.

 

Meski bentuk kekuasaan yang dibicarakan oleh Arthasastra adalah monarki, Arthasastra secara kritis mendudukkan posisi pemimpin yang condong pada bobot kewajiban dan tanggung jawabnya dibandingkan dengan hak atau privilesenya.

 

Arthasastra menguraikan urgensi kepekaan pemimpin dalam menciptakan kebijakan, khususnya terkait dengan mitigasi kebencanaan. Arthasastra menekankan pentingnya perlindungan hutan agar terhindar dari berbagai musibah, dari banjir hingga petaka kelaparan.

 

Arthasastra juga mengutamakan sehatnya ekosistem agar terhindar dari berbagai wabah penyakit. Keselarasan ekosistem flora dan fauna harus dilestarikan.

 

Pada saat wabah penyakit terjadi, Arthasastra membahas mengenai purifikasi, ada dua makna purifikasi yang dapat ditafsir, pada satu sisi kehidupan murni dari sisi spiritualitas, pada sisi yang lainnya adalah kesadaran untuk merawat keseimbangan lingkungan hidup.

 

Saya membaca kembali Arthasastra pada masa pembatasan ini, menemani tengah malam yang kerap diselingi suara ambulans hilir mudik tanpa henti. Begitu pula pengumuman dari masjid di sebelah rumah, menggunakan pengeras suara menyampaikan dengan getir, ”Innalillahi… telah meninggal dunia….”

 

Arthasastra kental aspek religius dan nuansa ritualistiknya. Meski demikian, penulisnya, Kautilya, adalah seorang pemikir yang rasional. Bagian terakhir dari Arthasastra menegaskan posisi ilmu pengetahuan yang fundamental dalam membangun masyarakat yang baik. Dikatakan di dalam salah satu penggalan ayatnya, ”Maka ilmu ini, diuraikan dengan alat-alat ilmu, telah disusun untuk pemerolehan dan perlindungan dunia ini dan yang akan datang.”

 

Sains adalah tumpuan kemanusiaan saat ini supaya kita dapat beradaptasi dari serangan virus SARS-CoV-2. Segenap kemampuan keilmuan perlu dikerahkan secara maksimal ke dalam riset-riset yang menghimpun secara transdisipliner, melintasi kluster keilmuan, dari kesehatan, sains dan teknologi, hingga sosial dan humaniora. Mempertahankan rasionalitas memang menjadi tantangan di masa pandemi ini.

 

Histeria masyarakat diperburuk oleh komunikasi pemerintah yang acap kali simpang siur. Berita bohong, penyangkalan pada fakta-fakta kesehatan, penolakan pada vaksin, adalah realitas sosial yang sangat menyedihkan.

 

Saya berdiskusi dengan Bagus Takwin, seorang peneliti di bidang psikologi yang mencermati fenomena ini. Ia menyebutkan, setidaknya ada tiga alasan: epistemik, eksistensial, dan sosial, mengapa ada orang-orang yang lebih percaya pada grandiose teori konspirasi dibandingkan dengan fakta-fakta obyektif.

 

Bagus Takwin menjelaskan, motif epistemik terkait dengan kebutuhan akan pengetahuan dan kepastian, tetapi ada problem, baik akses maupun kejernihan, dalam memilah perbedaan sumber yang kredibel dengan yang buruk.

 

Bagus Takwin melanjutkan, dari aspek sosial, mereka yang percaya dengan teori konspirasi biasanya orang-orang yang memiliki kebutuhan akan keunikan bahwa informasi yang mereka miliki istimewa dan superior. Pada level kelompok, Bagus Takwin mendedah, orang-orang tersebut memiliki perasaan berlebih pada kelompoknya, dan bersikeras bahwa kelompoknya kurang dihargai sehingga cenderung memilih narasi yang berbeda.

 

Terakhir adalah alasan eksistensial, yang muncul karena mereka tidak dapat menerima rasa tidak berdaya dan hilangnya otonomi. Kekecewaan ini mendorong eskapisme, terselubunginya kemampuan bernalar benar.

 

Memang sulit untuk menjadi logis pada saat pandemi. Saya sendiri bergelut dengan kenyataan harus kehilangan anggota keluarga, sahabat, kolega, guru, hingga mahasiswa selama satu setengah tahun secara bertubi-tubi. Akal budi serasa berontak.

 

Tulisan Fernando Castrillon, seorang psikoanalis, mengatakan, alangkah menjengkelkannya pandemi ini, tetapi kita harus menerima kenyataan. Ia menyebutnya dengan convivirus, dalam bahasa Spanyol, convivir, artinya untuk hidup bersama.

 

Saya mendengus, malangnya kita, harus menerima entitas mungil, misterius nan mematikan ini menjadi bagian dari keseharian hidup kita. Entitas yang cerdik dan tangkas mereplikasikan dirinya menjadi macam-macam varian!

 

Lamunan saya kembali ke museum wabah pada masa depan dan makna sejarah apa saja yang akan ditampakkan di dalamnya. Pandemi SARS-CoV-2 merobek ekonomi, suatu tragedi keadilan sosial global.

 

Sengkarut tumbangnya kesehatan publik dan tersisihnya hak asasi manusia untuk mendapatkan kesetaraan akses kesehatan. Terpampang diorama yang menggambarkan kefrustrasian warga mencari tabung oksigen, sedangkan pada ekstrem yang lainnya, komersialisasi vaksin amat memilukan bagi kemanusiaan.

 

Menjelang pengujung museum, pengunjung ditunjukkan hologram yang mencekam, para penggali kubur dengan pakaian hazmat berdiri kelelahan di hamparan kuburan massal. Keluarga yang menangis di kejauhan, mereka tidak dapat bertatap muka untuk menyentuh, merangkul, atau menggenggam tangan pasien di detik-detik terakhir kehidupannya.

 

Sinaran hologram itu memendarkan wajah-wajah penuh air mata. Dokumentasi ini menunjukkan bahwa mereka yang terenggut nyawanya bukanlah statistik belaka, mereka lebih dari sekadar angka.

 

Mereka yang percaya dengan teori konspirasi biasanya orang-orang yang menilai informasi mereka itu istimewa dan superior. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar